Tidak terasa, orkes kota Jakarta City Philharmonic (JCP) yang dibentuk oleh Badan Ekonomi Kreatif dan Dewan Kesenian Jakarta sudah delapan kali mengadakan konser musik di Gedung Kesenian Jakarta mulai dari November 2016—Oktober 2017. Pada edisi yang ke-9, JCP mengusung tema Menggaru Akar Rumput Tanah Harapan. Tema ini menyuarakan harapan dan semangat untuk memiliki kehidupan yang lebih baik di negeri tempat manusia di dalamnya menanamkan cita dan impian. Tanah Harapan merupakan sebuah simbolisasi kaleidoskop perkembangan kehidupan masyarakat Amerika, yaitu sejak migrasi besar Bangsa Eropa ke Dunia Baru untuk mencoba peruntungan di negeri seberang.

Konser kali ini akan membawakan empat karya besar. Musim Semi di Pegunungan Appalachia karya Aaron Copland mengilustrasikan semangat menggebu-gebu secara komprehensif. Karya Copland ini menjadi karya yang terpilih dalam penghargaan bergengsi Pulitzer Price for Music pada tahun 1945. Sementara itu, West Side Story karya Leonard Bernstein menceritakan kisah romansa serupa Romeo dan Juliet dengan mengangkat konteks perbedaan kelas sosial, ras, serta budaya: Tony, pemuda kulit putih dan memiliki hak-hak istimewa, jatuh cinta kepada Maria, seorang imigran dari Puerto Rico.

Bernstein mengemas kisah tersebut dalam balutan musik jazz Amerika yang merupakan kekuatan dari karya-karya George Gershwin. Pada Konserto dalam F, kemahiran Gershwin merangkai alunan melodi dalam piano klasik bergaya jazz tidak dapat diragukan lagi. Sebagai refleksi, Revolt in Paradise karya Andreas Arianto memunculkan pertanyaan retorik bagi para penikmat seni: Apakah keberagaman dalam darah manusia Indonesia akan senantiasa dirawat oleh generasi muda Indonesia?

Konser Jakarta City Philharmonic edisi #9: Menggaru Akar Rumput Tanah Harapan ini diaba langsung oleh Budi Utomo Prabowo selaku Pengaba Utama JCP. Dalam konser dua terakhir di tahun 2017 ini, menghadirkan solis piano Stephen K. Tamadji dan Rama Widi pada Harpa. Konser yang diadakan pada Kamis, 9 November 2017 bertempat di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki dengan kapasitas tiga kali lebih banyak dibanding di konser sebelum-sebelumnya.

“Salah satu yang menjadi pertimbangan kami untuk pindah dari Gedung Kesenian Jakarta ke Teater Jakarta, TIM adalah untuk menampung lebih banyak lagi Kawan-kawan JCP yang berniat untuk nonton orkes kota ini. Bukan perkara gampang. Secara teknis banyak hal baru mesti disiapkan dan direncanakan ulang. Pemasangan orchestra shell saja menghabiskan waktu lima hari. Belum lagi perencanaan dan pengaturan sistem suara dan cahaya yang mesti dirancang dari nol lagi. Padahal, di GKJ dari konser ke konser penataan suara sudah semakin bagus,” ujar Totot Indrarto, salah satu komisaris Jakarta City Philharmonic.