oleh Dinihari Suprapto
“Ini karya yang saya buat saat sedang alami psikotik dan paranoid,” kata Vindy Ariella sembari menunjukkan sebuah gambar di lembar jurnal seninya. Ada sepuluh gambar mata di sana, disertai garis-garis dan titik bergelombang di sekelilingnya. Dan, seluruh mata yang digambar tampak sedang menangis. “Waktu itu, saya merasa dimata-matai oleh orang sekitar. Sepertinya orang-orang di sekitar jahat, jadi aku ketakutan dan menangis,” ucapnya.
Vindy adalah seniman yang menjadikan gangguan mental sebagai motivasi dalam berkarya. Perempuan berusia 29 tahun ini adalah penyintas gangguan bipolar dan kepribadian ambang. Pertama kali mendapatkan diagnosa pada 2009 setelah ia mengalami episode mood depresi mayor yang cukup lama. Dan sejak kisaran 2010, Vindy terus intens menyalurkan katarsisnya melalui medium jurnal seni dan lukisan.
Mengutip salah satu kajian tentang jurnal seni visual atau jurnal bergambar yang dirilis Institut Teknologi Bandung (ITB) bahwa, “jurnal visual pada umumnya digunakan oleh orang dewasa untuk mengungkapkan ekspresi, menyimpan emosi, dan menyimpan ide. Dalam aplikasinya, jurnal visual digunakan oleh beberapa profesi seperti seniman, desainer, peneliti, insinyur, bahkan musisi. Mereka memanfaatkan jurnal visual sebagai wadah observasi, refleksi, eksplorasi, dan kreasi”.
Dan itulah yang dilakukan Vindy tatkala episode mood depresi menyerang. Dengan kata lain, katarsis Vindy melalui jurnal seni visual berlangsung saat ia sedang cemas, murung atau sedih berkepanjangan, kehilangan minat untuk beraktivitas, dan tak bergairah. Ya, ini merupakan sekelumit gejala depresi.
Seseorang yang mengalami gangguan bipolar merasakan perubahan suasana hati (mood) ekstrim di antara episode mania (senang sekali) dan depresi (sedih sekali). Pada satu periode waktu, Vindy bisa merasa sangat gembira tetapi pada tempo lain akan merasa sedih bahkan sampai mencoba bunuh diri. Dua kutub kondisi mental yang sangat bertolak belakang ini datang silih berganti dalam kurun waktu tertentu.
Mengutip ulasan Yayasan Bipolar Care Indonesia (BCI) diketahui, ada empat jenis episode mood di dalam gangguan bipolar, yaitu mania, hipomania, depresi, dan campuran. Suasana hati mania ditandai beberapa hal, misalnya gembira berlebihan, mudah tersinggung sehingga mudah marah, penuh ide dan semangat, cepat berpindah dari satu ide ke ide lain, impulsif, sangat aktif, sukar menahan diri dalam perilaku, serta merasa tidak butuh tidur. Sementara itu, di dalam episode mood depresi biasanya mengalami gejala sebaliknya atau seperti yang digambarkan dalam dua paragraf sebelumnya.
Depresi selama ini menjadi momen kala Vindy banyak menghasilkan karya, khususnya melalui medium jurnal seni. Gambar mata-mata pada kertas yang dia buat pada 2013 merupakan hasil katarsis yang merepresentasikan gejolak suasana hati seniman kelahiran Jakarta ini. “Karya-karyaku merupakan responsku untuk mengekspresikan gejolak internal diri,” ujarnya.
Berangkat dari apa yang dilakukan Vindy, penulis teringat kepada kajian bertajuk “Katarsis sebagai Representasi dalam Karya Seni Rupa”. Studi yang dipublikasikan Universitas Maarif Hasyim Latif ini mengemukakan, “kehidupan manusia bergerak dinamis dan pada titik tertentu akan menemukan keterbatasan”.
Manakala kita tidak bisa menyikapi keterbatasan yang ada secara kreatif, kondisi ini cenderung memunculkan rasa frustasi. Oleh karena itu, perasaan marah, gelisah, sedih, cemas, dan lain-lain selayaknya disalurkan agar tidak meledak, sehingga kita –termasuk para seniman yang notabene penyintas disabilitas mental– dapat lebih bijaksana dalam meregulasi emosi.
Di dalam kajian soal katarsis tersebut juga disampaikan, “penyaluran emosi tidak harus secara nyata dengan kata-kata. Penyaluran lainnya bisa dengan proses katarsis melalui karya seni. Pelepasan emosi terpendam berperan penting bagi orang dengan masalah emosional”.
Jurnal seni seperti yang dimiliki Vindy, terbilang salah satu medium katarsis yang kuat. Di dalam prosesnya ada keterlibatan aspek kejiwaan, ini berhubungan dengan hati (yang memiliki unsur-unsur psikologi), sehingga dapat membantu seorang (seniman penyintas disabilitas mental) mendapatkan ketenangan bahkan keseimbangan baru dalam proses regulasi emosi.
Dari karya jurnal seni, kita dapat mencerna pengaruh perkembangan kejiwaan Vindy terhadap preferensinya dalam berkarya. Hal ini mengingatan penulis kepada psikoanalisis. Teori ini pertama kali dikemukakan Sigmun Freud pada era 1980-an; pengalaman semasa kecil memberikan pengaruh yang cukup signifikan dalam perkembangan kepribadian manusia.*
Selepas era pemikiran Freud, psikoanalisis terus berkembang seperti yang dirumuskan Jacques Lacan. Sosok ini menjelaskan tentang psikologi kepribadian seseorang melalui tiga konsep, yaitu “Yang Nyata”, “Yang Imajiner”, dan “Yang Simbolik”. Sebagai contoh, di dalam perkembangan diri seorang bayi maka konsep “Yang Nyata” menjelaskan bahwa bayi akan mengalami banyak kebutuhan dan akan terpenuhi dengan adanya kedua orang tua. Lalu, dalam konsep “Yang Imajiner”, bayi mulai mengalami tahap cermin yakni tatkala dirinya merasa banyak permintaan yang tidak terpenuhi sehingga merasa terpisah dengan sang ibu, serta bayi mulai mengidentifikasi dirinya sendiri. Sementara itu, dalam konsep “Yang Simbolik” terletak pada tahap tatkala anak mengalami kastrasi dengan sang ibu yang menimbulkan hasrat pada diri bayi.*
Konsep psikoanalisis yang diusung Lacan selaras dengan apa yang hendak penulis sajikan dalam ulasan seni rupa ini. Bahwa, Vindy berupaya untuk mengekspresikan identitas di dalam dirinya melalui gambar-gambar di dalam jurnal seni. Dirinya dilingkupi dengan sejumlah citra (tampak dari gejolak episode mood yang dialami sejak kecil) yang kemudian menjadi katarsisnya ketika dewasa. Untuk menyampaikan hasrat katarsis itu, Vindy menggunakan bahasa visual, dalam hal ini contohnya adalah garis-garis bergelombang, lingkaran hitam, gambar mata, air mata, serta warna gelap atau hitam.
Bertolak dari Lacan, manusia kerap berada dalam kekurangan (lack), merasa ada yang hilang sehingga memunculkan sebuah hasrat (desire), dan usaha yang terus menerus untuk menutupi kekurangan tersebut, menemukan kembali apa yang hilang, membuat manusia kembali lengkap, sempurna, utuh, menemukan identitasnya, menjadi dirinya kembali.*
“Sering kali saya dihantui rasa cemas, depresi, tidak aman, dan perasaan negatif lain. Saya berusaha sadar saja, perasaan itu bagian dari diri saya yang mengalami masalah kejiwaan. Dengan menyadari, ternyata jadi bisa belajar pelan-pelan untuk kelola dan susun strategi; apa yang mesti dilakukan saat perasaan itu muncul. Caranya bisa macam-macam (seperti art journaling),” tutur Vindy.
Dalam sejumlah situasi, aktivitas berkesenian rupanya dapat menjadi wadah katarsis yang terapeutik bagi seniman PDM. Dan mengutip Tirto.id dalam infografik berjudul “Seni untuk Bipolar”, ternyata seni dapat menjadi alat simbolis bagi PDM untuk mengekspresikan perasaan dan pemikiran. Kegiatan ini dapat membantu mengeksplorasi perasaan, merekonsiliasi konflik emosional, meningkatkan kesadaran akan diri, mengelola perilaku dan ketergantungan, mengembangkan keterampilan sosial, mengurangi kecemasan, serta memompa penilaian diri.
Penulis menilai, kiprah seniman seperti Vindy (melalui sejumlah wadah kesenian: jurnal seni, pameran lukisan, komunitas kesehatan jiwa, dll) dapat memperluas ruang dialog bertemakan seni dan disabilitas di Indonesia. Sebagai catatan, berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) DKI Jakarta diketahui ada sekitar 6.003 jiwa penyandang disabilitas di ibu kota. Oleh karena itu, sepatutnya isu ini mendapatkan sorotan dari berbagai pihak.
Seni dan Disabilitas
Adapun, spesifik soal isu seni rupa dan disabilitas, sejauh ini terus hadir stigma yang memandang sebelah mata karya dari seniman PDM. Padahal, menurut penulis, di dalam apresiasi seni rasanya kurang arif jika kita harus mempermasalahkan label PDM dan non-PDM. Sikap semacam ini akan membawa kita tak kunjung jernih menyikapi stigma normal dan tidak normal. Toh, karya yang dihasilkan seniman PDM tetap memiliki gagasan kuat.
Penelitian British Council dan Universitas Brawijaya berjudul “Pemetaan Kesenian dan Disabilitas di Indonesia” memaparkan; tak hanya melalui praktik advokasi dan tuntutan pemenuhan hak penyandang disabilitas lewat jalur hukum dan perubahan kebijakan, beberapa organisasi penyandang disabilitas di DKI Jakarta juga terlibat dalam penyuaraan hak penyandang disabilitas melalui seni.
Vindy terlibat dalam upaya tersebut, salah satunya melalui Yayasan Bipolar Care Indonesia (BCI). Lebih spesifik, pada April 2018, BCI menginisiasi pameran seni rupa “Ekspresi Ragam Jiwa”, menampilkan karya para seniman dengan beragam latar belakang gangguan kejiwaan. Selain itu, BCI juga terus menggulirkan secara rutin sesi berkesenian “Keep Calm Make Art” yang coba mengelaborasi fungsi seni sebagai medium terapi pemulihan diri.
Alhasil, kerja bersama di ranah seni dan disabilitas, membuat isu ini semakin mendapatkan atensi khususnya dalam beberapa tahun terakhir, termasuk dari pelaku industri kreatif subsektor seni rupa itu sendiri. Hal ini kemudian mengarah kepada kemunculan gerakan seni dan disabilitas. Seni menjadi salah satu sarana berekspresi dan pembuktian kesetaraan diri bagi seniman PDM.
Apa yang ada saat ini merupakan perjalanan dan proses panjang, khususnya untuk sampai kepada tatanan apresiasi ideal terhadap karya seni yang dilahirkan teman-teman seniman PDM seperti Vindy Ariella dan banyak lagi di luar sana. Yang pasti, apresiasi layak mereka dapat.
Pada dasarnya, setiap penyintas disabilitas patut mendapatkan jaminan penuh atas hak-haknya sesuai Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas (Convention on the Rights of Person with Disability/CRPD) yang telah diratifikasi oleh Indonesia, serta merujuk kepada UU No. 8 tentang Penyandang Disabilitas. Dan di atas ini semua, sepatutnya kita menyadari bahwa PDM tak lain merupakan bagian dari keberagaman manusia.
*Sumber: Mekanisme Pembentukan Subjek pada Tokoh Jayanegara dalam Novel “Kerumunan Terakhir” Karya Okky Madasari (Kajian Psikoanalisis Jacques Lacan), Universitas Negeri Surabaya.