Latar Belakang
Perkembangan sastra Indonesia tahun-tahun belakangan ini menunjukkan gejala yang sehat. Maraknya perhelatan sastra yang bertaraf internasional, ramainya diskusi sastra di berbagai daerah, serta tumbuhnya ruang-ruang literasi publik dapat dibaca sebagai petunjuk penguatan sastra Indonesia. Semua gelagat baik ini diperkuat dengan tingginya produksi sastra Indonesia dan munculnya kesadaran untuk bertindak aktif membawa karya sastra Indonesia ke khalayak pembaca di luar negeri.

Dalam situasi seperti ini, sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta hadir dengan fungsi tradisionalnya: ia memberikan peluang bagi bakat-bakat muda kesastraan untuk berkompetisi dan dinilai secara adil, tanpa prasangka tentang pusat-daerah, tanpa bias nama besar, dan tanpa kekhawatiran akan jaringan perkoncoan. Semua naskah dinilai tanpa nama penulis.

Ia ingin menemukan bakat-bakat cemerlang kesastraan—satu hal yang dipertahankan sejak penyelenggaraan pertama hingga sekarang. Itu sebabnya sayembara ini kerap berperan sebagai gerbang bagi sastrawan pemula untuk memasuki baik industri penerbitan maupun gelanggang kesastraan sebagai penulis yang layak mendapatkan perhatian publik. Fungsi benchmarking inilah yang membuat sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta memainkan peranan strategis dalam pengembangan sastra Indonesia.

Kriteria Penjurian
Penjurian naskah sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2018 berpedoman pada empat kriteria pokok yang kait-mengait:

1. Kecakapan berbahasa Indonesia
Novel Indonesia bernafas dalam bahasa Indonesia. Maka itu, sudah sepatutnya pula mutu novel Indonesia diukur dari kecakapan dan kefasihan berbahasa Indonesia yang tercermin dalam karya. Sejauh mana pengarang dalam menyusun kalimat secara tepat dan efektif serta memberdayakan kekayaan kosakata Bahasa Indonesia merupakan ukuran yang penting dan mendasar dalam menentukan karya yang unggul.

2. Kepengrajinan sastrawi
Mutu novel Indonesia juga diukur dari kepiawaian pengarangnya dalam menyampaikan kisah dengan memanfaatkan segenap teknik sastra yang diperlukan. Teknik merajut alur, menyusun penokohan, membangun dialog serta mencipta kontras dan irama merupakan unsur-unsur terpenting kepengrajinan. Kepengrajinan juga dapat diukur sejak dari gagasan dan premis cerita, eksekusinya dalam menciptakan dunia yang dapat dipercaya dan meyakinkan, hingga kemampuan berajin-rajin selama proses menulis hingga menghasilkan naskah yang bersih.

3. Kebaruan
Novel Indonesia bisa berkembang karena adanya usaha pembaruan dan keberanian untuk menjalankan uji-coba yang penuh risiko. Maka itu, sudah selayaknya mutu novel Indonesia diukur dari kemampuannya menghadirkan kebaruan baik dalam isi kisah maupun teknik dan stilistika pengisahan. Novel yang memiliki kualitas ‘novelistik’ –dalam arti sejatinya– niscaya membawa kesegaran, serta kekhasan yang selalu dapat terbedakan dari banyak novel lain.

4. Keselarasan bentuk dan isi
Novel yang baik tentunya mencerminkan perhatian pada tantangan untuk membangun keselarasan antara bentuk dan isi. Pemilihan bentuk pengungkapan mesti disesuaikan dengan isi yang mau disampaikan sebab, bagaimanapun, bentuk merupakan konsekuensi artistik dari isi.

Tinjauan Umum Naskah
Sayembara novel Dewan Kesenian Jakarta 2018 diminati oleh banyak pengarang. Ada 828 pendaftar yang mengisi formulir laman daring sejak 22 Maret 2018 hingga 31 Juli 2018, tetapi sampai batas akhir hanya 271 naskah yang diterima oleh panitia. Dari naskah-naskah tersebut, 26 di antaranya tidak lolos seleksi administrasi dan dewan juri hanya menilai 245 naskah.

Naskah datang dari berbagai provinsi di Indonesia, yaitu DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Timur, Banten, Jawa Tengah, Kalimantan Selatan, Aceh, Sumatera Barat, D.I Yogyakarta, Sumatera Utara, NTB, Kep. Riau, Jambi, Maluku Utara, Bengkulu, Sulawesi Selatan, Bali, Palembang, Riau, Lampung, Kalimantan Selatan dan NTT. Hal ini memperlihatkan betapa luasnya geografi sastra Indonesia.

Dari 245 yang lolos seleksi administrasi, sebagian besar naskah ditulis oleh mereka yang ingin menulis novel tetapi dengan kecakapan menulis seadanya. Jikapun ada percobaan yang mereka lakukan, baik dalam bentuk maupun upaya-upaya artistik lainnya, kita bisa menyebutnya sebagai percobaan dengan kepengrajinan yang kurang memadai. Tampaknya mereka perlu menyadari satu hal: Tanpa kepengrajinan, tidak mungkin ada pencapaian artistik.

Di bawah ini adalah catatan lebih rinci tentang sejumlah gejala menarik yang menjadi pengamatan dewan juri, khususnya dari segi keragaman genre dan kualitas sastrawi:

  1. Keragaman genre: fiksi ilmiah dan fantasi, fiksi sejarah, fiksi religius, juga fiksi ‘hikmah’, memoar dan otobiografi, fiksi etnografis berbagai suku di nusantara, novel gagasan, dan lain-lain.
  2. Ramainya genre fiksi ilmiah dan fantasi yang ditulis dengan semangat fan-fiction. Misalnya, naskah dengan imajinasi dan bangun-dunia seorang pembaca Tolkien, atau penonton film-film fiksi-ilmiah distopia Hollywood—yang tentu dengan cepat menjadi garing ketika dibumikan dalam realitas Indonesia. Ciri fiksi-penggemar yang bukan dari khazanah negeri sendiri ini tak hanya kebule-bulean dengan tempat atau karakter barat, tetapi juga fantasi ala anime Jepang, atau fiksi melodramatik yang sepenuhnya berjiwa drama Korea. Naskah fan-fic ala Korea ini tentu beririsan dengan genre sastra pop.
  3. Genre sastra pop yang banyak ditemui umumnya berurusan dengan perkara asmara. Kebanyakan ditulis dengan sensibilitas muda-mudi ‘kekinian’: kalimat-kalimat dengan rasa bahasa Inggris, sarat antusiasme orang yang tengah dimabuk asmara, dan harapan bahwa cinta meluruskan alur cerita. Dalam genre ini bermunculan juga fiksi ‘hikmah’: cerita ultradidaktis dengan gelora menasihati atau menggurui, berisi renungan remaja atau manusia yang merasa telah menemukan ‘kebenaran’ dan arti kehidupan, lalu ingin mendesakkan kebijaksanaan dan kebenaran versinya kepada pembaca. Jumlahnya cukup banyak, termasuk yang ditulis sebagai memoar atau otobiografi perihal hidup si penulis yang sesungguhnya tidak luar biasa, dan biasanya disampaikan dalam bahasa semenjana atau serampangan.
  4. Berlawanan dengan naskah dari khazanah luar negeri, kita bisa bergembira oleh hidupnya genre sastra yang mengolah khazanah negeri sendiri. Ada segelintir yang digarap cukup baik dengan aspek etnografis yang menarik dan narasi yang asyik, namun lebih banyak yang kedaerah-daerahan: ditulis seakan tanpa upaya stilistika, realisme yang datar saja, dan dipenuhi catatan kaki yang memerikan arti istilah-istilah lokal yang bertebaran di setiap paragraf.
  5. Masih bersinggungan dengan penggunaan bahasa, di luar genre sastra etnografis, ada segelintir naskah yang mencolok dalam penggunaan kosakata—mencolok mata pembaca dalam arti harfiah. Naskah semacam ini malah terjerembab oleh luberan kata-kata eksotis yang bergenit-genit dengan tesaurus dan terlalu diumbar. Dalam satu halaman saja, kita menemui belasan bahkan puluhan kata yang mencolok-colok mata: kata-kata arkaik, ragam bahasa melayu dan daerah lain, atau kata-kata serapan yang ganjil dari bahasa Inggris yang di-Indonesiakan secara sembrono dan sesukanya.
  6. Di antara kesemenjanaan bernarasi, kesembronoan berbahasa, dan hasrat menulis untuk sekadar bercerita, sejumlah naskah menunjukkan gagasan dan premis cerita yang segar dan novelistik, dalam arti mereka menggarap tema atau perspektif yang jarang didapat dalam sastra Indonesia. Ada dua-tiga novel gagasan. Sayangnya, penggarapan mereka kedodoran karena tidak didukung oleh kemampuan teknis dan kepengrajinan yang cukup. Bangun-dunia fiksional kerap tidak meyakinkan, terlalu dibuat-buat, atau tidak logis bahkan dalam konstruksi cerita itu sendiri. Masalah ini juga kerap ditemui dalam naskah genre fiksi ilmiah.
  7. Secara umum, di dalam naskah-naskah tanpa kepengrajinan—yang jumlahnya sangat banyak—kita menjumpai hal-hal berikut: alur yang terlalu mudah ditebak, penokohan yang terkesan monofonik dan generik, novel-yang-ingin-polifonik tetapi sama sekali tidak, atau deksripsi yang tampak seperti reportase koran atau pengumuman di kantor kelurahan.
  8. Rata-rata tidak mampu menuliskan dialog yang menarik atau tidak memahami dialog dalam fiksi. Dialog dengan mudah tergelincir menjadi penyampaian petuah atau sekadar transkrip percakapan sehari-hari.
  9. Masalah umum lainnya adalah amat banyak naskah yang menunjukkan sikap ‘anti-kepengrajinan’ pada para penulisnya. Contoh paling sederhana ialah banyaknya naskah yang tidak disunting: entah karena terburu-buru, malas memeriksa kembali, atau entah apa. Selain itu, penyusunan kalimat dengan gramatika yang kendor atau rumpang, penggunaan kata-kata secara asal-asalan (bahkan tidak merasa perlu untuk sekadar mengecek makna dalam kamus, ejaan kata, dsb). Jangankan berajin-rajin dengan kalimat dan kata, sikap anti-kepengrajinan yang tidak kepingin dan malas memeriksa lagi—baik keberesan seluruh naskah atau makna kamus satu kata—menyiratkan kemalasan penulis untuk berpikir kritis, mempertanyakan kembali atau meragukan setiap konstruksi yang dibuatnya sendiri, dan lebih berbahagia dengan yang serba-instan.
  10. Sejumlah naskah novel polifonik memiliki masalah mendasar yang sama: polifonik tapi nyatanya monofonik. Masalah ini melanda tak hanya pada naskah yang belum terbit, namun dalam sejumlah karya novel polifonik Indonesia yang ada. Dalam sejumlah naskah, karakter-karakter utama yang semestinya majemuk, tereduksi menjadi semata corong-corong dari suara tunggal penulis. Tanpa pembedaan apapun dalam kekhasan individual pada narasi masing-masing karakter: pembedaan pandangan dunia, perspektif dan bias, struktur naratif, hingga cara berbahasa.

Lima Karya Layak Terbit
Sekalipun tidak menang dalam sayembara, kelima karya berikut ini oleh dewan juri dinyatakan sebagai karya layak terbit, tentu saja dengan sejumlah perbaikan.

Naskah nomor 83: “Pemetik Bintang”
Premis cerita naskah ini adalah kecemasan akan mediokritas, selain sejumlah tema anak muda lain. Naskah ditulis dengan lancar dan membetahkan, deskripsi yang memikat dan komentar-komentar yang jenaka. Ada upaya penjelajahan bentuk sepanjang narasi yang cukup baik. Akan tetapi, dengan karakter yang pintar-pintar semua, dialog kerap terjatuh menjadi seri monolog dan terasa menggurui. Selain itu, kadang terasa seperti novel populer Barat pada umumnya (imajinasinya, rasa bahasa, rujukan-rujukan kultural, hingga aspirasi hidup salah satu tokoh yang sangat berkiblat ke Barat). Naskah ini ditulis oleh Venerdi Handoyo.

Naskah nomor 214: “Tiga dalam Kayu”
Naskah ini ditulis dengan kecenderungan untuk berpuisi, dengan struktur pengisahan yang cukup baru. Yang menarik, bagian awal adalah semacam variasi dari tema karya-karya sastra dunia yang dipindahkan ke latar lokal, dengan motif narasi feminis sebagai sisi sejarah ‘yang terlewati’. Narasi rata-rata berjalan lancar, tapi sering terganggu oleh kecenderungan pamer intertekstualitas dan sejumlah kalimat-kalimat kaku lantaran gramatika bahasa Inggris. Suasana futuristik-distopia dalam bangun-dunia fiksionalnya cenderung sureal, tapi penggambarannya terlampau kabur dan di beberapa tempat agak tidak masuk akal. Naskah ini ditulis oleh Ziggy Zezsyazeoviennazabrizkie.

Naskah nomor 218: “Nyi Manganti”
Naskah ini ditopang oleh riset yang mendalam dan berhasil mengolah khazanah manuskrip Sunda kuno untuk membangun kisah fiksi yang padu. Kalimat-kalimatnya beres. Dengan rentang latar waktu ratusan tahun, naskah ini berhasil menggambarkan perubahan zaman dengan menempatkan Cilalis sebagai alegori dari Indonesia. Sayangnya agak terlalu cepat di bagian akhir dan kurang memadai dalam elaborasi setiap tokoh kuncinya. Naskah ini ditulis oleh Dadan Sutisna.

Naskah nomor 233: “Babad Kopi Parahyangan”
Naskah ini sangat tampak berasal dari riset yang mendalam, bukan hanya soal sejarah kolonialisme, tetapi juga studi etnografis dan sejarah teknologi di masyarakat pedesaan tatar Pasundan abad ke-19. Riset serius ini tampak dalam naskah yang relatif bersih dari anakronisme—silap yang kerap dilakukan naskah lain dalam genre sejenis. Sayangnya, agak susah keluar dari bayang-bayang Arus Balik dan Max Havelaar. Yang juga lumayan mengusik: setelah narasi yang sebelumnya begitu mendetail dan sabar, menjelang bagian akhir penyelesaiannya tampak tergesa dan berhenti tiba-tiba begitu saja. Naskah ini ditulis oleh Evi Sri Rezeki.

Naskah nomor 241: “Teror Kain Kusut”
Naskah ini ditulis dengan gaya berkisah yang sangat mengalir, dengan peralihan dari narasi ke dialog yang sangat natural, enak dibaca. Sayangnya agak terlalu pendek, banyak motif belum dielaborasi, dan temanya terlalu generik: kehidupan mahasiswa, cinta segitiga, frustrasi muda-mudi. Masalahnya sama dengan naskah sejenis: dimaksudkan sebagai naskah novel polifonik, tetapi monofonik. Naskah ini ditulis oleh Irman Hidayat.

Tiga Pemenang
Demikianlah maka kita sampai pada naskah-naskah pemenang Sayembara Novel Dewan Kesenian Jakarta 2018. Ada tiga pemenang tahun ini. Ketiganya relatif lebih baik dalam empat kriteria penjurian dan memperlihatkan keunggulan di antara ratusan naskah lain. Kita mulai dari yang paling bontot:

• Juara ketiga, naskah nomor 105 berjudul: Balada Supri
Naskah ini ditulis dengan jenaka dan mengisahkan jatuh-bangunnya sebuah keluarga empat generasi dalam gaya realisme magis. Melalui lintas generasi kita dibawa pada gambar lebih besar berbagai peristiwa yang pernah terjadi di Indonesia, menyeret para tokoh ke dalam pusaran dan dampaknya pada kehidupan anak-cucu generasi selanjutnya. Metafora-metaforanya menggelitik, dengan dialog yang cair dan alami. Tokoh-tokohnya tidak terjebak ke dalam stereotipe atau karikatur, memaparkan dengan jelas pergulatan batin dan adaptasi mereka di tengah berbagai perubahan. Kelemahan utama naskah ini terletak pada kecenderungannya untuk menjadi sebuah versi lain lagi dari One Hundred Years of Solitude. Naskah ini ditulis oleh Mochamad Nasrullah.

• Juara kedua, naskah nomor 164 berjudul: Anak Gembala yang Tertidur Panjang di Akhir Zaman
Naskah bercerita tentang tokoh-tokoh dari kaum minoritas: seorang waria, pemeluk Ahmadiyah dan seterusnya. Dituturkan dengan gaya berkisah yang rileks dan menyenangkan, dengan jelajah bentuk narasi realis dan alegoris yang bersisi-sisian. Ia cukup berhasil sebagai upaya menuju novel polifonik. Hal paling mengganggu dalam novel ini adalah penokohannya cenderung hitam putih, suatu gangguan yang membawa risiko tergelincir ke arah melodrama. Selain itu, ia tiba-tiba kehilangan penuturan yang cemerlang ketika bersinggungan dengan tema agama. Seakan ada beban representatif untuk dapat menggambarkan secara objektif tentang realitas dan suara kaum marjinal, dalam rangka tidak melanggengkan stereotipe, prasangka, atau stigma yang ada di masyarakat. Naskah ini ditulis oleh Ahmad Mustafa.

• Juara pertama, naskah nomor 256 berjudul: Orang-Orang Oetimu
Berkisah tentang Suku Jawan di Nusa Tenggara Timur, naskah ini memiliki perbendaharaan kata yang kaya, diperkaya oleh khazanah bahasa Tetun, serta didasari dari penggalian khazanah tradisi Timor Leste dan cerita rakyat serta sejarah lokal NTT. Pembaca diajak menelusuri latar belakang tiap tokohnya yang sebetulnya merupakan elaborasi dari adegan pada bab pertama sebelum akhirnya novel ditutup dengan kembali ke adegan tersebut. Penokohan digarap dengan matang, riwayat hidup tiap tokoh dibeberkan secara memadai dan melebar menyentuh berbagai peristiwa sejarah di Indonesia yang menimpa mereka, berikut efeknya pada kehidupan para tokoh—baik secara individual maupun komunal. Selera humornya baik, cenderung subtil, kritik sosial disampaikan secara natural sebagai bagian dari kebutuhan pengisahan. Penulisnya mampu menggambarkan budaya, suasana kehidupan, karakter orang timur dengan sangat kental dan akurat: sebuah contoh fiksi etnografis yang digarap dengan baik. Naskah ini ditulis oleh Felix K. Nesi.

Demikianlah keputusan kami selaku dewan juri sayembara novel DKJ 2014.

Jakarta, 4 Desember 2018

Dewan Juri:
A.S. Laksana
Nukila Amal
Martin Suryajaya