Diskusi Kineforum Episode 6 / Februari 2008

Produser dan Peranannya Memajukan Industri Film

Anda bersama dalam program kopi sore. Di sesi kali ini, kita kembali menggelar diskusi dengan kineforum Dewan Kesenian Jakarta. Di kesempatan kali ini, kita menggelar satu topik diskusi “Produser dan Peranannya Memajukan Industri Film” dengan dua narasumber, yaitu Slamet Raharjo dan Mira Lesmana.

Apakah pengertian peranan produser hanya sebagai pemberi dana yang kemudian diberikan kepada pekerja film untuk mengerjakan film yang dia inginkan atau lebih luas dari itu?

Slamet: Menurut saya, produser yang dimaksud itu adalah penyAndang dana. Tetapi, produser itu sendiri belum diartikan sebagai seorang pribadi yang memiliki tanggung jawab. Itu pada zaman saya. Mungkin pada zaman Mira sudah tidak sebatas itu lagi.

Apakah Anda sendiri punya prinsip dalam memproduseri sebuah film?

Mira: Saya belajar film secara akademis di mana pada saat itu tidak ada mata kuliah producing tetapi manajemen produksi tetapi saya mengetahui hal ini dengan membaca buku. Setelah saya mempelajari “apa itu produser?,” yang saya bisa lakukan sebagai orang film adalah dengan mencoba mempraktekannya. Jadi, jelas bahwa produser itu harus seorang sineas, dia harus mengerti produksi film itu seperti apa, kaidah-kaidah sinematografi itu seperti apa supaya film itu menjadi utuh. Dialah orang yang kemudian harus bisa membawa gagasan ini ke para investor agar mereka mau menginveskan filmnya.

Sejauh mana penempatan peranan produser itu?

Mira: Batasannya itu macam-macam, maksudnya dalam mempraktekannya itu bisa macam-macam. Bagi saya pribadi, saya harus menghormati bahwa yang namanya film itu bekerja secara kolaboratif. Gagasan itu bisa datang dari mana saja. Tentunya kita tahu bahwa seorang sutradara mempunyai peranan penting. Secara artistik dialah yang lebih bertanggung jawab atas hasil film. Akan tetapi, seorang produserlah yang memastikan bahwa ide artistiknya atau gagasannya itu bisa jadi film dan bisa sampai ke masyarakat. Lalu, bagaimana melihat batasan-batasannya, apakah produser punya kuasa penuh untuk mengomentari “itu tidak bagus dan cari gantinya!” Saya pikir, itu bukan praktek producing yang benar karena produser itu harus ber-partner dengan sutradaranya.

Apakah pemahaman seperti ini sebenarnya sudah dimengerti?

Slamet: Dalam hal ini saya rasa, yang kebetulan juga saya pernah menjadi pimpinan sekolah film dunia dan saya membawahi sebuah kawasan dan itu yang disebut oleh Mira di atas bahwa kita mengajukan mode baru. Dalam hal ini, yang masih kurang adalah dari budget production yang kita sebut publikasi dan hal-hal yang menyangkut masalah marketing dan pemasaran.

Bagaimana dengan standarnya?

Mira: Secara akademis jelas, industri apapun yang kita tekuni jika kita tidak memiliki background, hanya karena punya uang kemudian kita membuat film, itu tidak akan jalan atau mungkin jalannya hanya sesaat. Jadi, untuk menjadi seorang produser film, harus mengerti apa film itu, memahami bagaimana produksi film, apa peran sutradara, apa peran kru-kru yang lain, kemudian memahami betul marketing tentunya. Produser yang baik adalah yang memiliki jalan keluar yang lebih baik.

Slamet: Saya tidak paham dengan pengertian kebebasan itu, bagi seorang intelektual sangat sadar bahwa kebebasan berarti tidak ada kebebasan. Karena intelektual itu sendiri semakin tahu kita, mengapa kita semakin takut. Jadi, sebenarnya film itu adalah ilmu pengetahuan. Film itu tidak bisa, merasa bisa itukan belum tentu bisa. Sehingga dengan demikian, saat itu saya dipertentangkan bahwa bicara tentang profesi, bicara arti sebuah ilmu, mereka menampar balik saya dengan kebebasan-kebebasan. Tidak ada yang melarang orang untuk membuat film, tetapi ketika ada orang yang menghina sinematogrfi itu dengan seenaknya maka siapa lagi yang marah selain kita. Sebelumnya saya juga belum melihat bahwa seorang jurnalis itu tidak bisa menjadi wartawan juga filmmaker.

Apakah kejadian seperti itu sering terjadi?

Slamet: Banyak sekali. Contoh saja, banyak di luar kalian yang tidak percaya dengan infotainment. Karena yang berada di sana entertainer semua dan mereka memberikan info sesuai kode etik.

Apakah saat ini sudah mulai bersifat anarkis?

Mira: Saya pikir mungkin itu kadang-kadang terjadi. Jika kita bicara tentang produser ini, mungkin bisalah kita belah menjadi dua. Ada yang namanya produser pedagang, ada juga produser sineas dan itu masih ada sampai sekarang. Sekarang, bagaimana kita mengimbangi jumlah produser sineas ini agar bisa lebih tinggi dan itu tentunya melalui pendidikan. Kalau sineas, dia memahami apa film itu. Kalau pedagang, yang penting bisa jadi uang.

Kita sudah bahas banyak mengenai apa arti produser dan sejauh mana fungsi produser ketika melakukan sebuah produksi film. Sebenarnya, parameter keberhasilan sebuah produser dilihat dari pemasukan yang luar biasa atau justru karya yang memang mendapat pujian dari berbagai festival atau lain sebagainya?

Slamet: Menurut saya, kedua-duanya saling mendukung. Saya bisa bayangkan, kalau kata teman-teman yang betul-betul membuat film hiburan itu tidak ada, saya khawatir jatah itu diambil oleh sinema asing. Tetapi Andaikata itu tidak ada, harus diganti oleh produser lain. Jadi, dalam masalah itu saya harus melihatnya dari sudut positif saja, jangan terlalu negatif melihat segala sesuatu. Sehingga saya melihat bahwa andaikata tidak ada mereka, kita akan kehilangan semacam lingkungan.

Mira: kalau saya boleh melihat dari sisi negatif. Sebenarnya yang saya maksud dengan produser sineas atau produser yang memahami mediumnya, otomatis yang namanya film kita juga harus memahami yang namanya bisnis. Mungkin dikotomi artistik komersial ini yang harus kita break karena, seperti kata Mas Slamet, “Berbahaya jika semua orang membuat film artistik jika tidak ada yang menonton.” Bagaimana uang akan berputar sementara semuanya komersial, mungkin ada kecenderungan seolah-olah kualitas sisi artistik ditinggalkan. Buat saya, yang paling penting adalah menjadi seorang produser yang membawa iklim yang kondusif ke dalam sebuah produksi. Dia bisa memastikan bahwa filmnya itu bisa ditonton oleh banyak orang sehingga industrinya berjalan dengan baik. Tapi, di saat yang bersamaan tidak menciptakan satu kondisi yang berbahaya untuk industrinya. Contoh, televisi misalnya. Banyak sekali acara televisi yang dipenuhi dengan iklan. Tapi banyak sekali yang melakukan produksi itu dengan tidak kondusif, semua serba cepat, semua harus dilakukan dengan instan. Mungkin sekarang-sekarang kita masih bisa menikmatinya. Kalau menurut saya pribadi, ini bisa membunuh industri itu sendiri nantinya jika dia tidak melihat ke depan dan ini yang berbahaya. Artinya, kalau kita bicara tentang industri, apa industri itu? Menjadi industrialis sejati bukan berarti harus membuat sesuatu sekarang, besok jadi uang. Saya pikir ini yang paling penting.

Berkaitan dengan itu sendiri, apa yang terlintas pertama kali ketika muncul gagasan untuk membuat film; keuntungan atau pesan yang akan disampaikan?

Slamet: Saya lebih suka mengatakan film standar. Film-film Teguh Karya itu secara artistik baik dan secara pasar bagus. Hampir seluruh film Teguh Karya itu memiliki kekuatan. Tidak semua orang sepiawai Teguh Karya. Saya juga punya kelemahan, kadang saya berpikir, “Mengapa saya tidak menjadi meja ekspresi?” Memang secara terus terang, keuntungan tetap saya pikirkan. Tapi, keuntungan yang saya maksud adalah dikenalnya kembali film Indonesia di luar negeri saat itu dengan film awal saya.

Mira: Bisa dibilang, kalau kita membuat sebuah film tidak memikirkan keuntungan lebih baik kita tidak membuat film. Karena menurut saya, walaupun sekarang kita punya uang banyak dan kita putuskan membuat film terserah kita mau seperti apa, kemungkinan misalkan kita bangkrut, selesai kita berkarya kita tidak bisa terus berproduksi. Jadi, kita harus smart, kita harus mengerti seperti apa bisnis film itu. Hanya, yang namanya keuntungan itu tergantung setiap orang melihat keuntungan itu relatif, yang pasti jangan sampai rugi dan kita mengenali betul market kita. Kalau biayanya kecil resikonya juga menjadi kecil. Kita sadar dengan apa yang akan kita buat, siapa penonton kita, lalu kita sesuaikan.

Apakah produser di film ini sama dengan produser album musik dan siapa yang berhak menentukan judul dalam sebuah film?

Mira: Prinsipnya sama persis, dulu produser musik bisa juga menentukan judul lagu, tetapi sekarang tidak lagi demikian dan kita bisa lihat di album-album musik Indonesia. Seberapa peran produser sama juga seperti di film. Kalau dia bisa ber-partner baik dengan pemusiknya dan si pemusiknya juga tahu orang ini mengerti musik, segala masukan yang diberikan pasti dipertimbangkan karena memang masuk akal. Kadang-kadang bahkan bisa lebih bagus masukan dia daripada si pemusik tersebut. Sebenarnya relatif, jika masih bisa didiskusikan dan ternyata dia punya masukan yang bagus mengapa tidak kita coba.

Apakah bisa, produser tanpa eksekutif produser/cukong karena negeri ini tidak seperti negeri Belanda di mana pemerintahnya mendukung para sineas?

Mira: Di producing itu ada beberapa bagian, tapi yang bertanggung jawab terhadap produksi, yaitu produser, co. Produser, dan ass produser biasanya ada untuk membantu beberapa tugas produser, sedangkan eksekutif biasanya bertanggung jawab masalah keuangan. Eksekutif inilah yang memliki dana dan yang punya ide agar film ini bisa jalan atau bisa dibilang juga dia yang mengelola khusus masalah keuangannya, berbicara ke para investor.

Bagaimana pembagian dengan hasil penjualan film, apakah lebih besar produser atau sutradara?

Mira: Ini prinsip internasional, kalau zamannya Mas Slamet dulu ada yang namanya “jual putus”, maksudnya dibiayai saja sudah senang. Tapi kita juga lebih memahami hati tentunya. Sebenarnya ada standar, biasanya perusahaan film dengan investor mencoba membuat skema bisnis dari dana 100%. Skemanya itu sangat mudah biasanya. Kita kembalikan dulu dana itu sampai kembali modal atau BEP lalu profitnya, kemudian displit 50:50 antara pemmilik film dan investor. Jangka waktunya juga ada yang 2 tahun, 5 tahun, bahkan ada yang ingin seumur hidup tetap dibagi. Di mana aktor, sutradara, dan lain sebagainya untuk industri film yang memang masih muda agak sulit sebenarnya untuk kemudian membagi prosentase yang 50% ini secara merata. Biasanya, pemilik film atau pihak perusahaanlah yang akan mengelola dana ini. Tapi untuk produser independen agar bisa mendapatkan investasi karena film ini kebetulan tidak terlalu komersial, beberapa sutradara bisa bekerja sama dengan produser dengan komitmen dapat bagian sekian persen dari profitnya.

Membicarakan keuntungan di Indonesia, apakah saat ini lebih menjanjikan dengan waktu dulu?

Slamet: Kita masih dalam tahap memperjuangkan karena kendalanya semua hitung-hitungannya itu masih belum sepenuhnya sebagai kita yang menentukan. Menurut saya dalam hal ini, kita sangat sadar bahwa biaya-biaya besar yang dikeluarkan produser juga ada komitmen-komitmen tertentu dengan para pendukungnya.

Anda setuju tidak dengan “sinetron” yang saat ini marak ditayangkan di bawah televisi swasta. Sebenarnya sampai titik mana peran produser dalam memajukan sebuah kualitas film itu?

Slamet: Sebenarnya kita banyak komitmen tapi tidak commited. Undang-undang itu sudah dilanggar sama sekali karena dari semua yang kita lihat ditayangan itu juga sudah menyinggung banyak masalah seperti masalah kepercayaan, agama, usia di mana anak-anak muda belum patut melakukan itu. Dalam hal inilah kadang-kadang orang berpikir, ”Apakah mungkin lahir seorang aktor yang baik kalau tidak ada persiapan? Apakah mungkin lahir seorang sutradara yang baik dengan waktu yang sangat terbatas bahwa besok bisa kerja melampaui jam kerja?” Sehingga dengan demikian, dengan satu ilutrasi yang saya ceritakan saja sudah tahulah dapurnya bagaimana dan tujuannya ke sana. Saya tidak suka membicarakan kejelekannya tetapi mereka harus sadar, mereka anggota masyarakat jangan pula memberikan sesuatu yang mencelakakan masyarakat.

Mira: Mungkin yang sudah selama ini Mas Slamet coba perjuangkan dan kemudian saya dan teman-teman dalam masyarakat film Indonesia memperjuangkan sekeras ini adalah mencoba supaya para profesional bisa membuat sebuah asosiasi yang solid yang memiliki kode etik. Kalau jumlah orang yang memiliki kode etik ini atau profesionalisme ini semakn tinggi tentunya akan semakin baik, baik itu di televisi ataupun di layar lebar atau di industri manapun. Mungkin industri musik itu salah satu contoh yang baik sekali asosiasinya benar-benar berjalan, sangat demokratis dan selalu berdialog. Industrinya pun dipegang oleh masyarakat musik.

Untuk kode etik bagi produser di asosiasi yang akan terbentuk ini, apa yang harus ditekankan khususnya untuk kemajuan film dari sisi kualitas?

Mira: Saya pikir pemberdayaan baik itu SDM maupun penonton. Selama ini kita selalu menyalah-nyalahkan penonton padahal tidak ada yang di salahkan. Kalau kita melihat sebenarnya ada ruang untuk penonton ini agar bisa menikmati sesuatu yang lebih dari ini, tentu produksinya harus bertambah baik. Saya yakin bahwa di kemudian hari pemahaman penonton Indonesia tentang film, tentang kualitas, yang akan meningkat dengan adanya ini semua.

Apa yang menjadi kendala film MARSINAH tidak diliris lagi?

Slamet: Saya pernah hampir 4 tahun meyakinkan teman-teman bahwa organisasi itu sangat penting, bahwa alat mencapai tujuan adalah organisasi. Organisasi-organisasi film yang lama itu juga padat, saat kelahirannya merupakan pemberontakan antas atas situasi saat itu. Sehingga dengan demkian, jika memang di dalam hal ini sebagai dinamika dari adanya perubahan masyarakat itu sendiri maka seharusnya updating itu diadakan. Dengan demikian, asosiasi itu akan membulirkan sebuah jawaban. Mengapa mereka di sana maju? Karena mereka percaya pada adanya satu organisasi untuk mencapai tujuan itu. Sehingga Andaikata dalam hal ini, mengapa ada organisasi baru? Karena mereka tidak bisa menjawab. Di dalam hal ini juga jangan lupa waktu kelahiran mereka, mereka juga meninggalkan sebelumnya sehingga dengan demikian inilah dinamika.

Kalau kita lihat, apakah keberhasilan kita ini baru titik awal?

Mira: Kalau saya harus melihatnya dari sisi positif tentunya bahwa layar-layar di bioskop-bioskop kita dipenuhi jjudul-judul film Indonesia dan saya pikir sekarang ini sangat menarik walaupun ada banyak film horor ataupun percintaan, saya pikir justru saat ini kita masih punya keragaman, kita masih punya orang yang terus gigih dengan ide-idenya yag bebeda untuk memastikan bahwa ada tempat atau pilihan untuk penonton-penonton yang mungkin sudah mulai lelah menonton film yang mungkin lebih trendi, kita masih punya Garin Nugroho, Riri Riza, Joko Anwar, Nia Dinata yang terus memberikan kita sesuatu yang lain dan pengimbangan yang baik sekali bersamaan juga tentunya dengan film-film lain yang masih digemari oleh penonton. Kalau seimbang, otomatis akan terjadi keinginan kita menjadi lebih baik.

Bagaimana dengan produser film dan juga perkembangan film nasional?

Slamet: Banyak orang-orang menanyakan kepada saya “mengapa film-film Indonesia sekarang yang sudah menghiasi reklame-reklame tetapi masih menggunakan bahasa asingnya?” itu yang selalu ditanyakan kepada saya. Bagi saya untuk menjadi dan mengerti masalah yang tidak hanya disekitar Indonesia saja mungkin melalui bahasa asing kita bisa belajar sesuatu. Untuk itulah yang bisa memberikan pelurusan adalah organisasi itu tadi. Jadi saya sangat berterima kasih sekali bahwa produser saya artikan sebagai sesuatu yang sadar betapa pentingnya aturan permainan, aturan permainan adalah organisasi.

Bagaimana peran sebuah festival dalam sebuah industri, apakah dia bisa menjadi parameter bagi produser untuk menetapkan standar sebuah film?

Mira: sebenarnya festival itu kadang-kadang punya konotasi yang negatif juga untuk industri. Tetapi kalau menurut saya harus dilihat dari konteks yang berbeda. Menurut saya keberadaan festival itu sangat penting karena ukurannya adalah kualitas. Sebenarnya ini bagus untuk dijadikan barometer, parameter agar kita bisa melihat kualitas itu ada di mana? Tetapi kalau saya pribadi, jangan sampai kita membuat film hanya untuk kebutuhan “menang” dalam sebuah festival karena bagi saya yang lebih penting dari festival adalah memperkenalkan Indonesia ke luar.

Slamet: Yang diperlukan di festival sebetulnya adalah memperkenalkan juga selain the best juga the most popular, itu yang menurut saya saling mengisi. Semakin banyak festival semakin beragam sehngga dengan demikian “bhinneka tunggal ika” bisa dijawab juga di situ.