Betapapun orang sadar kebisingan telah mengganggu mereka, orang-orang yang menghuni ibukota seperti Jakarta dipaksa menjadi permisif dengan berbagai alasan. Deru mesin dan klakson kendaraan di jalan raya, berisik pekerjaan proyek bangunan, bising di lingkungan pekerjaan, mal, sudah terlanjur dianggap sebagai hal yang lumrah, sehingga memaksa kita untuk pasrah terhadap kondisi.
Para pakar dari berbagai bidang keahlian meliputi : kesehatan THT, psikologi, sosiologi, tata kota, lingkungan dan akustik, bersama sejumlah aktivis lingkungan yang peduli masalah ini berkumpul di Jakarta, Kamis (21/1), duduk bersama selama tiga hari mulai 21 hingga 23 Januari mendatang dalam rapat kerja “Mengatasi Polusi Kebisingan”.
Diinisiasi oleh Dewan Kesenian Jakarta bersama Akademi Jakarta, mereka akan berembug mengidentifikasi masalah seputar polusi kebisingan, mencari jalan keluar sekaligus merancang bentuk kampanye sosial yang efektif untuk menyadarkan publik mengenai bahaya polusi kebisingan itu. Bukan persoalan yang mudah di tengah minimnya kesadaran masyarakat terhadap masalah ini.
Tidak seperti polusi udara dan air yang relatif lebih masif dikampanyekan oleh banyak kalangan, polusi suara (kebisingan) justru cenderung belum dipermasalahkan oleh publik. Termasuk pada tataran elit menyusul belum adanya regulasi yang secara menyeluruh menyentuh masalah ini.
“Padahal dampaknya tidak kalah membahayakan dibandingkan polusi air dan udara”, ujar dr. Ronny Suwanto, SpTHT, Ketua Divisi THT Komunitas, Departemen THT FKUI / RSCM.
Ronny membeberkan, ketulian adalah dampak paling parah dari polusi kebisingan. Gangguan kesehatan lain misalnya, hipertensi, cara bekerja hati, sistem peradaran daerah, cortex otak sebagai jaringan penghubung berbagai fungsi ke seluruh sistem saraf. Atau dari sisi aspek psikologi, kata Ronny, seseorang yang terpapar parah polusi kebisingan akan lebih cepat mengalami stress hingga kesulitan berkonsentrasi. Kebisingan, kata Ronny telah memicu perilaku agresif seseorang sehingga menjadi pemarah dan kasar.
Max Plank Institut di Jerman sudah lama mendapatkan fakta bahwa orang-orang yang bekerja di tempat bising, lebih emosional dan lebih banyak memiliki masalah keluarga dibandingkan dengan mereka yang bekerja di tempat yang tenteram.
Bicara soal dampak, Slamet Abdul Sjukur, maestro komponis Indonesia memiliki cerita sendiri. Menurut dia, lantaran terlalu sering terpapar kebisingan, banyak rekannya sesama pemusik klasik, terutama pemain biola, mengalami gangguan pendengaran di usia yang relative masih muda.
“Bahkan dua penyanyi seriosa ada yang sampai mengalami tuli, karena terlalu sering bernanyi dengan nada-nada tinggi”, katanya lagi.
Merujuk pada sebuah penelitian, pemusik maupun pekerja musik merupakan orang-orang yang termasuk terkena dampak paling parah akibat kebisingan. Penelitian melaporkan, para pemusik aliran rock, atau heavy metal atau pop terbiasa mendengarj suara sebesar 120 – 130 dB (decibel), sementara pemain musik orchestra menerima suara sekitar 83 – 112 dB, sedangkan pemusik jazz, blues, country memperoleh suara sekitar 80 – 112 dB. Hasil penelitian pula, secara rata-rata, mereka terpapar bising sekitar 4 – 8 jam setiap harinya. Anda bisa bayangkan dampak yang terakumulasi pada mereka, karena untuk menjaga kesehatan pendengaran, seseorang hanya diperkenankan menerima bising sampai batas 100dB – tanpa alat pelindung pendengaran – untuk selama 15 menit saja.
Memang tidak berdampak langsung, para pekerja musik mungkin hanya sekedar mengalami gangguan pendengaran ringan terbatas pada frekuensi tinggi saja. Namun seiring berjalannya waktu, mereka akan mulai mengalami kesulitan memahami percakapan, terutama dengan latar belakang suara bising. Gangguan pendengaran nada tinggi bagi pemusik jelas sangat merugikan, karena jelas akan menurunkan kemampuan mereka dalam berkarya.
Selera Kebisingan
Kebisingan seperti juga hal-hal lain, apabila menyangkut selera, menjadi sangat pribadi dan relatif. Bising bagi seseorang, belum tentu bising bagi orang lain. Namun secara biologis, kemampuan pendengaran manusia mempunyai keterbatasan. Ambang pendengaran kita terhadap bunyi yang paling halus adalah 0 dB, bunyi nafas kita terletak pada sekitar10 dB, gemerisik dedauan dibelai angin sekitar 20 dB, percakapan antara dua orang tidak lebih dari 60 dB, keramaian lalu lintas 70 dB, kereta api yang masuk stasiun kekuatan bunyinya 100 dB, pesawat terbang tinggal landas 120 dB, letupan senapan dari jarak dekat 130 dB dan bisa membuat gendang telinga yang menangkap getaran pecah hingga mengeluarkan darah.
Maka sulit membayangkan betapa tertekannya saraf yang sehari-harinya dilanda pengeras suara dengan kekuatan 90 dB. Orang bisa terbiasa tentu, seperti kuli-kuli di stasiun, polisi lalu lintas dan sebagainya, tetapi tanpa disadari sistem sarafnya tertindas dan jiwanya menjadi kacau.
Kepedulian pada bunyi lingkungan sama mendesaknya dengan kesadaran mengenai perlunya menjaga keseimbangan ekologi. Ini masalah nasional yang harus melibatkan berbagai pakar di bidang akustik, biologi, syaraf, psikologi, agama, hukum dan lain-lain.
Dan yang terpenting, mulai saat ini, sayangilah telinga anda! (Dimas Fuady)