JAKARTA INTERNATIONAL LITERARY FESTIVAL (JILF) 2022

KOMITE SASTRA – DEWAN KESENIAN JAKARTA

 

Our City in Their World: Citizenship, Urbanism, Globalism

(Kota Kami di Dunia Mereka: Kewargaan, Urbanisme, Globalisme) 

Pengantar

Istilah kota dalam bahasa Indonesia selalu dibayang-bayangi kegandaan makna yang bisa merepotkan. Kota menjadi padanan bahasa Indonesia baik bagi kata city maupun town dalam bahasa Inggris, yang masing-masingnya memiliki cakupan makna berbeda. Kota dalam artian city adalah kota yang dengan ambisius hendak mengantar dirinya menjadi bagian dari dunia yang global, dan acapkali angan-angan ini hendak diwujudkan, bila perlu, dengan meninggalkan segala kelokalannya agar menjadi serupa dan seragam dengan kota-kota dunia lainnya. Sementara itu, kota dalam artian town adalah sebuah komunitas yang masih dipersatukan oleh kontiguitas (kedekatan) dan dihidupi oleh tradisi berkomunitas sehingga tidak pernah menjadi kota yang terkotak-kotak secara sosial, ekonomi, dan kultural seperti halnya city.

Di dalam proses transformasi sebuah kota yang hendak mengglobal, ancaman paling serius bukanlah berasal dari ekspansi teritori kota ke kawasan-kawasan di pinggirannya, atau dari menjamurnya pembangunan infrastruktur megah dan baru, dan bukan pula dari arus mobilitas manusia dari tempat-tempat lain ke kota tersebut. Krisis terbesar yang bisa ditimbulkan oleh globalisasi kota-kota adalah hilangnya hak-hak kewargaan yang semula dimiliki secara melekat oleh mereka yang berdiam di tempat yang tengah dilanda perubahan itu. Jika hal itu dibiarkan terjadi, pergerakan kota-kota menjadi ‘milik dunia’ dengan kultur urbanismenya yang homogen dan elitis akan menghasilkan kolonisasi kota-kota oleh segelintir orang dengan akses besar ke kekuasaan dan kapital. Kota menjadi wilayah pendudukan di mana warga kota justru menjadi kaum yang tertindas: terusir, terabaikan, terlupakan. Kalaupun mereka diizinkan bertahan hidup di kota, itu karena mereka masih berfungsi sebagai komponen penunjang kehidupan kota yang bukan lagi milik mereka: sebagai penjaja makanan di pinggir jalan, penyapu jalanan, pengepul sampah, penjaga parkir dan keamanan, ataupun pramusaji rumah-rumah makan.

Kehadiran mereka tak dikehendaki, tetapi mereka dibutuhkan agar nadi kota tetap berdenyut, sejauh mereka tidak muncul secara mencolok dan mengganggu keindahan, kenyamanan, dan keteraturan kota. Mereka ada demi agar para urbanis dan kultur urbanismenya yang mahal tapi banal dapat terus berlangsung. Dunia baru yang asing itu kini mengeksploitasi mereka, sementara dulu tempat itu adalah sumber kehidupan mereka.

Adakah sastra menangkap dan bergulat dengan krisis eksistensial kewargaan ini, di samping mencurahkan kegelisahannya atas berbagai perubahan fisik dan sosial yang terjadi pada kota ketika bertransformasi menjadi bagian dari dunia global? Bagaimana berbagai komunitas sastra dan gerakan sastra, khususnya yang secara langsung berhadapan dengan ancaman terhadap kewargaan ini, merespon proses-proses urbanisme dan globalisme yang menggerus kehidupan di kota-kota? Masihkah ada harapan, optimisme, serta gagasan-gagasan kritis dan inovatif yang tumbuh dari pergumulan nyata dengan transformasi kota dan mampu membuka jalan untuk merebut kembali kewargaan yang terampas? Adakah cara untuk mendamaikan hasrat untuk mempertahankan kota sebagai rumah kita di satu sisi dan kota sebagai milik dunia di sisi lain?

Tujuan

Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta menggunakan ajang Jakarta International Literary Festival (JILF) pada 2022 ini berkehendak untuk mencari dan mendengar suara-suara para penyintas transformasi kota di tengah belantara perubahan. Akan tetapi, tak kalah penting adalah menjadikan JILF 2022 sebagai sarana penggalangan solidaritas di antara para pegiat, pengabdi, dan pemerhati sastra di dalam latar dan konteks urban untuk bersama-sama menghadapi berbagai persoalan menyangkut krisis kewargaan kota ini melalui alternatif – alternatif yang segar sekaligus kritis agar celah-celah terobosan dapat mulai digali.

Untuk itu, Panitia JILF 2022 mengundang komunitas-komunitas pegiat, pelaku, dan pemikir sastra yang memiliki perhatian serta keterlibatan khusus dengan isu-isu kewargaan dan perkotaan untuk menciptakan dan menyumbangkan pemikiran kreatif, rancangan konseptual, atau model pengembangan alternatif dalam bentuk proposal eksibisi, workshop, panel atau karya kreatif untuk mengirimkan proposal dengan cakupan area sebagai berikut:

  1. Transformasi kota yang mengintegrasikan kewargaan, lingkungan, dan infrastruktur sebagai satu kesatuan pemikiran untuk pengembangan kehidupan kota ke depan;
  2. Pemeliharaan (konservasi), penggalian “lumbung-lumbung budaya” yang laten atau potensial untuk membangun ketangguhan warga dalam menghadapi perubahan, sustainability kota yang ramah pada kehidupan;
  3. Isu-isu urban dan global seperti urbanisasi, gentrifikasi, neoliberalisasi kota, alih fungsi lahan, ketercerabutan warga (displacement), teknologisasi kota, mobilitas lintasbatas, kemiskinan kota, ketidaksetaraan sosial dan ketimpangan ekonomi, materialisme;
  4. Imajinasi kota, warga, dan dunia dari wilayah periferi dan perspektif yang berjarak dari kawasan perkotaan sebagai sumbangan peluang dan kemungkinan baru bagi pengembangan kota-kota global yang berbasis kewargaan;
  5. Isu, pendekatan, proyek, eksplorasi, dan bentuk aktivitas lain yang berkaitan langsung dengan persoalan kewargaan, urbanisme, dan globalisme.

Bentuk Kegiatan

Bentuk kegiatan yang diusulkan dapat berupa penciptaan dan resitasi karya, pameran karya, workshop/bengkel kreatif, panel pemikiran kolaboratif, dan bentuk-bentuk kreatif lain yang relevan dan tepat sasaran. Penggagas diberi slot waktu khusus untuk memperkenalkan dan menyampaikan hasil karyanya sepanjang maksimum 3 (tiga) jam, dengan semangat partisipatoris atau interaktif.

Format Usulan

Proposal yang diajukan hendaknya berisi unsur-unsur sebagai berikut:

  1. Isu atau problem konkrit yang melatarbelakangi dibuatnya usulan,
  2. Paparan bentuk kegiatan yang diajukan untuk menjawab isu atau problem (dapat melibatkan sarana multimedia dan teknologi informasi dan digital),
  3. Personil yang terlibat (nama komunitas, koordinator, jumlah personil, resume, dll.),
  4. Linimasa kegiatan (dari preproposal hingga pascafestival, jika ada),
  5. Anggaran yang dapat diajukan adalah maksimal Rp50.000.000 – lima puluh juta rupiah),
  6. Uraian tentang cara atau pengukuran dampak dari kegiatan apabila ada tindak lanjut untuk implementasi dalam komunitas atau masyarakat,
  7.  Lokasi tempat kegiatan berpusat atau dilaksanakan, dan
  8. Mengisi tautan pendaftaran Open Call JILF di bit.ly/opencallJILF2022 dan mengunggah dokumen penunjang.

Persyaratan Peserta

Peserta yang dapat mengajukan proposal adalah yang memenuhi persyaratan sebagai berikut:

  1. Warga Negara Indonesia (yang berdomisili di dalam atau di luar wilayah negara Republik Indonesia),
  2. Menjadi bagian dari suatu komunitas sastra/seni/budaya (sebagai pendiri/pengurus/anggota),
  3. Memiliki rekam jejak kepedulian dan keterlibatan dalam hal-ihwal yang bersangkutan dengan isu-isu sastra, seni, budaya dan/atau perkotaan dan/atau globalisasi,
  4. Pengusul dapat berkolaborasi baik dengan mitra domestik maupun dengan mitra asing atau internasional yang tidak berpusat di Indonesia,
  5. Ketersediaan dana pendamping dari mitra adalah sebuah nilai tambah bagi proposal,
  6. Bersedia menerima masukan untuk revisi proposal dari Panitia apabila proposal diterima, dan
  7. Bersedia tampil sebagai pengisi program dalam pelaksanaan JILF 2022 pada 22 – 26 Oktober 2022 di Jakarta.

Periode Pengajuan

Batas waktu pengajuan proposal lengkap adalah 15 Juli 2022 tengah malam.

Proposal dikirimkan secara elektronik melalui Google Form pada tautan bit.ly/opencallJILF2022 bersama dengan data lainnya.