Tulisan oleh: Akbar Yumni
Dance film (dance film) merupakan perkembangan kekiniaan dari tari, dimana koreografi diambil berdasarkan hubungannya dengan sinema. Hubungan tari dan sinema sesungguhnya sudah ada semenjak kelahiran kamera itu sendiri, atau jika merujuk pada istilah sinema sebagai gerak, dimana para pelopor film macam Thomas Edison telah mengawalinya dengan merekam tari. Membayangkan sinema sebagai gerak atau sekuen inilah, kemudian kerja-kerja koreografi dalam secara sinematis di dalam dance film menjadi perjumpaan yang menarik, karena kemudian pergulatan dan pertanyaan yang muncul adalah apakah koreografi muncul bersamaan dengan fasilitas kamera dalam sistem editing, atau lebih jauh lagi korografi ada karena kemungkinan-kemungkinan gerak atau momen-momen gestural pada gerak tari dihasilkan perjumpaanya dengan bahasa sinematografi.
Di dalam perhelatan Imajitari Festival, sebagai sebuah festival dance film yang pertama di Indonesia, yang digagas oleh Komite Tari, Dewan Kesenian Jakarta, merupakan sebuah apresiasi penting dalam perkembangan tari secara kekiniaan, khususnya bagaimana hubungan dua medium antara tari dan film. Kerja-kerja dalam bentuk genre baru ini, dance film telah mendapatkan apresiasi dari beberapa kalangan pelaku tari dan film di Indonesia. Dari total 50 an karya yang masuk ke Imajitari Festival misalnya, beberapa karya yang masuk dari Indonesia sendiri cukup banyak, disamping beberapa karya lain yang masuk dari luar Indonesia, dimana beberapa karya memberikan gambaran kekiniaan dan kemungkinan baru terhadap praktik koreografi berdasarkan keberadaan fasilitas kameran dan sinematografi.
Perjumpaan dua medium yang memiliki kodrat yang berbeda antara tari dan film pada dance film ini, di antara keduanya memiliki prinsip yang sama yakni gerak. Namun kecendrungan terhadap keberadaan kamera yang paling umum di beberapa karya yang masuk di Imajitari Festival adalah sebagai sebuah dokumentasi semata, sehingga yang berlangsung lebih pada sebuah dokumentasi tari ketimbang film tari, atau kemungkinan koreografi berdasarkan pendekatan sinematografi atau fasilitas-fasiltas yang terdapat dalam medium film. Kecendrungan mendokumentasi inilah yang masih dominan terlihat dari karya-karya dance film yang masuk ke Imajitari Festival. Hal ini disebabkan, karena mungkin karya dance film dikerjakan dalam satu sisi semata, yakni kerja koreografi, sehingga fasilitas sinema dan film yang mestinya membentuk koreografi yang disajikan dalam kerangka sinematis, menjadi tidak terlalu nampak, karena terlalu menekankan tari semata tanpa kemungkinan menari dihadapan kamera. Seperti bayangan pemanggungan dalam dance film sebenarnya bisa menjadi semacam ‘restage’ karena tari dihadirkan selain melalui film, seperti yang diperlihat di beberapa karya yang ada di Imajitari, yakni tari yang dilakukan di beberapa jalanan kota, ruang publik, dan lain sebagainya. Beberapa karya dance film lainnya yang masuk di perhelatan Imajitari bisa berangkat dari hal-hal yang korporeal, atau tubuh dan aktivitas keseharian yang dikoreografi, selain juga menganggap karya yang melakukan pendekatan dokumenteris melalui tubuh dan gesture-gestur secara keseharian juga bisa diandaikan sebagai sebuah koreografi tentang biografi. Pada dasarnya karya dance film adalah dua kerja bidang, tari dan sekaligus sinema, melihat juga bahwa dance film bukan istilah yang bisa dipisah yakni film dan tari, namun kedua bidang tersebut melebur menjadi kesatuan karena dipertemukan dengan kodrat ‘gerak’itu sendiri. Bisa jadi kodrat ‘gerak’dalam dance film menjadi kurang maksimal ketika kecendrungan satu sisi, yakni dalam cara pandang tari semata, meski kemudian genre dance film mungkin koridornya memang dari koreografi bidang tari. Namun yang harus diinsiyafi adalah dance film adalah koreografi melalui sinematografi.
Dari beberapa dance film yang masuk ke finalis pada perhelatan Imajitari seperti karya berjudul “Weafing Anteh” karya sutradara Sammaria Simanjuntak dan koreografi Marintan Sirait, melakukan pendekatan koreografi untuk membentuk gesture-gestur sebagai sebuah tindakan yang dibentuk sebagai sebuah naratif. Secara tidak langsung, tari dalam karya ini mengalami ‘restaging’ sebagaimana sekuen naratif dalam film. Karya ini sendiri mencoba menghubungkan gerak koreografi yang dihubungkan dengan benda-benda dan ruang sosial tertentu, serta beberapa bendoa simbolik dalam budaya konsumsi. Pendekatan naratif dalam karya ini sangat kuat dalam mencoba menekankan satu isu tertentu, khususnya tentang bagaimana seseorang terjebak dalam budaya produksi yang semakin eksploitatif, sehingga koreografi juga cendrung melayani gerak sekuen sebagai tindakan yang naratif dan simbolis.
Pada karya lainnya yang masuk sebagai finalis Imajitari Festival adalah berjudul “Another I”karya sutradara dan koreografer Krens Kurnia Wijaya, adalah sebuah koreografi yang mencoba menggunakan kemungkinan-kemungkinan filmis dari fasilitas medium digital, seperti membuat figur-figur kembar (duplikat) dalam satu frame. Secara naratif gerak gesture seorang petugas kebersihan panggung yang mengikuti gerak figur bayangannya yang ahli menari. Namun dalam beberapa gerakan petugas kebersihan yang menari tidak sekedar berusaha mengikuti secara persisi gerak figur bayangannya, namun di beberapa sekuen juga ada semacam gerak koreografi timbal balik di antara dua figur dari narasi dimana sang tokoh yang mengalami pergulatan moral dengan figur bayangannya tersebut.
Sementara karya dari sutradara dan koreografer Jin Young Park dari Korea Selatan yang juga masuk sebagai fnalis Imajitari berjudul “Vertiges of Disappear”, adalah usaha-usaha dari tubuh merespon ruang-ruang berbeda secara organik. Koreografi dibikin berdasarkan model-model emosi manusia dalam menyikapi ruang dan landskap, sementara beberapa hubungan dengan sinematografi adalah tubuh yang berorganik dengan ruang dan objek yang mengitari tubuh, serta kemampuan gambar film yang mencoba membuat gesture-getur dan kode tubuh yang lebih intim melalui frame. Beberapa “restaging” karya ini adalah tubuh dan koreografinya yang coba dihadirkan dalam landskap-landskap bangunan yang membentuk pemaknaan baru dari usaha pengorganikan elemen tubuh dan ruangnya. Tubuh yang hadir dari ruang dan landskap berbeda membentuk koreografi yang berbeda-beda namun masih membentuk salah satu gestural yang berkisinambungan. Koreograsi dalam film karya ini coba mengukur pengertian ‘batas’ di antara ruang-ruang yang berbeda tersebut dari pengaruh-pengaruh organisme sosial yang melingkupinya.
Pada karya finalis lain berjudul “Breath” yang juga karya sutradara Sammaria Simanjuntak dan koreografer Marintan Sirait, adalah karya yang cukup khas, karena ‘restaging’tari dilakukan di tengah jalan-jalan kota. Kamera menjadi memiliki sesuatu yang penting karena selain berfungsi sebagai sebuah pembentukan frame dari landskap sosial yang melatari pertunjukann tari, ia juga sebagai sarana untuk melihat beberapa detail gestur tubuh dari proses koreografi yang coba dibangun dalam karya ini. Tari mengalami ‘restaging’di ruang-ruang publik, meski kemudian gestur koreografi mengalami dunianya sendiri, namun di beberapa adegan memperlihatkan semacam koreografi yang bersinggungan dan merespon perjumpaan dengan publik dan ruangnya. Beberapa koreografi memang membentuk jarak dengan landskap ruang yang melingkupinya karena kebutuhan narasi. Karya ini mencoba memadukan sebuah koreografi yang utuh melalui pemanggungan di ruang publik, serta beberapa koreografi yang berasal dari gesture keseharian dan hubungannya dengan publik.
Selain itu ada karya menarik berjudul “Misoginy Pandora” karya sutradara Felipe Diaz dan koreografer Javiera Acuna Rosati yang cukup menarik karena karya tersebut dibikin berdasarkan pendekatan biografis. Praktik biografis dalam karya ini sendiri bisa dibayangkan sebagai sebuah refleksi pengalaman dirinya di tengah kehidupan kota perdagangan yang membuatnya merasa tidak bebas. Selain sang penari yang melakukan pembebasan dirinya terhadap kehidupan kota yang bagai ruang kotak yang membatasi, pendekatan biografis dalam karya ini juga menggunakan pengalaman tubuh, atau biografi tubuh sang penari melalui adegan-adegan menari di tengah kota, di alam, dan lain sebagainya. Bisa dianggap karya ini semacam refleksi dari biografi atau buku harian singkat dari endapan-endapan sang penari. Sementara pendekatan filmis yang digunakan dalam karya dance film ini adalah bersifat dokumenteris, dimana landskap kehidupan kota dan respon sang penari yang menari di tengah kehidupan kota juga bersifat dokumenteris, sedemikian hingga ruang bukan menjadi panggung yang steril, namun sikap performatif sang penari sendiri yang berusaha bebas di tengah lalu-lalang keseharian kehidupan kota. Pendekatan dokumenteris pada karya dance tari ini jugalah yang seturut bisa dianggap ini sekaligus sebagai bentuk biografi sang penari, karena hubungan film dan tari dibentuk berdasarkan bentuk dokumenteris dari keseharian yang direkam. Namun keseharian sang penari dalam dokumenter ini bersifat performatif, karena angan-angan kebebasan sang penari yang diekspersikan dengan menari di tengah keseharian kehidupan kota.
Yang terakhir, karya finalis lainnya adalah “Over a Low Flame” karya sutradara Amit Sides dan koreografer Yaara Moses yang berusaha melakukan ‘restaging’ di beberapa tempat yang berbeda. Karya ini semacam bentuk okupasi dari ruang-ruang publik seperti di taman, di perpustakaan, di jalan berpemandangan, dan di pertokoaan. Restaging dalam karya ini bisa dianggap sebagai okupasi karena latar tempat yang bersifat publik, atau bagaimana menguji koreografi dalam latar-latar ruang yang berbeda secara spontan. Beberapa gestur koreografi bisa jadi diorganiskan berdasarkan ruangan. Meski fungsi kamera bisa jadi hanya bersifat dokumenteris, namun restaging yang dilakukan bisa menjadi efektif karena adanya frame melalui melalui reproduksi kamera yang bisa bersifat spontan atau mengokupasi ruang publik.
Imajitari Festival yang pertama bisa dianggap perayaan kekiniaan dari kemungkinan-kemungkinan baru praktik koreografi yang dihubungkan dengan film. Genre dance film ini bisa jadi bentuk dua medium yang mengandaikan kerja-kerja kolaborasi dua bidang yakni tari dan film. Meski kemudian basis dari genre dance film ini bisa kita anggap dari percabangan tari karena kata kerja koreografi yang menjadi basis paling dasar sebenarnya, namun pengaruh-pengaruh sinematografi dalam produksi dance film ini tidak bisa dipungkiri adalah kepekaan yang juga mendasar dalam membayangkan praktik koreografi melalui film. Juga tidak bisa dipungkiri, tubuh dalam dance film adalah tubuh yang dimediasi melalui medium film, yang didalamnya tubuh bisa dimungkinkan bahkan ditransformasi melalui teknik-teknik film. Keberadan Imajitari Festival sebagai perhelatan dance film, merupakan usaha-usaha perluasan dari kemungkinan-kemungkinan koreografi kekiniaan dari perkembangan medium saat ini, diharapkan bisa memberikan kontribusi terhadap perkembangan dunia tari dan dunia film itu sendiri.