Cukup sudah, Tuhan

Ambil nyawaku

Diriku tak lebih baik….

Aria Es ist Genug (It is Enough) itu dinyanyikan begitu khidmat oleh suara bas F.X. Budi Prakoso. Aria merupakan bagian dari oratorio Elijah, yang diciptakan Felix Mendelssohn pada 1829. Mendelssohn melakukan tafsir atas perjalanan Nabi Elijah dalam Perjanjian Lama. Es ist Genug adalah komposisi Mendelssohn untuk menggambarkan detik-detik saat Elijah meminta Tuhan menyambut kematiannya. Cara Budi membawakannya mampu menerbangkan kita ke suasana kudus itu. Layar yang menampilkan terjemahan bahasa Inggris dari Aria berbahasa Jerman sangat membantu penonton.

Inilah sebuah pertunjukan bermutu mengenang 200 tahun komposer besar Felix Mendelssohn pada Sabtu pekan lalu di Goethe. Program tersebut menampilkan 30 repertoar karya komponis Jerman yang mati pada umur 38 tahun itu. Sengaja yang dipilih adalah beberapa petilan oratorio dan lagu pendek untuk musik-musik kamar. Es ist Genug seperti menampilkan sisi religiositas Mendelssohn.

Mendelssohn lahir pada 1809 di Hamburg, Jerman. Karya-karyanya dikenal sebagai pembaharu Bach maupun Schubert. Ia hidup pada era romantik dan mulai menyusun komposisi musik kamar sejak umur 10 tahun. Mendelssohn adalah seorang pianis sekaligus violis. Ia menulis banyak lagu vokal untuk solo maupun duet, terutama lagu-lagu gereja, baik Protestan maupun Katolik, hingga Robert Schumann menjuluki Mendelssohn sebagai Mozart abad ke-19, “Musisi yang mengagumkan.”

Penampilan dibuka dengan solo piano Priska Budihardjo. Ia memainkan Songs without Words opus 30 no. 1, salah satu karya Mendelssohn yang terkenal. Karya ini ditulis pada 1833-1834, yang terdiri atas enam bagian. Namun, malam itu hanya bagian pertama yang ditampilkan.

Penonton terpesona saat formasi trio Budi Utomo (pianis), Yasmina Zulkarnain (biola), dan Leonard van Hien (cello) memainkan piano trio no. 1 in D minor Opus 49. Formasi trio malam itu mengentak. Irama menjadi sangat cepat dan seolah meluap-luap pada bagian pertama, Allegro. Sang pianis, Budi Utomo Prabowo, sampai harus melepas jas hitamnya karena peluh sudah membasahi badan. Piano mendominasi empat bagian lagu tanpa terputus. Menjadi instrumen pengiring sekaligus leader pengantar tema untuk dua instrumen yang lainnya: biola dan cello.

Biola yang digesek Yasmina bertaut dengan cello yang dimainkan oleh Leonard van Hien. Interaksi itu mewujud dialog antar-string instrumen. Perpaduan teknik petik dan gesek dalam beberapa kalimat seolah memberi kesan hidup dan komunikatif.

Komposisi vokal malam itu paling banyak disuguhkan. Jakarta Art Council sangat mengesankan. Personel paduan suaranya terlihat sangat terlatih membaca dan memadukan warna suara. Repertoar pendek, seperti Wie Kann ich fruh und lustig sein, dibawakan duet oleh Lauw Kim Fong (sopran) dan Joyce Sopacua (alto) dengan sangat manis.

Akan halnya solis Yosephine Emilia, dia terlihat sangat ekspresif. Dengan ambitus suara mezosoprannya, ia tidak kaku berdiri tegak saja seperti solis lain. Perempuan bergaun ungu ini bernyanyi seolah berbincang dengan penonton yang sedang melihat opera. Lirik lagu diekspresikan meluap-luap. Emilia membawakan Opus 8 no. 8 Hexenlied atau Witches Song. Tepukan penonton bergemuruh saat Emilia menyelesaikan lagu pendek itu. Lebih ramai dibandingkan dengan solis lain.

Auf Flugeln des Gesanges (On Wings of Song) merupakan salah satu lagu populer Mendelssohn. Malam itu karya ini dimainkan oleh Fika Jaya (sopran), yang sedang mengalami radang tenggorokan. Meskipun demikian, produksi suaranya tetap terjaga. Hanya sedikit kurang tenaga pada pencapaian nada-nada tinggi.

Panggung malam itu tidak hanya satu arah. Ensemble vocal pada lagu Wer bis an das Ende beharrt memposisikan personal choir-nya tidak hanya di panggung. Tapi beberapa juga bersiap di antara penonton. Suara memenuhi seluruh ruangan akustik itu. Datang dari berbagai arah, sumber suara menjadi rata.

Beberapa nomor lagu pendek dinyanyikan oleh paduan suara tanpa iringan piano sebagai penutup pertunjukan, seperti Tage der Wonne, Die Baume grunen ubersll, O Wald du kuhlender Bronnen, yang masing-masing dipimpin oleh konduktor Michael B. Mulyadi, Maria Corebima, dan Rosa Aliandoe.

Sebagai sebuah pertunjukan musik kamar, karya-karya Mendelssohn malam itu dilantunkan oleh anggota paduan suara Art Council secara cukup prima. Ada sembilan lagu yang ditampilkan choir tanpa iringan. Latihan yang panjang dan disiplin terbukti membentuk karakter suara mereka. ISMI WAHID (Koran Tempo, 1 November 2009 / Foto : Eva Tobing – DKJ)