Orasi Budaya:

Marco Kusumawijaya

(Ketua Dewan Kesenian Jakarta & Dewan Penasehat Galeri Publik, IGJ)

Tempat:

Galeri Publik, Institute for Global Justice

Jl. Diponegoro 9, Menteng, Jakarta Pusat

Waktu: Jumat, 11 Juli 2008

Jadwal Kegiatan:

13:00-13:30 Pembukaan: “Pentas Gambang Kromong”

13:30-13:45 Sambutan

13:45-14:00 Pemutaran Film: “Jakarta Tempoe Doeloe”

14:00-16:00 Orasi Budaya

16:00-17:00 Tanya Jawab

Undangan:

Gubernur DKI Jakarta

Tokoh Masyarakat Jakarta

LSM

Masyarakat Luas

Media Massa

Hidangan:

Soto Betawi

Di era percepatan globalisasi saat ini, gelombang pasang urbanisasi terjadi diberbagai penjuru planet, tidak terkecuali Indonesia dan kota Jakarta sebagai puncaknya. Hal ini dikarenakan perputaran uang rupiah, yang lebih dari 60%, berada di kota ini. Hal ini diikuti pula dengan pembangunan industri massive di kota-kota satelit Jakarta seperti Pusat Industri JABABEKA, East Jakarta Industrial Park, Kawasan Industri Pulo Gadung, serta kawasan industri Tangerang. Keadaan ini seolah menjadi sihir bagi para pencari kerja dari berbagai daerah di Indonesia untuk berduyun-duyun datang mengadu nasib.

Kota dengan kepadatan penduduk diatas 15.000 orang/km² ini menghadapi berbagai problem. Petaka banjir semakin tak terbendung dan mencapai puncaknya pada tahun 2007: banjir menggenangi 70% daratan Jakarta (sumber: Intisari, Juni 2008) dan mengganggu aktivitas ekonomi politik (sumber: http://goosei.info).

Kemacetan merajalela di setiap ruas jalan bisa jadi dikarenakan oleh perencanaan amburadul transportasi. Ditambah lagi dengan pertumbuhan ruas jalan (maksimal 1% per tahun) yang tak seimbang dengan pembiakan jumlah kendaraan (9,8% per tahun) (sumber: Intisari, Juni 2008).

Belum lagi program TransJakarta, yang ternyata tidak termasuk perencanaan kota sehingga meski kian bermanfaat namun juga melahirkan kemacetan di ruas-ruas jalan tertentu. Kemacetan tidak hanya menghambat roda ekonomi namun juga pemborosan energi 5,7 triliun rupiah (sumber: Tempo Interaktif, Rabu, 22 Maret 2006).

Krisis air bersih berupa pencemaran air tanah: 55% dikarenakan limbah domestik dari septic tank. Pengelolaan amburadul tentang sampah, perumahan dan polusi udara, telah menempatkan Jakarta di urutan ke tiga kota berpolusi udara terburuk setelah Meksiko, dan Bangkok (sumber: Bank Dunia). Keadaan ini menjadikan Jakarta pantas disebut ibukota masalah nasional. (sumber: Redaksi Inovasi Online)

Di sisi lain, Jakarta memiliki beberapa potensi yang dapat dimaksimalkan untuk kemajuan kota ini sendiri maupun negara Indonesia secara keseluruhan. Dilihat dari posisi geografis, berada pada pesisir pantai laut Jawa yang dilindungi oleh tebaran kepulauan Seribu sehingga dapat menjadi bandar perdagangan dunia yang aman sekaligus pemenuhan kebutuhan pangan hasil laut. Benteng sebelah selatan berupa pegunungan Salak-Halimun yang memasok sayur mayur dan air bersih dari masa ke masa. Secara historis Jakarta telah teruji menjadi bandar perdagangan dan pusat politik baik di jaman penjajahan Hindia Belanda hingga masa Kemerdekaan.

Pertanyaan-pertanyaan yang harus dijawab adalah: “bagaimana mengelola Jakarta dengan baik?”, “haruskah Jakarta tetap menjadi ibukota negara sekaligus pusat perdagangan nasional dan pusat industri?”, “perlu tidak memindahkan ibukota ke tempat lain?”.

Informasi:

M Ridwan 08568408720

Widi Astuti 081317484013