oleh Shohifur Ridho’i
I
Pameran Ini Muka, Siapa Punya? berangkat dari (1) praktik fotografi dan (2) pengarsipan foto di Nyoo Studio, satu studio foto tua yang berdiri sejak tahun 1940-an di Kecamatan Kalisat, Jember, Jawa Timur.
Salah satu praktik fotografi yang dilakukan hingga hari ini oleh Nyoo Studio, dan juga yang menjadi alasan mengapa ia masih bertahan sebagai studio foto adalah kenyataan bahwa masyarakat di Kalisat masih membutuhkan jasa studio foto untuk keperluan potret ‘pas foto’ (foto identitas) dalam rangka kebutuhan administrasi.
Bertolak dari ide tentang praktik (performativitas) dan arsip (material foto) ‘pas foto’ itulah proyek ini dikerjakan dengan cara melihat potensi ideologis yang terpapar di dalam pas foto, atau melihat pas foto sebagai aparatus ideologi negara. Karena ide ini memiliki relevansi tentang isu hubungan antara warga dengan kekuasaan/negara, maka, di level pembacaan, gagasan ini di bawa ‘ke luar’ dari Nyoo Studio dan dilepaskan dari konteks spesifik Kalisat/Jember untuk melihat potensinya membaca komunitas sosial politik yang lebih besar: ‘Indonesia’.
II
Pas foto/ foto identitas adalah wilayah di mana kekuasaan/negara dengan individu berhadapan. Sejarah fotografi identitas menunjukkan bahwa ada sejarah yang lebih besar, yaitu tentang bagaimana negara mengawasi dan mengontrol. Foto identitas menjadi ideomatik legetimasi di dalam negara/komunitas nasional atau bukti legal atas kewargaan.
Dalam konteks administrasi di negara modern, pas foto adalah wacana ‘kepentingan’ dan ‘kepemilikan’. Rekam wajah menjadi kekuatan formal seseorang dan menyangkut legetimasi kepemilikan. Pas foto menjadi syarat mutlak dalam kelengkapan administrasi seseorang. Karena ia adalah produk pemerintah, pas foto adalah cara bagaimana seseorang berada di wilayah radar ‘kekuasaan’, dengan kata lain, ia juga merupakan bentuk ‘pendisiplinan’ warga negara. Melalui pas foto, info personal dapat terarsipkan dan secara tidak langsung warga mengakui kehadiran kekuasaan tersebut.
Studio foto menjadi semacam ruang eksekusi di mana data visual kita diserahkan. Sementara juru foto selain memiliki kekuasaan dalam mengatur ‘objek’ yang dipotretnya, juga sebagai rezim aparatus wacana di mana praktik panoptik dijalankan melalui lensa dan studio. Dan pada momen itulah kita segera berada dalam sistem atau radar kekuasaan.
III
Tersebab proyek ini berangkat dari praktik yang berlangsung di Nyoo Studio, maka apa yang tadinya ‘dibawa ke luar’ dari studio yang berdiri di Kalisat tersebut, kemudian ‘dibawa masuk’ kembali ke Nyoo Studio melalui pintu lainnya, yaitu praktik pengarsipan foto dengan ‘metode’ Nyoo Studio.
Kira-kira sejak tahun 1930-an (angka tahun ini merujuk pada foto terlama yang berhasil diidentifikasi, yaitu tahun-tahun sebelum Nyoo Studio berdiri sebagai bisnis jasa fotografi profesional di Kalisat) sampai sekarang (dilanjutkan oleh genarasi kedua keluarga Njoo, yaitu Bambang Hermanto). Nyoo Studio masih menyimpan hampir semua arsip cetak foto, baik ketika mereka masih menggunakan kamera analog maupun ketika beralih menjadi kamera digital dengan sistem kategori foldering di komputernya sejak tahun 2006. Foto-foto cetak itu terkumpul dengan cara tak lazim: tanpa kategori, tanpa identifikasi, baik kategori bulan, tahun, maupun kategori peristiwa atau event. Foto-foto itu dikumpulkan/ditumpuk di dalam kardus secara manasuka di pojokan ruang, di lemari, di laci, di rumah saudaranya, dan di tempat-tempat lain. Sehingga apabila kita berjumpa dengan arsip-arsip itu (sebagian besar tidak lagi bisa diidentifikasi baik sosok dalam potret tersebut maupun bentuk identifikasi lainnya), kita seperti berada dalam semesta data visual tanpa informasi pendukung yang membuat kita mungkin tersesat di dalamnya.
Demikianlah Nyoo Studio bekerja sebagai museum-visual-yang-tak-hendak-menjadi-museum, museum-yang-berlangsung-tanpa-disengaja-menjadi-museum, museum-tanpa-kategori. Museum yang berisi wajah-wajah tanpa nama. Wajah-wajah anonim. Maka, dalam konteks pengarsipan Nyoo Studio, anonimitas adalah kekuatan. Anonimitas adalah pernyataan untuk menolak dikuasai.
IV
Pameran Ini Muka, Siapa Punya? ini akan berlangsung di situsnya langsung, yaitu di kios Nyoo Studio. Sementara pengunjung pameran ini adalah warga sekitar yang mungkin pernah dipotret di studio tersebut. Menempatkan pameran ini dalam konteks spasial yang spesifik adalah pilihan yang menantang karena para pengunjung tidak hanya melihat objek fotografi, tetapi juga mengajak mereka untuk melibatkan memori sembari menebak dan membayangkan tentang siapakah pemilik wajah-wajah tersebut. Artinya, arsip yang semula ‘tak terbaca’ itu diberi peluang untuk menjadi mungkin ‘dibaca’ oleh pemilik memori wajah-wajah itu: warga Kalisat dan sekitarnya yang pernah memakai jasa Nyoo Studio.
Catatan:
1) Judul Ini Muka, Siapa Punya? diambil dan sedikit dimodifikasi dari salah satu bait puisi Chairil Anwar yang berjudul “Aku Berkaca”. Teks asli dari bait puisi tersebut berbunyi Ini muka penuh luka/ Siapa punya?
2) Tim riset proyek ini adalah Shohifur Ridho’i, Kurnia Yaumil Fajar, dan Prasetya Yuda.
Shohifur Ridho’i (b. 1990) adalah seniman pertunjukan dan kurator berbasis di Yogyakarta. Mendirikan rokateater (2016), sebuah platform yang bertujuan menjadi situs pertemuan dan perlintasan dari para praktisi di berbagai bidang, dengan menggunakan ‘seni pertunjukan’ sebagai pendekatannya. Bersama rokateater, karya-karyanya dipresentasikan di panggung teater, tari, pameran fotografi, seni rupa, seni media baru, video art, dan lain-lain. Tahun 2020 menginisiasi Sandi/Wara, sebuah mini-publikasi tentang peristiwa dan pertunjukan. Proyek kuratorialnya adalah pameran Nemor: Southeast Monsoon di Cemeti Institute, Yogyakarta (2018) dan Gugus Bagong (Festival seni pertunjukan), di Padepokan Seni Bagong Kussudiardja, Yogyakarta (2020).