Oleh: Robertus Rony Setiawan

Jumat siang, 14 November lalu, bertempat di Ruang Rupa Gallery, saya dan para peserta lokakarya penulisan kritik seni rupa dan kurator muda lainnya mendapat uraian dari tiga seniman muda. Mereka ialah Ika Vantiani, Mahardika Yudha dan Muhammad Reza Mustar.

Ika Vantiani adalah seniman yang membuat kolase dari kumpulan barang bekas, antara lain berupa sampah kain dan kertas. Hanya bermodalkan ketrampilan dan peralatan seperti gunting dan lem, Ika telah menghasilkan ratusan karya kolase. Ia pun memasarkannya menjadi merchandise melalui toko online yang ditujukan bagi peminat karya miliknya. Ika menguraikan bahwa ia pernah berpameran di Pensylvania, Amerika Serikat, dan menarik minat banyak pengrajin di sana.

Selain sebagai seniman, Ika yang bekerja di bagian komunikasi lembaga Koalisi Seni Indonesia ini membagi pengalamannya dalam mengerjakan kurasi karya seniman lain. Ia menuturkan bahwa kegiatan selaku seniman berbeda dengan kurator. Ia mengaku, kerja kuratorial memiliki tantangan tersendiri terutama dalam membangun ide kurasi. “Bagaimana mempertemukan antara keinginanku sebagai kurator dan keinginan seniman, itulah tantangannya,” kata Ika.

Seniman video Mahardika Yudha (biasa disapa Diki) berbagi pengalaman dalam aktivitasnya bersama Forum Lenteng dan OK. Video Festival. Berbeda dengan sejumlah karya Ika yang berbentuk fisik dan dikomersialkan sebagai merchandise, video yang dipresentasikan Diki berkutat penuh merekam memori yang tinggal dalam kehidupan sosial, baik yang sudah menjadi sejarah ataupun refleksi atas isu aktual. Sebuah karya seni video yang sempat ia putar berangkat dari pembacaan atas prosa Pramoedya Ananta Toer. Dalam diskusi ini Diki mengungkapkan pula karya video tentang sidang Hans Bague Jassin (2013) dihasilkan sebagai teguran bagi publik atas persoalan pengelolaan Perpustakaan HB. Jassin.

Secara khusus dalam kaitan dengan itu, pengarsipan lewat video juga menemui sisi pentingnya. Rekaman kejadian ataupun persoalan sosial yang mengisi kehidupan sehari-hari, bilamana bernilai penting bagi proyeksi dan refleksi masa mendatang, patut disimpan berbentuk video (atau medium lainnya seturut sarana perekam dan presentasinya sebagai karya seni).

Kemudian karikaturis Muhammad Reza Mustar atau akrab disapa Azer mengisahkan profesinya membuat komik berisi anekdot. Selain menghadirkan tokoh bernama Simon yang berwatak slenge’an atau kurang sopan-santun, Azer menuangkan sentilan atas perilaku warga kota dan gaya hidup masyarakat secara umum. Karikatur-karikatur buatannya diunggah ke media sosial miliknya dan banyak membuahkan komentar masyarakat. Sebagian besar komentar itu adalah kesan personal atas ungkapan pesan yang tersaji dalam goresan komiknya, ada pula yang merespons dengan menginterpretasi isi karyanya.

Bagi saya, hal ini menarik sebab menggelontorkan gambaran interaksi antara publik dan seniman. Kedua pihak menanggapi secara aktif buah pemikiran masing-masing sehingga terbangun proses tawar-menawar di situ, dan mengakrabkan keduanya. Seni tak lagi seperti dikesankan selama ini yang berada pada posisi tak terengkuh publik lantaran kerumitan dan eksklusivitasnya.

Berkaitan dengan ungkapan ide lewat kreasi karya seni yang menanggapi isu sosial, Ika menilai bahwa hal itu tak biasa ia lakoni. Sebaliknya, kreativitasnya dalam mencipta karya umumnya berangkat dari ungkapan personal dari dirinya, tanpa didasari niat menanggapi isu sosial. Di titik inilah dapat ditilik eksistensi karya seni berdaya guna bagi publik. Indra Ameng, kurator dan seniman ruangrupa, menanggapinya sebagai persinggungan antara nilai karya bagi kreator dan tanggapan positif dari publik. Terutama untuk karya yang dapat tergolong masterpiece milik seniman, selain berkesan kuat bagi pembuatnya, haruslah diamati nilai atau pengaruhnya di masyarakat. Secara ringkas, Ameng menegaskannya, “Karya yang juga berkesan bagi publiklah yang akan menjadi masterpiece.”

Dokumentasi: DKJ – Eva Tobing