Sayembara Menulis Novel yang digagas oleh Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sejak 1974 memang diniatkan untuk merangsang penciptaan novel berbahasa Indonesia. Sayembara ini menyandang kewajiban historis untuk ikut menemukan novel-novel cemerlang dalam setiap kali penyelenggaraannya. Karena itu, kami, Dewan Juri, menerapkan sejumlah kriteria yang sudah disepakati agar dalam pembacaan nanti berhasil menemukan naskah-naskah novel yang diharapkan: Pertama, Kesatuan antara bentuk dan isi. Kedua, Kebaruan dari segi tema dan cara penulisan. Ketiga, Kepiawaian bercerita. Keempat, Keperajinan dan kemahiran berbahasa Indonesia.

Kami membaca 317 naskah yang lolos persyaratan administrasi dengan nama pengarang yang telah dihapus atau digunting oleh panitia. Dengan demikian, kami “membaca buta”, tetapi dengan “sisa rasa” dari pembacaan kami atas khazanah novel Indonesia mutakhir, demi menemukan apa-apa yang kami anggap cemerlang dalam Sayembara kali ini. Kami bersidang dua kali untuk memastikan hasil pembacaan kami. Dalam sidang pertama yang diselenggarakan di kantor DKJ pada 5 November lalu, kami menetapkan 25 naskah pilihan. Dua puluh lima naskah itu kemudian kami baca kembali dengan saksama dan pembahasan hasil pembacaan sepilihan naskah ini berlangsung di kantor DKJ pada 19 Desember lalu. Pada sidang kedua ini kami sudah bisa memutuskan naskah-naskah yang kami anggap layak sebagai pemenang dari 25 naskah terpilih. Namun, sebelum kami mengumumkan hasil temuan kami, ada baiknya kami menyatakan terlebih dahulu kondisi umum naskah Sayembara.

Secara umum naskah yang kami baca bermasalah, baik dari tata bentuk novel maupun dalam soal penggunaan bahasa Indonesia sebagai media sastra. Berikut ini rinciannya. Pertama, adanya keinginan kuat untuk menjelaskan dengan cara hampir mengutip. Cerita tidak lagi mengalir dengan wajar namun justru tersendat di sana-sini akibat adanya agenda untuk membangun realisme. Sebagai pembaca, kami seolah sedang menghadapi reportase bahkan ensiklopedi sehingga mau tidak mau memunculkan pertanyaan “Lalu apa bedanya dengan membaca koran?” Sejumlah naskah tidak mengalami proses pengendapan yang cukup untuk “membersihkannya” dari hal-hal yang melatarbelakangi dan di sekitar proses penciptaannya.

Kedua, dialog yang tidak lentur. Sejumlah naskah menghadirkan monolog dan dialog yang sering kali membuat kami bertanya-tanya terkait bagaimana orang-orang dalam keseharian kita berbicara. Bahasa tulis tentu berbeda dari bahasa lisan, bahasa tokoh dalam novel tidak lagi bisa begitu saja disamakan dengan bahasa seseorang yang kita jumpai di dunia nyata. Namun demikian, pemahaman atas konsep ring true—terdengar, terlihat, terasa, tercium dan teraba nyata—tetap perlu ditekuni, khususnya untuk cerita yang memilih realisme sebagai bingkainya.

Ketiga, pencerita yang tidak jelas posisinya. Ini adalah kelemahan umum prosa berbahasa Indonesia. Dalam membangun semesta fiksi, pengarang seolah lupa bahkan abai bahwa nalar fiksi tetaplah bekerja. Sejumlah naskah, khususnya yang memanfaatkan “aku” dan sudut pandang orang pertama, membangun semesta cerita yang pada awalnya tampak wajar namun apabila dicermati kembali menjelma lembaran penuh lubang. Salah satu yang paling menonjol, dan sekaligus menjadi tren akhir-akhir ini, adalah penyebutan judul buku atau lagu dalam upaya membangun karakteristik tokoh. Laku ini menjadi tidak wajar apabila pada akhirnya penyebutan tersebut berhenti sebatas penyebutan (name-dropping) alih-alih pembangunan karakateristik tokoh. Yang paling parah dari hal ini adalah pengarang masuk ke dalam dunia fiksi yang dibangunnya; buku dan lagu tersebut bukan lagi milik tokoh, melainkan milik sang pengarang.

Keempat, riwayat kekerasan dan luka Indonesia. Apabila naskah-naskah peserta Sayembara ini dapat dianggap sebagai representasi atas cara sebagian orang Indonesia memandang Indonesia, yang tampak adalah betapa riwayat kekerasan dan luka Indonesia menjadi bahan bakar cerita yang paling digemari. Sayangnya, tidak semua sejarah direkonstruksi sebagai sebuah cerita yang segar. Semua minim pengalaman kontemplatif. Konsekuensinya, lagi-lagi, kami seperti sedang membaca karya nonfiksi yang tidak menawarkan apa-apa selain sekadar pengingat akan luka bangsa sendiri.

Kelima, membicarakan banyak hal sehingga kehilangan kesatuan cerita—seakan-akan seluruh isi dunia hendak dituangkan ke dalam novel. Entah karena dipicu oleh keinginan pengarang untuk menghadirkan sebuah karya yang mendatangkan decak kagum pembacanya, sejumlah naskah tampak sibuk sendiri membombardir pembaca dengan rangkaian imaji akan banyak hal yang bisa dibanyangkan berdiri sendiri-sendiri dalam sejumlah cerita yang berbeda. Kesetiaan pada satu alur yang kokoh, pada satu tulang punggung, untuk kemudian padanya dilekatkan daging segar pada beberapa bagian tercemar oleh lanturan yang pada akhirnya sekadar dipahami sebagai gimmick yang tidak sepenuhnya berkontribusi dalam membangun totalitas cerita.

Keenam, janji yang tidak dituntaskan, kehilangan daya di tengah cerita. Tidak jarang dalam pembacaan naskah, kami menjumpai halaman-halaman pembuka yang merekahkan senyum dan menumbuhkan harapan akan sebuah cerita yang segar. Sayangnya, janji manis itu lambat laun kehilangan daya pikatnya ketika cerita telah mencapai separuh riwayatnya. Cerita yang pada awalnya katakanlah serupa fauna eksotik lambat laun mulai meragukan dirinya sendiri dan seolah berevolusi menjadi kawanan binatang yang bisa kita jumpai dalam keseharian.

Dengan berpegang kepada kriteria yang telah ditetapkan di atas dan kondisi umum yang kami temukan selama pembacaan, akhirnya kami memutuskan hal-hal sebagai berikut:

Pemenang Pertama: Semua Ikan di Langit (256)
Naskah Semua Ikan di Langit adalah adukan yang sangat memikat antara cerita anak, cerita fantasi, fiksi ilmiah, dongeng, cerita berbingkai dan mitos penciptaan dunia. Ia dibuka dengan narasi yang mengeluarkan aroma inosens yang mengingatkan kami kepada The Little Prince karya Antoine de Saint-Exupery. Dalam sudut pandang anak-anak (yang cerdas dan terbuang) kebebasan dan petualangan hadir dalam pelbagai bentuk. Bumi, langit dan angkasa raya bukan lagi kotak-kotak bersekat, begitu pula lapis-lapis waktu. Para tokoh naskah novel ini bertualang ke ruang angkasa, bolak-balik antara Bandung abad ke-21 dan Auschwitz 1944, lalu kembali lagi ke angkasa yang lepas dari perhitungan waktu manusia. Cerita bergerak berdasarkan penuturan sebuah bus kota dengan tokoh utama seorang anak lelaki yang disapa “Beliau” dan punya kekuatan Ilahiah dalam menciptakan segala sesuatu.

Naskah Semua Ikan di Langit adalah serangkaian eksperimentasi yang tetap menyesuaikan diri pada bentuk-bentuk yang sudah ada. Ia ditulis dengan keterampilan bahasa yang berada di atas rata-rata para peserta Sayembara kali ini. Bukan hanya kemampuan mengorganisasikan setiap elemen novel yang tampak unggul, tetapi kemampuan pengarang dalam menata kalimat demi kalimat memperlihatkan kemahiran yang nyata dan langka. Bahasa Indonesia yang digunakan penulis sangatlah bersih. Kalimat-kalimatnya kokoh dan jauh dari salah cetak. Bahasa Indonesia baku berkelindan dengan ragam cakapan Jakarta, deskripsi berbaur dengan tuturan tokoh, dan semua itu berlangsung dengan sangat mulus. Plastisitas bahasa membuat naskah ini prosa sekaligus puisi. Kendati demikian, watak puitis ini tidak membuat alurnya tersendat, melainkan terus membawa pembacanya dalam arus metafora yang berbinar di setiap titiknya. Cara penceritaannya santai, musikal dan pada bagian-bagian lain tampak menyedihkan dan getir. Inti ceritanya sejatinya tidak secerah pembungkusnya: perjuangan, perjalanan, kekecewaan, kehancuran, kerinduan. Pada akhirnya, ia adalah naskah novel yang mampu merekahkan miris dan manis pada saat bersamaan.

Perbedaan mutu yang tajam antara Pemenang Pertama dan naskah-naskah lainnya, membuat kami tidak memilih pemenang-pemenang di bawahnya. Karena itu, kami memutuskan Tidak ada Pemenang Kedua dan Pemenang Ketiga. Kendati demikian, kami memilih sejumlah naskah yang meski tidak secemerlang Pemenang Pertama, masih menunjukkan sejumlah keunggulan. Naskah-naskah ini kami sebut Unggulan dan kami urutkan berdasarkan nomor naskah.

Lengking Burung Kasuari (25)
Naskah ini memandang tanpa tendensi kompleksitas sosio-kultural masyarakat Papua melalui sepasang mata bocah. Sesekali si pemandang terasa melampaui usianya, namun si aku telah membuat pengakuan terkait anomali tersebut bahkan sejak halaman pertama. Hal-hal yang semestinya meremukkan menjelma renungan yang tidak sekadar mengisahkan kembali sekeping tanah dengan sejarah yang hampir tidak terkatakan. Sepanjang cerita adalah serupa penundaan panjang dengan akhir yang melegakan dalam keserbasederhanaannya.
Lengking Burung Kasuari mencoba mengungkapkan pengalaman anak-anak tentara Jawa yang bertugas di Papua pada masa Orde Baru. Suasana teror yang selama ini bersifat sangat politis, kini diambil alih oleh anak-anak dalam bentuk imajinasi akan kehadiran “tukang potong kep”. Sepanjang cerita ketakukan akan “tukang potong kep” terus membayangi meski kita tahu itu sebenarnya hanyalah ketakutan anak-anak yang selalu dibesar-besarkan, tetapi bukan tidak mungkin akan datang sosok itu suatu kali. Dengan tuturan yang sangat lancar dan alur yang maju terus, pengarang berhasil menjaga suspens, dan semua itu disampaikan dalam bahasa Indonesia berkualitas baik.

Tanah Surga Merah (55)
Konflik politik di Nanggroë Aceh Darussalam (NAD) bukan sekadar latar novel ini, tetapi juga inti cerita. Meski menjadikan gejolak politik lokal sebagai pokok cerita, naskah ini tidak terperangkap pada reportase jurnalistik. Ia menghadirkan seorang mantan tentara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) yang pulang ke kampungnya dan menemukan kenyataan-kenyataan yang tidak sepenuhnya bisa ia terima. Ada harapan yang tidak terpenuhi, tetapi juga ada keajaiban yang datang tanpa diminta. Disampaikan dengan gaya reportase yang tidak kering, novel ini dengan sabar membangun peristiwa demi peristiwa tentang tema-tema lokal yang sangat politis. Pengalaman romantis yang membayang samar di akhir naskah ini adalah sejumput harapan di tengah segala yang begitu mengekang.
Benturan antara banyak kepentingan dan karakter, dengan amunisi konflik politik lokal, bukan hanya membuat naskah ini sebagai naskah novel politis tetapi juga memberi kita humor yang baik. Pembaca bukan hanya bisa bersimpati terhadap penderitaan para korban, tetapi juga bisa ikut mengejek dan menertawakan mereka, sehimpunan manusia yang terperangkap dalam konflik yang seakan tak ada ujungnya. Meski dituturkan dalam bahasa Indonesia yang baik, beberapa bagian tak mampu membebaskan dirinya dari klise.

Curriculumvitae (174)
Naskah novel ini disusun lewat serpihan-serpihan cerita pendek, seperti sehimpunan “cerita telapak tangan”, segugusan catatan harian. Pembaca diberi kebebasan mengaitkan bagian satu dengan bagian lainnya. Menuntaskan masing-masing cerita adalah upaya melekatkan daun-daun pada ranting sebuah pohon yang memperlihatkan wujud aslinya sedikit demi sedikit, meskipun tetap samar. Ia memberikan tawaran yang mencerahkan semesta yang semakin hari semakin terasa kusam. Ia menghadirkan citra dan nuansa tentang kedirian seseorang dan relasi antarmanusia yang tidak melulu dramatis. Mau tidak mau mengingatkan kami akan novel The Lover’s Dictionary karya David Levithan.
Di dalam naskah ini, pengarang bukan melulu bercerita tetapi mempersoalkan kembali posisi pengarang-pembaca-kritikus. Kalimat-kalimat dibuat cergas, tetapi bebebapa bagian masih tampak mendayu-dayu, dengan kegalauan yang terus membayang. Pengarang berpretensi merumuskan sesuatu, semacam kehendak berfilsafat mengenai hal-hal remeh-temeh. Ia berupaya memberi kita tuturan yang puitis dan dramatis tetapi dengan perbendaharaan kata yang lebih terbatas.

24 Jam Bersama Gaspar (218)
Ringan dan menyenangkan. Naskah novel ini menghadirkan banalitas yang diselipi ungkapan filosofis yang tidak mengawang-awang. Lucu di sejumlah tempat akibat kepolosan tokoh-tokohnya dalam memandang dunia sekelilingnya. Ia menghadirkan individu-individu yang sepintas tampak sepele namun sesungguhnya kaya dan mengayakan; mengandung kesadaran sekaligus kritik atas konvensi cerita detektif. Seperti halnya cerita detektif, cerita berawal dari tengah dan terbagi menjadi dua: peristiwa kejahatan tentang sekelompok orang yang hendak merampok toko emas dan investigasi kepolisian. Namun, ia tidak bergerak dengan cara umum dalam bentuk narasi sepenuhnya melainkan berselang-seling dengan wawancara polisi dengan saksi sekaligus pelaku peristiwa. Setiap bagian novel dimulai dengan semacam repetisi tentang peristiwa yang akan berlangsung, tetapi kemudian melebar ke arah yang tidak terduga. Dialog tokoh-tokohnya tampak berbobot, mengena, dengan alusi yang mengarah ke semesta dunia.

Demikianlah pilihan kami kali ini. Bagi kami, naskah novel pemenang dan unggulan dalam Sayembara Menulis Novel DKJ 2016 menjadi pembuktian akan adanya kerja keras dan penuh perhitungan para penulis kita—yang kebetulan masih berusia muda. Mereka berhasil menawarkan kebaruan dan kesegaran kepada khazanah novel Indonesia hari ini tanpa harus melupakan khazanah sastra yang melingkupi mereka. Mereka tampak cemerlang dengan sejumlah keunggulan yang terasa tak terduga. Namun, sekali lagi, semua pencapaian ini, masih harus diuji kembali di tangan sidang pembaca kelak.

Dewan Juri

Bramantio
Seno Gumira Ajidarma
Zen Hae