Sejarah merupakan bagian penting dari sebuah bangsa, begitu juga bagi Indonesia. Hilmar Farid, sejarawan yang suka dengan karya-karya Pramoedya Ananta Toer membuka mata kita untuk mengingat kembali sejarah kerajaan Majapahit, bukan tentang kejayaannya melainkan mengenai keruntuhannya sebagai titik arus balik yang penting untuk dipahami.

Hilmar Farid menyampaikan Pidato Kebudayaan, tradisi tahunan DKJ sejak 1989, di hadapan seribu orang yang memenuhi Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki pada Senin (10/11/14) lalu. Tema pidato yang dibacakannya Arus Balik Kebudayaan: Sejarah sebagai Kritik.

Dalam pidatonya, Hilmar juga menyinggung problem bangsa yang selalu dikaitkan dengan masalah mentalitas bangsa seperti yang pernah dirumuskan oleh sastrawan Mochtar Lubis dulu atau bahkan istilah yang paling baru: revolusi mental. Hilmar berkata, “Jika ini benar, maka kita tidak perlu presiden dan menteri yang andal dan mumpuni, cukup seorang motivator yang bisa mengubah segala yang negatif menjadi positif. Super!” Disambung dengan tawa dari semua pengunjung.

Sejarah panjang yang diuraikan Hilmar Farid dalam pidatonya menjelaskan bahwa alasan kita sampai pada keadaan seperti sekarang ini berakar pada kegagalan menguasai dan mengendalikan ruang agar sesuai dengan ritme bangsa. Laut yang sejatinya fundamental dalam kehidupan sebuah negeri maritim ditinggalkan sejak zaman Amangkurat I.

Menurut Hilmar, meredupnya dan menghilangnya kebudayaan maritim saat ini tercermin dari kekeliruan dalam menerjemahkan konsep archipelagic state sebagai negara kepulauan. Dengan menyebut Indonesia sebagai negara kepulauan maka laut dilihat sebagai pembatas atau penghalang bukan sebagai penghubung.

Diakhir Suara Jernih dari Cikini, Hilmar membeberkan tiga poin yang bisa ditempuh untuk mengembalikan makna sesungguhnya dari konsep archipelagic state sebagai lautan yang ditaburi pulau-pulau. Pertama, kita harus menyadari laut sebagai bagian dari ruang sosial dan kultural kita. Kedua, kita memerlukan tindakan yang bersandar pada kesadaran baru dan keinginan mendengarkan. Terakhir, kita butuh mempelajari beragam ritme kehidupan dalam masyarakat dan keluar dari belenggu pikiran bahwa ritme yang satu lebih unggul dari ritme yang lain.