B O D Y  O U T

Pada 1960-1970-an, tubuh dalam sejarah awal seni performa di Barat memang merupakan medium utama untuk membebaskan tradisi seni rupa dari nilai-nilai konvensional seni modern dan hegemoni pasar seni tinggi yang cenderung eksklusif. Seniman Dada dan Fluxus menawarkan seni konseptual mereka dengan mempergunakan tubuh fisiologi sebagai komponen mereka berkarya. Karya yang dilakukan secara langsung dengan durasi waktu tertentu sehingga menjadikannya nyata. Karya tersebut kemudian disebut karya seni performa yaitu karya yang sulit untuk dikoleksi dan inklusif sesuai dorongan utama seni performa lahir. Tawaran tema-tema seni performa menyuguhkan kembali potensi seni dalam merespon persoalan sosial dan kemanusiaan yang pada saat itu acap kali diabaikan oleh dunia seni Barat.

Setibanya di Indonesia pada 2000an, dengan menggunakan kendaraan teknologi dari konteks globalisasi, istilah seni performa “performance art” kemudian dikenal luas oleh para pelaku seni Indonesia. Situasi politik dan ekonomi Indoneisa yang tidak menentu pada saat pasca reformasi, menjadi alasan seni performa menggeliat pesat. Adanya kesamaan situasi sosial di masyarakat dan inisiatif para pelaku seni yang menganggap dirinya agen perubahan, membuat medium performance art ini absah diadopsi sebagai medium baru di dunia seni Indonesia. Walaupun gerakan-gerakan pembebasan serupa sudah muncul dari pertengahan 80an, namun istilah yang dipakai masih berupa ‘seni aksi’ atau ‘seni protes’. Aksi ini populer juga disebut happening act, peristiwa rekayasa yang seolah-olah muncul di realitas publik umum.

Awal perjalanan perkembangannya, penggunaan istilah dalam bahasa Inggris yang tidak kunjung disesuaikan ke dalam bahasa Indonesia. menjadi masalah bagaimana medium ini dijustifikasi. Istilah performance art dan performing art seringkali menjadi kabur batasan dan wilayah pemahamannya. Performance art dalam bahasa Indonesia berarti ‘seni performa’, sedangkan performing art berarti ‘seni pertunjukan’. Namum sering kali seni performa disamakan dengan seni pertunjukan, padahal keduanya merupakan dua tradisi yang berbeda. Adanya kesamaan medium dan saling pinjam simbol tersebut yang terjadi sekarang. Maka untuk menemukan perbedaan antara performance art dan performing art perlu mendalami persoalan sejarah dan memahami konteks medium masing-masing.

Presentasi seni performa acara ini adalah ‘Tubuh’. Tubuh-tubuh seni performa telah sekian lama diokupasi oleh tradisi seni pertunjukan karena situasi sejarah. Kini, dalam konteks seni kontemporer, bentukan seni performa telah merembes ke dalam disiplin seni yang lain, bahkan yang bukan termasuk disiplin seni seperti ilmu pengetahuan dan keseharian. Upaya yang seringkali muncul adalah upaya menghidupkan semangat pembebasan bagi terminologi seni performa itu sendiri dalam konteks seni rupa kontemporer. Tema tubuh yang merupakan medium konvensional pada sejarah performance art di barat saya tawarkan pada para seniman untuk mengekstensi maknanya sesuai pemahaman masing-masing.

Berkaitan dengan penjelasan tadi, tajuk Body Out Performance mencoba menghadirkan gejala-gejala yang diduga merupakan hasil evolusi dari skemata performance yang berhasil bertahan hidup, melalui karya para seniman sebagai gambaran evolusi yang mungkin telah terjadi, baik disadari atau tidak. Acara ini menghadirkan sepuluh seniman muda dari Bandung dan Jakarta yang berasal dari berbagai latar belakang pendidikan berbeda-beda. Seniman yang telah mendapatkan apresiasi karena upaya mereka merespon bebagai macam isu dengan cara performatif. Hal ketubuhan hadir dalam karya mereka. Ada tubuh personal, tubuh sosial, tubuh virtual, tubuh relasional, dan tubuh trasisional. Keragaman model tubuh tersebut menjadi relasi akan perpanjangan tubuh diri mereka sendiri yang dikemas dalam suatu gagasan.

 

Produksi Program:

  1. Sharing body out dan pengalaman dalam berbagai proyek kesenian,
  2. Presentasi performatif atas beberapa kerja riset lintas media,
  3. Karya-karya lintas media,
  4. Aktivisme tubuh-performatif dalam seni tradisi (Ronggeng Gunung).

Program ini menghadirkan 16 seniman performance art, dalam kerja-kerja lintas media atau basis disiplin berbeda, dan dikuratori oleh Fransisca Retno.

U T O P I A  D I G I T A L

Apa bedanya generasi sebelum tahun 2000 dengan setelah tahun 2000?
Generasi sebelum tahun 2000 memutar musik menggunakan speaker, dengan cara berpikir bahwa musik diputar untuk didengar bersama. Tetapi generasi setelah 2000, memutar musik dengan headset, dengan cara berpikir bahwa mungkin orang lain punya selera musik yang tidak sama satu sama lain. Jadi, musik adalah sebuah peristiwa kuping personal. Lalu apa yang dilakukan generasi sekarang (atau generasi yang lahir dan sudah berbasis teknologi digital sebagai media maupun alat mereka berekspresi) dalam merekam maupun merespon berbagai peristiwa di sekitarnya, maupun bagaimana gagasan disampaikan? Lihatlah karya-karya mereka, yang nama, media maupun aplikasinya bisa bermacam-macam (self broadcast, vlog atau videoblog, meme, Instagram, Smule, Bigo, “@angalalee87”, “Cerita Lucu Mukidi”, “Duo Harbatah”, dan lain-lain). Bisnis online start-up yang kini sedang jadi isu publik, kian membawa kita ke dunia digital bersama medan utopis yang dibawanya.

Komite Teater, lewat program ini mencoba membuat sebuah hubungan dengan generasi masakini yang memang mulai membuat karya berdasarkan media baru dengan basis digital. Apel dan Pulpen, yang digunakan sebgai judul program ini, juga diambil dari sebuah karya populer di Youtube: PPAP (Pen-Pineapple-Apple-Pen) – PIKOTARO, menghasilkan sekian banyak versi yang dibuat oleh banyak pihak termasuk Polisi Banda Aceh dan Makassar. Atau karya Apichatpong (Thailand): “Fever Room”, dimana aktor utama dalam pertunjukan adalah cahaya dan permainan sekian banyak monitor, media baru yang diperankan untuk meruangkan tubuh penonton.

Komite Teater juga membuka rubrik tersendiri yang berhubungan dengan media baru ini, dan kami namakan sebagai “dimanakemanajakarta” (plesetan dari “Dewan Kesenian Jakarta”). Ini merupakan program Komite Teater untuk siapa pun bisa berkarya atau berekspresi dengan media apa saja yang digunakan netizen: fotografi, video, teks, komik, drawing maupun audio untuk tema di sekitar kota. Banyak hal yang terjadi di kota, yang terlewatkan, atau biasa-biasa saja, tetapi mengandung cara-cara baru untuk kita saling mengerti perubahan yang terjadi di sekitar kita, perbedaan di antara kita, berbagai paradoks, atau cara pandang baru yang tiba-tiba sudah ada di sekitar kita namun abai kita pahami. Sebuah program yang melihat sisi-sisi performatif dari dramaturgi urban yang bekerja di sekitar kita.

Program ini diharapkan menjadi semacam media baru yang dipraktekan dalam teater, diproyeksikan akan menghasilkan sebuah forum maupun media presentasi tersendiri untuk program-program Komite Teater yang akan diproduksi ke depan.

Produksi Program:

  1. Presentasi karya-karya media baru berbasis internet maupun digital. Kemungkinan produksi “teater digital”,
  2. Sharing fenomena karya-karya berbasis media baru.