Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) kembali menggelar Proyek Seni Perempuan Perupa 2019 pada 15-29 Oktober di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Ini adalah kali kelima Proyek Seni Perempuan Perupa dari DKJ. Dalam empat gelaran program ini sebelumnya, Proyek Seni Perempuan Perupa berusaha menancapkan eksistensi perempuan perupa di tengah perupa laki-laki serta menjadi wadah penyaluran gagasan dan ekspresi para perempuan perupa.

Tahun pertama (2014), pameran bertajuk “Wani Ditata” dipresentasikan sebagai respon dari delapan perempuan perupa yang menelusur  Dharma Wanita dalam konstruksi social politik, mencerna bagaimana negara memposisikan wanita dalam masyarakat. Pada tahun kedua (2015), “Bon Seni” menilik relasi kuasa negara atas Lembaga permasyarakatan perempuan. Tahun ketiga (2016), menyorot persoalan buruh perempuan yang dibingkai dalam “Tulang Punggung”. Pada 2018 lalu, perihal “Yang Tersingkap” di balik jilbab direspon enam perempuan perupa.

Dikuratori oleh Saras Dewi, Proyek Seni Perempuan Perupa 2019 kali ini mengusung tema Ekofeminisme dengan judul “Siklus Buana”. Ekofeminisme secara etimologis merupakan gabungan dari dua padanan kata yaitu ‘Ekologi’ dan ‘Feminisme’. Penolakan pada seksisme, rasialisme, sekaligus membahas Ekologi Dalam, perubahan iklim, beserta isu perempuan dan lingkungan lainnya merupakan pintu-pintu masuk para perempuan perupa yang diundang kali ini untuk berekspresi dan berkarya.

Ekofeminisme bukan hanya sekedar penggabungan atas dua kata saja, melainkan dapat timbul berkat adanya kesamaan nasib akan penindasan yang dirasakan. Ekologi dan Feminisme seakan-akan dua entitas yang mengalami ketidakadilan yang serupa dan didasari oleh alas an sosio-ekonomi dalam system masyarakat yang patriarkis, yang secara sistemik jugamendominasi mereka.

Lima perempuan perupa: Citra Sasmita, Dea Widya, Dewi Candraningrum, Prilla Tania dan Tita Salina diundang untuk mengungkapkan relasi antara ekologi dan feminisme dengan praktik dan perspektif mereka tersendiri.

Citra Sasmita dengan karyanya “Timur Merah Project II, The Harbour of Restless Spirits” menunjukkan tata relasi manusia yang saat ini mengedepankan hierarki, otoritas dan diskriminasi. Tubuh perempuan yang juga adalah tubuh alam mengalami ganasnya budaya patriarki.

Dengan latar belakang arsitekturnya, Dea Widya menampilkan “Naked Home” yang mengkritisi ruang perempuan yang semakin terhimpit. Dea menyusun kembali rumah-rumah terbengkalai, bercakap-cakap dengan roh yang bersemayam dan mendengarkan keluh kesah mereka “Mereka” bercerita ruang perempuan yang terpojok, sempit dan disembunyikan. Roh perempuan dan roh bumi adalah roh-roh yang senyap dan tenggelam di tengah modernisme.

Dewi Candraningrum memamerkan karya lukisan yang dberinya judul seri “Naga Kendeng” dan “Lesung Kendeng” yang mengingatkan kita betapa lekatnya alam dengan manusia. Lukisan-lukisan Dewi merupakan suatu kesaksian bahwa kehidupan yang mulia, sejatinya adalah kesederhanaan dan keberanian para petani dan para penjaga gunung Kendeng yang merupakan penyambung suara gunung Kendeng yang selama ini tercekik tambang semen.

Sementara itu Prilla Tania memantik angan-angan para penikmat seni dengan gambar orang-orang yang merupakan dambaan keselarasan manusia dengan alam. Goresan ini seperti harapan manusia tulus, melukis di dinding-dinding gua disertai kekaguman terhadap alam. Langit yang megah, hutan yang rimbun, flora-fauna yang berwarna-warni dalam “Ibu Termenung Bapak Merenung Anak Menanggung Tak Usah Sangsi Nurani Beraksi Alam Bersaksi”

Proyek Seni Perempuan Perupa 2019 dilengkapi Tita Salina dengan kereshannya saat hutan di kampung halamannya terbakar. Karyanya “Anthropocentric Annual Ritual” merupakan instrument yang menggali lebih dari sekedar empati. Trauma, kesedihan, dan amarah coba disampaikan dalam karyanya. Bagaimana asap telah membunuh kehidupan api telah menghabiskan mahkluk-mahkluk keramat penunggu hutan. Tidak berhenti disitu, karya Tita Salina dalam Proyek Seni Perempuan Perupa 2019 merupakan bentuk protes dan solidaritas kepada ibu pertiwi yang sedang lara.

Perhelatan Proyek Seni Perempuan Perupa mengambil peran sebagai lensa feminis yang unik tentang hubungan antara gender dan masalah lingkungan serta melalui karya-karya ini dapat memicu orang-orang untuk berbuat sesuatu, khususnya kepada nasib dan keberlangsungan alam.