Kota, Tubuh, Koreografi Wangi hingga Kosongnya Amunisi

oleh: F. Dewiria Utari, foto: Eva Tobing/DKJ

Berakhirnya Gelar Koreografi Kota di GoetheHaus pada 12 September, memunculkan pertanyaan di benak saya. Sudut pandang apakah yang harus digunakan untuk menyimpulkan karya enam koreografer Indonesia dan tiga koreografer Jepang yang tergabung dalam Japan Contemporary Dance Network (JCDN). Melihat sebuah karya dari sudut pandang konteks tema urban atau kota yang disodorkan Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) atau semata-mata melihat materi koreografi secara utuh dan mandiri sebagai sebuah organisme itu sendiri tanpa harus diganggu atau direcoki tentang tema.

Tentu saja yang diharapkan dari acara GKK ini adalah melihat bagaimana seorang koreografer merespon tema untuk menjadikannya sebagai karya. Dalam hal ini, format acara GKK, menempatkan para koreografer sebagai entitas yang berswadaya serta dibebaskan untuk berkreasi. Apapun hasilnya, sepanjang itu atas nama seni tari, karya mereka hanya bisa dibahas dari sisi output. Proses penciptaan, apakah bentuk, struktur atau ragam gerak yang mereka ciptakan, ketika hasilnya ternyata sulit dihubungkan dengan pencitraan tema kota, tidak ada yang bisa mengagagalkannya. Karena merekalah yang terpilih untuk menyuarakan perspektif personal atas wajah kota.

Sejatinya, tema ini saya nilai akan lebih efektif jika membicarakan Jakarta. Selain karena nama DKJ yang salah satu unsur katanya adalah Jakarta, juga karena posisi Jakarta sebagai ibukota Republik Indonesia, yang menempatkan para pemimpin negeri ini untuk menjadikannya sebuah kota berwajah metropolis. Dalam masa pemerintahan Sukarno, kota yang dulunya bernama Batavia ini menjadi berusaha dibentuknya menjadi Paris sekaligus New York-nya Asia dengan suatu lapisan simbolik yang terdiri atas sejumlah besar patung kolosal dan bangunan berskala besar seperti Monas dan Mesjid Istiglal. Namun DKJ telah membuka ruang batas untuk tidak khusus bicara tentang Jakarta, tetapi kota—besar—pada umumnya.

Dengan membuka batasan ini, DKJ bisa dipandang sebagai pihak yang secara sadar ataupun tidak, mengakui pendapat seorang arsitek dari Yunani, C.A Doxiadis yang pada 1967 memperkirakan bahwa nantinya pada tahun 2050, sekitar 71,5 persen penduduk dunia akan bertempat tinggal di kota-kota. Dalam bukunya, City for Human Development, Doxiadis menulis bahwa proses urbanisasi akan berhenti dan kota-kota di dunia akan membentuk sebuah jaringan hirarkis yang menyesuaikan diri dengan kontur-kontur dari sebuah pola papan dam, yang tentunya tersusun dari sub-sub kesatuan regional. Dengan demikian, kota-kota di Indonesia juga akan menjadi bagian dari sebuah jaringan kerja regional dan identitas, kebijakan serta proyek-proyek yang mengacu pada kota-kota yang berkedudukan lebih tinggi dalam jaringan kerja tersebut, semisal Singapura, Tokyo, London, New York dan kota-kota di Cina yang pada saat ini tengah bertumbuh pesat.

Dalam rangka keterhubungan itu, Peter J.M. Nas, profesor antropologi budaya dan sosiologi dari Universitas Leiden dalam buku Kota-Kota Indonesia, menyarankan untuk kota-kota tersebut harus menampilkan kesan spesifik, menonjol, dan positif apabila kota-kota tersebut ingin ikut ambil bagian di dalam persaingan pada sistem hirarkis secara keseluruhan atau pada kasus Indonesia, dengan Asia.

Menuju hubungan tersebut, Jakarta bisa kita anggap telah mencoba membangun dirinya se-spesifik mungkin, sebagai bagian dari penempatan Jakarta sebagai kota ibukota yang merupakan representasi dari identitas masyarakat dan bangsa, dimana menurut Nas, identitas sangat dipengaruhi dengan simbol dan ritual perkotaan. Penciptaan simbol ini sangat berdimensi politik. Pasalnya menurut Nas, kepresidenan merupakan sutradara utama perubahan kota di Jakarta.

Ia mencontohkan bagaimana Sukarno mengubah struktur fisik kota itu berdasarkan pendekatan simbolisnya, dengan cara menghiasinya dengan monumen dan patung. Benda ini dijadikan penanda identitas Indonesia. Sementara Soeharto membuat tanda dengan bangunan-bangunan berskala besar dan jalan tol, yang bertujuan memenuhi pembangunan infrastruktur dan ekonomi, meski juga bertujuan menggembungkan peti uang keluarga. Hubungan antara kekuasaan dan karakter kota inilah yang sebenarnya menjadikan keberadaan kota tak semata sebuah bentuk fisik bernama daerah yang dipenuhi bangunan kantor, pemukiman, jalan, taman hingga pabrik. Di dalamnya kental terdapat nuansa politik yang memposisikan kota sebagai citra masyarakat dan sistem sosial yang ada di dalamnya.

Pentingnya kota sebagai identitas ini juga bisa dilihat dari pendapat Kevin Lynch dalam buku The Image of the City yang menerapkan tiga konsep untuk menunjukkan tentang kualitas pencitraan atau keterbacaan sebuah kota, yaitu identitas, struktur, dan arti. Dalam rangka mengembangkan identitasnya sebagai kota yang mengemban simbol atau identitas sebagai ibukota negara, Jakarta terus menerus mengalami perkembangan karakter sebagai daerah perkotaan yang meluas yang menurut JM Nas, disebut daerah mega urban.

Dalam artikel Mega-urbanization in ASEAN: New phenomenon or transitional phase to the “Los Angeles World Exhibition” oleh Douglas Webster, disebutkan bahwa daerah mega urban di Asia dalam waktu tidak lama lagi akan dihuni paling tidak oleh 10 juta sampai dengan 20 juta penduduk dan ditandai dengan subsistem-subsistem yang saling tergantung dan terlokalisir yang terdiri atas pusat-pusat kota, meteropolitan-metropolitan, daerah-daerah perluasan yang bersifat alami, pertanian dan rekreasi yang kebanyakan dilintasi oleh jalan arteri. Penggunaan tanah di daerah-daerah mega urban ini bersifat sangat tidak kontinyu.

Menanggung beban jiwa sebanyak itu dalam rangka menyandang status daerah mega urban, Jakarta sudah mulai menunjukkan tanda kewalahan. Dan itu lebih disebabkan oleh kesalahan dan sering bergantinya sistem penataan kota. Sejumlah kasus sosial bisa dianggap sebagai bukti kewalahan Jakarta. Kemacetan lalu lintas, banjir, hilangnya ruang hijau kota, kemiskinan, pengangguran, dan masih banyak lagi kasus yang bisa kita candra di sebagian besar media.

Menyikapi situasi ini, kita bisa melihat kota sebagai fenomena sosial yang total. Artinya kota berhubungan dengan berbagai macam aspek baik yang material, maupun aspek sosial, kultural, linguistik, politis, dan ekonomi. Dari keluasan ketersediaan cara pandang untuk memberi pendapat tentang kota inilah, posisi koreografer sebagai pelaku seni untuk tak ketinggalan mencoba menyuarakan pandangan mereka terhadap kota.

Sakitnya kota Jakarta bisa dilihat dalam tema yang diangkat Fitri Setyaningsih. Berjudul Aku Hampir Plastik, karya ini bertempat di sungai Pasar Baru tepat di depan pintu gerbang Pasar Baru dan halte busway di daerah tersebut pada 31 Agustus 2007. Melibatkan enam penari, termasuk dirinya sendiri, Fitri membungkus tubuh penarinya dalam jalinan botol-botol plastik bekas dalam dua ukuran. Dari sisi tempat dan lokasi, karya ini tak hanya mengambil unsur sejarah di masa lalu dimana sungai dan terutama pasar baru, merupakan tempat perekonomian yang cukup penting dari masa Batavia lama hingga sekarang. Di samping nilai sejarah, Fitri menggabungkannya dengan aspek updating dengan menggunakan halte busway sebagai salah satu tempat gerak penari. Dalam hal ini, masa lalu dan masa sekarang berkumpul di karya ini. Kenangan di masa lalu melintas dimensi waktu dengan keberadaan simbol pembangunan masa kini—suatu proyek transportasi yang lagi-lagi direncanakan oleh sosok pemimpin atau penguasa. Dalam kasus transjakarta, proyek ini menjadi ambisi Sutiyoso untuk memperlihatkan perannya sebagai gubernur Jakarta. Di sinilah kita kembali diingatkan akan pendapat J.M. Nas bahwa perubahan di Jakarta sangat ditentukan oleh sosok penguasa yang tengah memerintah.

Mengambil tempat di ruang publik, tentunya Fitri melibatkan sejumlah tim kerja yang tak hanya berangkat dari dunia tari. Untuk karyanya ini, Fitri menciptakan ‘semacam’ panggung berupa rakit dari kayu. Desain panggung tersebut dan bloking pementasan, Fitri melibatkan perupa Hanafi dan Selamat Teguh sebagai penata artistik.

Rakit kayu tersebut diapungkan di tengah sungai. Sejumlah tali diikatkan ke rakit tersebut, dan ditautkan di pinggir sungai untuk mencegah rakit tersebut hanyut atau berpindah tempat. Beberapa meter dari rakit itu, tepat di bawah jembatan yang satu garis lurus dengan jembatan layang halte busway, dibangun rakit kedua, tempat sejumlah kursi ditempatkan. Tempat ini digunakan bagi siapapun yang berani untuk turun dan duduk menonton di situ. Hanya ada beberapa orang yang nekat turun bersama sejumlah fotografer yang memang berkepentingan mengabadikan momen.

Karya ini diawali dengan munculnya seorang penari dibalut botol-botol plastik yang dijalin bersambungan dan dialasi dengan kain organdi. Ia muncul dari atas jembatan busway, diiringi bebunyian terompet yang dimainkan Setyanto. Cukup seru juga melihat reaksi penonton awam—anak-anak jalanan, para pekerja yang pulang kantor, dan penduduk sekitar Pasar Baru. Ada seorang ibu yang berlari turun dari busway, menggendong anaknya yang menangis keras. Anak-anak jalanan berlarian mendahului penari itu sambil berteriak heboh. Ada yang bilang seperti hantu atau setan.

Setelah tiba di bawah, penari itu bergabung dengan tiga penari berkostum serupa yang sudah turun di dalam kali. Tidak terbayang bagaimana rasanya tubuh mereka terendam di dalam sungai yang kotor. Mereka membelah air kotor, merenanginya menuju panggung rakit. Aksi mereka di dalam air dan kemudian di atas panggung diiringi dengan musik terompet dan saxophon yang dimainkan Bagus Tri Wahyu Utomo dan Gendot Dekanipa. Para pemain musik ini tampak berdiri di pipa air di atas sungai.

Pertunjukan para penari itu tak hanya terjadi di atas panggung. Dua dari total enam penari, tampak berlarian di jembatan di tengah para penonton. Tak ada lagi batas antara penikmat dan pelakon seni. Penonton bebas menyentuh botol atau tubuh penari. Celetukan berbaur. Spontan dan tanpa pretensi. Dengar saja komentar seorang nenek yang tinggal tak jauh dari lokasi. Ia terbangun karena mendengar suara keramaian. “Itu beneran orang?” tanyanya kepada saya.

Pada akhirnya batasan memang melebur. Tak lagi semata pertunjukan tari. Tapi juga happening art, sekaligus instalasi. Pasalnya, Fitri lebih menekankan pada konsep. Dimana ia tak lagi menitikberatkan pada detil gerak. “Lebih kepada merespon properti yang dikenakan,” ujar lulusan jurusan tari Institut Seni Indonesia (ISI) Surakarta pada 2003 ini.

Menyikapi karya konseptual semacam ini, kita memang tidak bisa mengharapkan sebuah pencapaian artistik. Semisal kepuasan atau kenikmatan ketika kita melihat keindahan teknik gerak atau sapuan kuas yang detil menirukan realita dalam lukisan. Seni konseptual lebih menitikberatkan pada desain, konsep, ide. Dalam hal ini, Fitri menyuarakan ide tentang pencemaran lingkungan.

Karya ini memang tak sulit untuk dimaknai. Botol-botol plastik, tubuh yang mengapung di sungai, menyuarakan tentang kegelisahan akan sampah yang mengganggu ekosistem. Untuk konsep ini, Fitri mengaku tak bisa menempatkan karyanya sembarangan. “Harus di sungai. Ngga bisa di bundaran HI (Hotel Indonesia) atau tempat lainnya. Karena berangkat dari ide tentang sungai sebagai bagian penting kehidupan masyarakat Jakarta dari dulu,” ujar Fitri.

Jika tujuan dari karya ini adalah sebuah pemaknaan, Aku Hampir Plastik menemukan tujuannya. Lebih tepat jika karya ini disebut pementasan kampanye. Untuk menarik maknanya lebih lanjut, atau mencari kenikmatan artistik, saya tak menemukannya. Bagi saya, koreografi Fitri pada akhirnya adalah seni instalasi di ruang publik.

Dengan kata lain, dalam durasi 60 menit, setengahnya saja, saya dan mungkin penonton awam lainnya, sudah mengerti akan konsep yang diinginkan koreografer. Selebihnya, bersama dengan orang banyak yang hadir di tempat tersebut, saya lebih mengkhawatirkan kondisi kulit mereka. Semoga tidak gatal-gatal.

Dari sudut pandang melihat koreografi dari pencapaian artistik, eksplorasi gerak, dan sejenisnya yang biasa terjadi semata di panggung konvensional, karya ini belum bisa dibilang berhasil. Namun dari perspektif konteks sebuah tema terhadap karya, Aku Hampir Plastik cukup mengena.

Sebagai sebuah program dengan tema khusus lagipula spesifik seperti ini, mendorong saya untuk memasuki dua terminologi kerja kritikus yang pernah dipaparkan Jack Anderson dalam bukunya Choreography Observed. Ia menyodorkan istilah evocation dan evaluation. Dengan evocation, seorang kritikus menyampaikan sensitas atau rasa yang terjadi saat pertunjukan. Jika koreografi menjadi fokus review, maka seorang kritikus sebaiknya menyampaikan seperti apa sebuah karya berjalan. Apakah dramatik, abstrak, sedih, gembira, tenang? Lebih lanjut, sejak tari menjadi sebuah seni gerak, seorang kritikus seharusnya berusaha untuk menyediakan sejumlah pemikiran tentang jenis kerak dan pola koreografi yang diolah kepada pembaca: Apakah langkah para penari terlihat kasar dan menyapu lantai atau halus dan melayang? Apakah para penari bergerak mendekati bumi atau melayang ke udara, apakah mereka cukup menguasai panggung dengan bloking atau ada sejumlah area yang tidak dipenuhi penari?

Jenis pandangan evocation semacam ini akan menyita banyak ruangan kertas. Karenanya perlu diimbangi dengan pendekatan evaluation, yang harus bergerak lebih lanjut dari sekadar deskripsi atau penggambaran. Kerja evaluasi ini meliputi analisa, interpretasi dan kadangkala menyimpulkan karya yang dilihat. Seringkali pertanyaan yang diajukan kepada diri sendiri berupa, Apakah saya menyukai tarian ini? Apakah signifikan? Kenapa begini, mengapa tidak begitu. Proses evaluasi ini menurut Anderson seringkali mengganggu baik penari maupun koreografer. Anderson yang lama menulis untuk The New York Times, Dance Chronicle, Dance Magazine, dan masih banyak lagi ini, kerap dihujani pertanyaan, mengapa kritik mesti bersifat evaluasi? Mengapa kritik tidak bisa obyektif?

Masih dalam buku yang sama, Anderson menulis bahwa obyektivitas adalah sesuatu yang sangat sulit ditentukan secara pasti. Di lain pihak, menurutnya obyektif bisa diartikan sebagai kebebasan untuk menilai. Namun ketika kalangan penari atau koreografer meminta kritik untuk menjadi obyektif, mereka sebenarnya meminta sebuah tulisan atau respon yang deskriptif dan menghindari evaluasi. Kebanyakan perhatian kemudian diberikan untuk melakukan deskripsi dalam penulisan kritik tari kontemporer, dan sebagian besar workshop dalam hal penulisan tari menekankan pada kemampuan menulis secara evocative. Mungkin inilah yang sejatinya diharapkan bagi kerja para kritikus tari: untuk menemukan cara memverbalkan persepsi dari sebuah seni non-verbal sekaligus upaya pendokumentasian tari.

Dua sudut pandang ini: evocation dan evaluation, dianjurkan Anderson untuk digunakan secara berimbang. Upaya pendeskripsian dalam evolution, lebih saya tempatkan sebagai jejak atau penanda untuk memasuki tahap evaluation. Semacam rekonstruksi dalam metode penyelidikan kriminalistik untuk mencari clue ke arah mana sebuah kasus bermuara. Dalam hal ini, deskripsi merupakan suatu cara mengenang kembali apakah ragam gerak yang telah terjadi di atas panggung—konvensional ataupun tidak—memenuhi kategori signifikansi dengan tema kota.

DKJ menyodorkan dua sub tema: ruang fisik perkotaan (Jakarta) dengan problematikanya, dan ruang sosial perkotaan (Jakarta) dengan problematikanya. Dari keseluruhan karya koreografer Indonesia yang tergabung dalam GKK, karya Fitri dengan masih terdapatnya sejumlah kekurangan dalam hal eksekusi dan kekayaan eksplorasi materi gerak, paling signifikan ketimbang karya lainnya. Ia satu-satunya koreografer yang mengambil sub tema ruang fisik perkotaan. Ketika sub tema ini kemudian ditampilkan di lokasi dimana masalah ruang fisik perkotaan itu benar-benar terjadi, karya ini memperoleh signifikansinya.

Inilah keuntungan karya yang menggunakan pendekatan site-spesific installation. Pemilihan tempat yang betul-betul terjun langsung ke tengah forum publik, akan mendapatkan respon beragam dan bersifat murni. Perspektif publik yang spesifik—dalam hal ini tipe penonton yang terkelompok berdasarkan jenis keseniannya—akan menjadi minoritas. Ada dua pilihan yang terjadi. Pertama, penonton beragam (awam) memiliki pendapat yang spontan dan murni. Mereka jarang memiliki kesempatan dan kemauan untuk mendatangi ruang-ruang kesenian (galeri atau gedung pertunjukan). Sehingga pendapat mereka tak dibentuk oleh persentuhan atau hasil diskusi dengan komunitas seni, katalog, kuratorial, jurnalis, atau/dan kritikus. Sejumlah seniman seringkali menempatkan penonton awam sebagai hasil keberhasilan sejati karya mereka. Tidak masalah jika karya mereka dihujat kritikus. Argumentasi yang kerap diberikan seniman golongan ini adalah: Karya ini memang diperuntukkan untuk masyarakat awam. Yang terpenting mereka menyukainya. Komentar mereka lebih berharga karena murni datang dari pandangan awam.

Kedua, pandangan kalangan seni yang sudah terkelompok. Sifatnya sangat spesifik, namun memiliki pengaruh cukup kuat untuk menentukan kualitas sebuah karya. Meski seringkali kita mendapati pelaku seni yang seolah menafikan pendapat kelompok satu ini, sejatinya mereka mencoba menyelidiki atau mencari tahu seperti apa pandangan pihak spesifik ini terhadap karyanya. Di pihak lain, kalangan ini seringkali juga memandang karya seni hanya dari sisi kemasan. Ketertautan dengan konteks, signifikansi dengan masalah, dan respon dari lingkungan sekitar atau penonton awam, seringkali terlewatkan.

Bagi pihak yang kerap menonton karya koreografi tari di ruang konvensional mungkin akan dihantui sejumlah pertanyaan dari kenyamanan menonton, segi eksplorasi gerak hingga struktur. Belum lagi dengan terkuasainya materi gerak—sebagai bahan dasar dari apa yang namanya karya tari—ke dalam ruang hingga seni instalasi yang tampil lebih menonjol. Di posisi ini, gerak lebih berkapasitas mengisi ruang dan merespon properti. Di luar kelemahan itu, demi mengejar aspek signifikansi terhadap konteks tema kota, karya ini memenuhi sasarannya.

Di luar itu, karya kelima koreografer lainnya bertarung di wilayah ruang sosial perkotaan. Mereka mengangkat tema kejadian-kejadian sosial yang dihadapi para penghuni kota.

Koreografer pertama, Jecko Siompo menampilkan fenomena pendatang yang mesti hidup di kos dalam karyanya, Terima Kos di Goethe Haus, pada 22-23 Agustus.

Sejatinya, adegan pembuka itu sangat pribadi sifatnya bagi kehidupan Jecko. Pemuda kelahiran Jayapura, 4 April 1975 ini tiba di Jakarta pada 1993. Saat itu ia tinggal di sebuah kos di daerah Mampang. Baginya, fenomena anak kos ini adalah cara pandangnya sebagai anak daerah saat memasuki sebuah ruang bernama kota—dalam hal ini Jakarta.

Meski terkesan sederhana, ide ini sangat relevan. Pun realistis. Betul-betul terjadi di masyarakat urban yang sejatinya nomaden. Permasalahan ruang dan jarak terefleksi lewat pemandangan kemacetan, mahalnya harga tanah dan pemukiman, serta transportasi umum yang berantakan. Kos menjadi salah satu solusinya. Demi menyingkat waktu, seringkali kaum pekerja atau pelajar, menyewa satu kamar yang lokasinya dekat dengan tempatnya beraktifitas dan mencari nafkah. Di batas ruang itulah, manusia kota menyandarkan beban kehidupannya.

Jecko sendiri menyikapi kos sebagai ruang untuk menikmati dunia. Di ruang sempit itu, ia mengalami dan melihat peristiwa yang tak hanya dimilikinya seorang. “Saya melihat berita di belahan dunia lain yang muncul di teve di dalam kos. Menerima tamu dari luar negeri pun di kos,” ujar Jecko.

Interaksi sosial yang dirasakannya dalam lingkungan sosial urban juga dialaminya di kos. Tidak hanya dengan teman kos sesama lelaki, tapi juga perempuan. Meski mengalami kos campur, bukan berarti kehidupan lelaki dan perempuan tampak sama. “Ternyata, perempuan itu banyak memiliki batasan dalam hidupnya. Bahkan dari menggantung jemuran pun mereka memisahkan pakaiannya,” ujar Jecko.

Bukan sekali ini Jecko mengangkat pengalaman hidup di kos ke dalam bentuk koreografi. Pada tahun 2000, ia mementaskan karya Jam 8 Malam di Kamar Kos di Gedung Kesenian Jakarta (GKJ). Kemudian karya Aku Mengganti Baju di Kamar Kos pada Festival Seni Surabaya pada 2004.

Sudah menjadi kecenderungan seorang Jecko Siompo untuk menggarap karya yang mengambil bahan dasar gerak dari tradisi Papua dan tari modern seperti hip hop dan breakdance. Persentuhannya pada bentuk gerak modern ini terjadi pada 1986, saat ia mengunjungi Jakarta pertama kalinya, dan melihat breakdance pertama kalinya di parkir timur Senayan. Sejak itu, gerak tari patah-patah ini begitu menarik minatnya untuk ditampilkan di atas panggung.

Pembauran modern dan tradisi ini juga tampak di karya Terima Kos. Dengan melibatkan 10 penari, lima perempuan dan lima lelaki, Jecko mencipta tampilan-tampilan gerak unik sekaligus nge-pop. Pada sejumlah bagian yang menampilkan gerakan hip hop, tubuh mereka enak sekali dilihat. Tidak kalah dengan gerakan para penari di panggung musik komersil atau sejumlah klip video musik pop dance dari penyanyi dalam atau luar negeri.

Bagian gerakan tradisi juga tak kalah menggelitik. Bahkan cenderung lucu. Seperti saat mereka menekuk lutut ke depan, kemudian tangan dilipat seperti ayam. Ternyata menurut Jecko, posisi tersebut tidak meniru ayam. “Waktu kecil, saya itu sering main sama kangguru atau tikus tanah. Binatang lainnya yang cukup akrab itu burung,” kata koreografer yang pernah menjadi juri di acara tari modern di sebuah stasiun televisi swasta ini.

Menurut koreografer yang baru saja terlibat dalam Asian Dance Conference 2007 di Tokyo, Jepang ini, gerakan tari tradisi di Papua memang banyak meniru gerakan binatang, sebagai representasi dari alam. Kedekatan hubungan masyarakat Papua dengan alam inilah yang menjadikan gerakan sebagian besar tarian tradisi mereka kental akan ritmik, sekaligus dinamis.

Penggabungan modern dan tradisi yang sejatinya satu nafas ritmenya ini memang modal kuat untuk menarik perhatian penonton. Belum lagi busana sehari-hari yang dikenakan para penarinya. Penari lelaki mengenakan kaos ala seragam pemain sepakbola. Sementara penari perempuan berkostum irit: daster, tank top, celana pendek, kemben.

Dengan gerakan yang dinamis, kostum irit semacam itu memang sangat mengeksploitasi keindahan tubuh. Jecko menempatkan kostum semacam ini sebagai representasi pakaian sehari-hari para penghuni kos yang perempuan. Dalam kacamata dunia tari, kostum minim untuk memperlihatkan kualitas fisik penari, dimana otot dan seluruh anggota tubuh bekerja mempertontonkan gerak.

Dilihat secara ide dan tema, karya yang ditampilkan Jecko bisa diandaikan semacam lukisan yang jelas penggambaran obyeknya—meski tidak naratif. Panggung jika diibaratkan kanvas, merupakan bidang yang menjejerkan pengalaman-pengalaman Jecko di dunia kos.

Dari pengalaman nangkring di genteng, jarak antara penghuni kos perempuan dan lelaki, kehebohan jika ada penghuni kos yang ternyata bermasalah, hingga impresi Jecko tentang orang kaya yang nge-kos. Hal ini diperlihatkan ketika seorang penari lelaki berkostum lumayan keren—dibanding penari lainnya—menari breakdance solo.

Penyusunan beragam pengalaman ini tidak tersusun rapi. Acak dan seringkali lebih berupa kelebatan saja. Seperti flash dalam penggunaan kamera. Seolah semacam kisah atau pendapat yang tak terselesaikan. Atau gaya celetukan khas anak muda yang hanya ingin komentar saja.

Hal inilah yang menjadikan penonton mungkin tak sepenuhnya mampu merangkai impresi terhadap keseluruhan susunan gerak yang diciptakan Jecko. Benar adanya, bahwa impresi sangat subyektif sifatnya. Masalahnya, sejumlah bagian tersebut tampil seperti asap. Tampak secara inderawi, namun kemudian hilang begitu saja tanpa jejak.

Bukan berarti pengalaman yang ditampilkan Jecko tersebut tidak terjadi di kehidupan orang lain. Masalahnya lebih ke soal teknis. Saya ibaratkan lukisan surealis Salvador Dali, The Persistence of Memory. Penempatan imaji di dalam lukisan itu memang memiliki tujuan sekaligus saling berkaitan dan merangkai makna. Sementara imaji dalam karya Jecko, tampak acak. Seolah serpihan gabah di atas nyiru.

Meski tersebar, ada sejumlah adegan gerak yang tetap menyisakan jejak menuju pemaknaan. Tetap sama-sama mengangkat masalah anak daerah yang harus hijrah ke kota, Ery Mefri menyajikan karya Karatau Madang di Ulu yang berangkat dari fenomena merantau di masyarakat Minang.

Fenomena merantau ini menurut Peter J.M. Nas merupakan bentuk migrasi sirkular yang khusus di Indonesia, dan memiliki sejarah panjang teristimewa dalam masyarakat matrilineal Minangkabau di Sumatera. Tak hanya terhubung dengan sistem matrilineal, J. Rodenburg dalam In the Shadow of Migration: Rural Women and their Households in North Tapanuli, Indonesia, menganalisis hubungan yang mengakar antara migrasi sirkular dan peran gender di Tapanuli Utara, Sumatera yang patrilineal.

Di tangan Ery Mefri, tradisi merantau ini digambarkan sebagai suatu ekses dari kesalahan terbentuknya paham matrilineal. Koreografer kelahiran Sangbakar, Solok, Sumatera Barat, 23 Juni 1958 ini menilai bahwa tradisi merantau menyebabkan tanah Minangkabau kosong. Yang tertinggal hanya kebodohan orang yang senang diperbodoh. Lebih lanjut ia bertujuan untuk melihat konsep matrilineal sebagai penyebab hilangnya sebagian besar kaum pria dari kampung.

Ketika Jecko berpijak pada sudut pandang Post Factum¬, suatu kondisi yang terjadi pasca perantauan dengan menggunakan lokasi kejadian adalah tempat tujun perantauan itu, sementara Ery Mefri lebih berpijak pada tema kontemplatif. Suasana kebatinan dari para perantau Minang, sekaligus mencoba menciptakan teori tentang penyebab mereka merantau.

Memang tak bisa dimungkiri, bahwa konsep pembagian harta yang menempatkan perempuan sebagai pemegang kekuasaan mayoritas, sekaligus penerima warisan. Alhasil, kaum lelaki yang tidak mendapat harta sama sekali, harus merantau untuk mencari penghasilan sendiri.

Di pihak lain, tradisi seperti ini saya pandang sebagai nilai positif untuk menjadikan kaum lelaki Minang lebih tangguh, mandiri, dan ulet dalam bekerja, mencari kehidupan yang lebih baik tanpa mengandalkan pemberian leluhur. Inilah yang justru menjadikan lelaki Minang lebih mampu bersaing di perantauan.

Sebagai karya yang bertema menggugat dan berangkat dari suasana kebatinan, Ery menciptakan gaya dan alur lambat dalam struktur koreografinya. Ragam gerak yang mengisi alur tersebut, lebih banyak mengangkat citarasa tari tradisi Minang, dari jenis Randai maupun pencak silat. Posisi tangan dan kuda-kuda kaki yang begitu kental akan seni beladiri Minang, sangat terasa ketika duet gerak Angga Djamar dan Rio Mefri.

Melibatkan total lima penari, Ery menggunakan sejumlah properti yang sarat menyimbolkan makna keluarga dan rumah. Ia menempatkan empat kursi rotan dan sejumlah piring perak besar menyerupai nampan. Suasana rumah dan tradisi semakin sarat dengan jenis kostum yang dikenakan para penarinya. Mereka menggunakan sejenis celana galembong yang berpipa besar.

Dari unsur gerak, alur, hingga eksplorasi properti, tak ada sesuatu yang baru di sepanjang karir Ery Mefri sebagai koreografer. Gaya Randai, selalu dipakainya. Begitu pula cara lantunan nada yang dikeluarkan para penarinya. Seperti meratap. Gaya ini dipertahankan Ery dengan alasan bahwa musik merupakan nafas dari karya tari yang disalurkannya melalui penari. Suatu ekspresi yang murni menjadi tujuan pendiri kelompok tari Nan Jombang ini. Dimana tidak mungkin suara hati diwakilkan atau disuarakan pemusik atau orang lain.

Bentuk gerak lainnya yang masih sama adalah cara para penari memukul kain galembong di antara paha sambil membungkuk atau ketika salah satu kaki terangkat. Cara seperti ini sudah pernah saya lihat saat Ery Mefri menyajikan tari Tiang Nagari di Bentara Budaya Jakarta pada Desember 2003. Gaya permainan nampan peraknya juga merupakan jejak karya Ratok Piriang yang juga tampil di tempat dan waktu yang sama.

Bagi penonton yang baru pertama menonton karya Ery, mungkin akan terkagum-kagum dengan kualitas tehnik, gaya pencak silat, teriakan ratapan, dan kejutan suara kain yang ditampar. Namun bagi saya, dan mungkin penonton yang dua hingga tiga kali menonton karya tari Ery Mefri, bukan tidak mungkin untuk merasa bosan. Ia terus menerus mengulang gaya yang sama dan tidak beranjak untuk menjajal sesuatu yang baru.

Keistimewaaan karya Ery Mefri memang terletak pada kemampuannya membuat penonton tercengang dengan gaya akrobatik penarinya sekaligus penciptaan gerakan yang terlihat sulit. Namun apakah sebuah tari hanyalah sekadar pameran virtuoso tubuh manusia? Melihat karyanya, saya terjebak dalam pertanyaan, sejauhmana gerak—seindah apapun—bisa dibebaskan dari konteks? Apakah menjatuhkan penilaian sebuah karya itu bagus dan tidak, semata dari kemampuan tehnik kepenarian?

Hingga usai pertunjukan, saya berusaha mencari makna dari sejumlah simbol properti dan gerak yang diciptakan Ery Mefri. Ketika suasana kebatinan dari karyanya terbentur pada sifat lokal simbol-simbol yang dimunculkannya, sangat sulit bagi penonton non Minang untuk menarik sebuah makna, alih-alih menempatkannya sebagai karya bertema kota.

Setiap koreografer dan pencipta pasti memiliki jawaban atau alasan sendiri tentang argumentasi keberadaan ciptaannya. Dalam hal ini, pasti Ery Mefri memiliki sejumlah penjelasan terhadap sejumlah pengadeganan yang diciptakannya. Namun ketika simbol dan ragam gerak itu juga pernah dilibatkannya untuk tema dan konteks yang berbeda, masihkah berlaku kerja pemaknaan yang lampau atau yang pernah penonton lihat di karyanya yang dulu? Gambarannya, jika dulu lampu hijau lalu lintas memberi makna bebas jalan, lantas bagaimana ketika lampu hijau itu diletakkan di tengah taman. Apalagi ketika sejumlah simbol itu bermakna lokal atau sangat personal. Seperti adegan lelaki nangkring di atas genteng di karya Jecko, saya baru memahami artinya setelah bertanya langsung.

Semakin buramnya simbol-simbol itu saya temukan di karya Desi Isna Rizky berjudul Satu dalam Pilihan dan Andara Firman Moeis berjudul Kosong. Mereka masih memakai perspektif pengalaman pribadi dalam menyusun gerak. Kita tahu bahwa penciptaan bahasa merupakan hasil kesepakatan komunal. Tidak mungkin misalnya seseorang bertahan menggunakan sebuah kata misalnya kursi saat ia ingin makan, sementara orang lain mungkin memahami kursi sebagai kata benda.

Tari kontemporer memang sebuah bidang yang terus bertumbuh, menyesuaikan dengan karakter masyarakat atau situasi sosial di sekitarnya. Tak heran jika tak pernah terjadi kesepakatan idiom, atau pembentukan “bahasa”. Namun ruang kebebasan ini tak lantas harus ditanggapi dengan membuat gerak sesuka hati. Dalam karya Desi, dua penari, Andara Firman dan Nur Hasanah, menari mengeksplorasi patung kaca di halaman Goethe. Gerakannya bermacam. Kostumnya sangat mendukung orang untuk melihat seberapa energiknya para penari bergerak. Lantas bagian mana yang mengarah pada sinopsis yang diberikan Desi di buku produksi: Pilihan hidup ditentukan diri sendiri. Mungkin sinopsis ini juga memberi argumentasi, tentang pilihan menciptakan gerak tergantung diri sendiri atau pencipta.

Begitu pula karya Andara. Gadis yang akrab disapa Anggi ini menciptakan properti triplek sebagai gambaran ruang yang terus membatasi gerak manusia. Lantas juga ada kursi yang dijadikan simbol tempat untuk merenung dan berkontemplasi.

Jika dilepaskan dari properti, seperti misalnya karya Anggi ini hanya tampil dalam bentuk susunan gerak saja, bisa dipastikan bahwa karya ini sulit untuk dipahami. Sangat terlihat bahwa Anggi hanya menekankan pada keinginan untuk menciptakan variasi gerak sebanyak-banyaknya dan sebagus-bagusnya. Respon terhadap properti pun lebih banyak tampil dalam rupa gerakan dramatis, misalnya menabrakkan punggung ke dinding menghasilkan bunyi keras yang tiba-tiba.

Jika dalam beberapa tahun terakhir ini, di dunia sastra muncul idiom “sastra wangi”, kemunculan karya Anggi, Desi, ditambah Jecko, mengantarkan saya pada idiom “koreografi wangi”. Suatu istilah yang terbersit dalam pikiran saya untuk mengelompokkan karya koreografi yang indah, mengekspos tubuh perempuan, dalam kostum yang minim dan indah. Ada kecenderungan seperti itu yang saya lihat dalam dua tiga tahun terakhir ini. Saya teringat karya ujian akhir Yola Yulfianti di IKJ—sekitar dua atau tiga tahun silam yang kemudian dipentaskan di Teater Utan Kayu (TUK). Tubuh penarinya dibalut gaun pendek merah menerawang dan gerakan menjadi begitu erotis saat tubuh mereka basah karena bergerak di dalam kolam buatan.

Sejak saat itu, kecenderungan mengekpos unsur wangi ini semakin menjadi. Saya tidak menentang bentuk karya semacam ini. Lebih berusaha untuk mengidentifikasi, dimana sejumlah karya yang berangkat dari tema keseharian yang dialami para koreografer muda, akan tetap menciptakan kostum ‘istimewa’ dan ‘khusus’ untuk di atas panggung. Sangat berbeda dengan kecenderungan karya tari kontemporer Amerika saat ini yang lebih memakai baju sehari-hari. Karya William Forsythe, Miguel Gutierrez, Susan Marshall, dan John Jasperse, menempatkan para penarinya dalam kostum santai, nyaman, seperti berupa kaos dan celana jins atau setelan training. Hasilnya, penonton akan fokus pada kerja pemaknaan adegan lewat gerak dan terhindar dari teralihnya perhatian. Keinginan untuk berindah-indah memang godaan kekal bagi koreografer, namun sebisa mungkin apapun yang dibentuk harus tetap dalam track konteks tema.

Sedangkan karya Yudistira Syuman, Let It Be Me yang dipentaskan bersamaan dengan karya Ery Mefri di Goethe Haus pada 12 September, juga mengangkat wajah sosial perkotaan. Bertema homoseksual, karya ini masih bercirikan seorang Yudistira Syuman. Dimana ia cenderung menggunakan sejumlah musik pop yang mengiringi gerakan balet modern yang tercipta ditimpali sejumlah teks yang disuarakan secara vokal oleh penari. Saya rasa bukan sekali ini karya Yudi dinilai terlalu verbal dengan terlibatnya teks vokal. Namun ia terus menciptakan karya seperti ini, seolah menjadikannya ciri kekhususan karyanya.

Ketika karya lainnya mungkin meruwetkan otak penonton, karya Yudi adalah wajah kejujuran yang lugas. Penonton tak sulit merangkai makna ketika beberapa penarinya menyuarakan teks “Kawin!” “Siapa yang mau dilahirkan seperti ini” atau “Aku hanya bisa dinikmati tapi tak bisa menikmati”.

Misi dari karya ini sangat luhur dan masih langka. Yudi melempar mozaik realitas kehidupan kaum gay yang sebenarnya tak hanya terjadi di kota besar. Hanya saja, Jakarta sebagai kota metropolitan, menemukan ruang yang lebih lega bagi kaum gay untuk hidup ketimbang di daerah. Sayangnya dengan penempatan teks vokal tersebut yang disuarakan secara kemayu, para penari lelaki yang memakai baju tutu, dan gerakan mereka yang gemulai, justru menggarisbawahi citra kaum gay yang oleh sebagian besar kalangan konservatif, tak lebih sebagai lelucon. Dalam karya ini, Yudi lebih menempatkan karyanya sebagai lapisan permukaan masalah yang dihadapi kaum gay. Tidak menyentuh sampai ke batas sikap sang koreografer sendiri terhadap kehidupan dan keberadaan mereka. Apakah Yudi menentang, menyetujui mereka, atau menggugat sistem sosial pemerintahan negeri ini untuk lebih memberi ruang kepada mereka atau bagaimana? Batas itu belum terlihat jelas.

Sejatinya, tak hanya karya Yudi yang baru sebatas permukaan. Koreografer lainnya juga masih dalam batasan menyampaikan kejadian yang mereka anggap berkaitan dengan tema perkotaan. Soal sampah, merantau, gay yang ditemukan di karya Fitri, Jecko, Ery Mefri, dan Yudi. Sementara karya Anggi dan Desi, saya dengan berat hati menyatakan tidak bisa menemukan aspek perkotaan yang disodorkan DKJ, meski itu seandainya dipaksa untuk menghubung-hubungkannya dengan karakter sosial manusia perkotaan.

Sedangkan tiga karya koreografer JCDN, hanya karya Hiroyuki Miura yang bisa ditarik dari aspek kekosongan jiwa dan pathetic-nya kehidupan pekerja kantoran di dunia urban. Sementara karya Ko& Edge Co dan Akamarukyuujyousyou, konsep yang terasa dari karya mereka lebih bersifat universal. Meski demikian, ketiga karya koreografer asal Jepang ini sangat menarik ditampilkan bersamaan dengan karya koreografer Indonesia lainnya. Selain untuk membuka mata para pelaku seni tari tentang pencapaian yang dialami negara lain, juga untuk membandingkan kualitas kedua negara.

Menyodorkan tema khusus kepada koreografer Indonesia menjadi pendekatan alternatif yang dilakukan komite tari DKJ yang selama ini cenderung mengundang karya dengan pendekatan penciptaan forum. Seperti misalnya The Next Traces dengan tema yang sangat beragam dan bervariasi. Namun tetap saja, program ini lebih berupa ajang pementasan karya. Padahal yang tengah terjadi saat ini adalah jalan di tempatnya kreativitas para koreografer dalam berkarya.

Kesempatan untuk berkarya memang menjadi impian setiap seniman, namun ketika amunisi untuk berkarya tidak dimiliki, hasilnya adalah suatu pemandangan memprihatinkan, dimana para koreografer tetap memakai bahan yang sama dan usang.

Jakarta, 19 September 2007

Bahan:

1. Kota-Kota Indonesia, Peter J.M. Nas.

2. City for Human Development, C.A Doxiadis.

3. The Image of the City, Kevin Lynch

4. Mega-urbanization in ASEAN: New phenomenon or transitional phase to the “Los Angeles World Exhibition” , Douglas Webster.

5. Choreography Observed, Jack Anderson.

6. In the Shadow of Migration: Rural Women and their Households in North Tapanuli, Indonesia, J. Rodenburg.