Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta mengucapkan terima kasih kepada saudara-saudara penulis yang telah mengikutkan naskahnya untuk “Rawayan Award”. Rawayan Award telah ditutup 31 Mei 2017. Kurator yang terdiri: Asia Ramli Prapanca (Makassar) Autar Abdillah (Surabaya) Cecil Mariani (Jakarta) Ugoran Prasad (Yogyakarta) Yusril Kathil (Padangpanjang) akan memilih 3 naskah utama dan 7 naskah pilihan untuk buku kumpulan naskah Rawayan Award Temu Teater 2017-2018. Redaksi menerima sebanyak 203 naskah teater dari 147 penulis berasal dari berbagai kota. Satu naskah menggunakan media audio visual. Rawayan Award akan diumumkan pada bulan Agustus sebagai bagian dari Temu Teater 2017-2018. Kerja sama antara Dewan Kesenian Jakarta dan Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan R.I

Rawayan Award Forum Naskah Teater Indonesia Lakon Raden Beij Soerio Retno karya F. Wiggers dan dipentaskan di Gedung Kesenian, 1901, sampai kini tercatat sebagai mengisi masa awal penulisan naskah pada era Hindia Belanda. Naskah drama lebih banyak digunakan sebagai ciri utama untuk pengacuan terhadap apa yang disebut “teater modern”. Variabel ini sungguh celaka, karena kelompok-kelompok teater yang tumbuh di era awal Abad 20-30-an, yang tidak menggunakan naskah alih-alih sering disebut “teater tradisi” seperti Kondobuleng di Makassar, Makyong di Riau, Lenong di Betawi, Ubrug di Banten, Ludruk maupun Ketoprak di Jawa Tengah dan Jawa Timur, atau Miss Tjitjih dan lain-lain. Penerjemahan naskah-naskah Barat, Timur Tengah maupun Cina banyak mengisi era masuknya naskah dalam seni pertunjukan, di samping penyaduran. Naskah bisa ditulis tanpa harus membayangkan siapa kelompok teater yang akan Teater ini di antaranya dilakukan untuk membuat jembatan antara praktek menulis dan praktek membaca dengan menghadirkan Jean Couteau yang akan melakukan perbandingan mitos Watugunung & Oedipus. Pembacaan masa kini terhadap beberapa naskah di antaranya naskah Nano N. Riantiarno oleh Arthur S. Nalan, naskah Saini KM oleh Hilmar Farid, naskah Heru Kusawa oleh Gunawan Maryanto. Forum ini merupakan bagian dari peristiwa Rawayan Award (sebuah tradisi panjang Dewan Kesenian Jakarta dalam lomba penulisan naskah drama, dan diberi nama baru “Rawayan Award: Apakah aksara bisa dipentaskan? Naskah teater untuk generasi masakini berhadapan langsung dengan aplikasi bahasa digital maupun teknologi media. Ini memiliki kemungkinan efek balik dalam melihat teater sebagai media pertunjukan (biasanya kita sebut sebagai “alih wahana”). Rawayan Award (Forum Naskah Teater Indonesia) merupakan forum penghargaan terhadap naskah teater mementaskannya. Dan naskah lebih abadi dibandingkan dengan pertunjukan. Hampir tidak pernah terjadi, sebuah kelompok teater mementaskan ulang pertunjukan dari kelompok teater lain (kecuali pernah dilakukan Teater Sae terhadap pertunjukan Umang-Umang Teater Kecil di akhir 1980 atau awal 1990). Di era Orde Baru mulai umum seorang sutradara menulis naskah sendiri untuk kelompok teaternya, seperti dilakukan Rendra (Bengkel Teater Rendra), Arifin C. Noer (Teater Kecil), Putu Wijaya (Teater Mandiri), Bambang Kentut (Teater Gapit) maupun Nano Riantiarno (Teater Koma). Praktek yang membuat memudarnya hubungan teater dengan sastrawan, karena sebelumnya naskah teater banyak ditulis para sastrawan dalam arti dominasi sastrawan dalam penulisan naskah teater. Praktek penulisan naskah kini tidak lagi melulu dilihat sebagai praktek yang terpisah di luar proses pembentukan proyek pertunjukan yang dilakukan kelompok teater. Naskah tidak lagi semata dilihat sebagai “praktek penulisan”, tetapi juga sebagai “praktek pembacaan”.

Forum Naskah melalui proses kuratorial. Rawayan berarti jembatan dalam bahasa Sunda (naskah sebagai jembatan antara pertunjukan dan penonton). Program ini tidak hanya mengkurasi naskah yang dikirim peserta, tetapi juga mengkurasi teks yang sudah ada (naskah teater bisa datang dari bentuk tidak terduga). Forum ini dirancang untuk membuka medan penulisan naskah teater yang beragam. Mendokumentasi dan memproduksi naskah teater yang telah dikurasi sebagai buku dan produksi pertunjukan. Hampir setiap tahun, beberapa kota menyelenggarakan lomba penulisan naskah. Salah satu di antara yang memiliki visi berbeda, Indonesia Dramatic Reading Festival (IDRF, Yogyakarta). Ini bisa disebut sebuah platform yang membuat alur dari naskah ke aplikasinya dalam bentuk dramatic reading. Sebuah cara untuk menghidupkan kembali genre di mana sastra dan teater masih bertemu. IDRF juga melakukan penawaran lain, undangan “menulis ulang naskah yang telah ditulis penulis lain” sebagai semacam praktek media-dalam-media.