Apakah produk seni hasil perintah atau prompt artificial intelligence (AI) bisa disebut karya seni? Apakah AI dapat dianggap sebagai kreator atau hanya alat? Etis kah? Bagaimana dengan hak cipta karya-karya seni yang “diajarkan” ke AI untuk menciptakan ‘karya’ baru?
Pertanyaan-pertanyaan ini muncul ketika AI mulai mampu digunakan untuk membuat produk seni. Oleh karena itu, sejumlah seniman, pekerja kreatif, akademisi dan praktisi hukum berkumpul dalam panel diskusi bertajuk “Hak Cipta dan Filosofi AI” pada Jumat malam, 7 Maret 2025, di Taman Ismail Marzuki.
Mereka membahas soal potensi pelanggaran hak cipta, kolonialisasi data, risiko bias, dan risiko pelebaran kesenjangan sosial dari penggunaan teknologi kecerdasan buatan yang dikendalikan oleh modal-modal besar.
“Ada sisi-sisi yang tidak dipertimbangkan. Dan itu kenapa sebesar apa pun saya sebagai peneliti menyukai kecerdasan buatan, kita memang harus tetap skeptis dan bersikap kritis pada kecerdasan buatan. Jangan langsung jatuh pada kekaguman dan ketakjuban, bahwa mesin ini bisa melakukan apa pun yang kita bayangkan, padahal mesin-mesin ini masih penuh dengan bias,” kata penulis sekaligus dosen filsafat di Universitas Indonesia, Saras Dewi.
Menurut dia, berbagai laporan mengungkap produk-produk AI tersebut dibangun di atas pencurian data.

Penulis sekaligus dosen filsafat di Universitas Indonesia, Saras Dewi, saat berbicara di Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang digelar oleh Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta Poetry Slam, dan Kongsi 8, Jumat 7 Maret 2025 lalu di Taman Ismail Marzuki.
Namun, di tengah keresahan para seniman dan pekerja kreatif, seorang seniman di Bali mampu menggunakan AI sebagai alat untuk mengembangkan karyanya. Seniman itu adalah Jemana Murti. Dia melihat AI sebagai peluang dan memanfaatkannya untuk membuat karya.
“Jemana mampu menjadikan AI sebagai mitra,” ujar Saras dalam diskusi yang digelar Dewan kesenian Jakarta bersama Jakarta Poetry Slam dan Kongsi 8.
Hanya saja, lanjut dia, keresahan yang dirasakan seniman dan pekerja seni itu nyata. Keresahan, AI akan menggantikan manusia.

Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Riri Satria, saat jadi pembicara di Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang digelar oleh Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta Poetry Slam, dan Kongsi 8, Jumat 7 Maret 2025 lalu di Taman Ismail Marzuki.
Dosen Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia, Riri Satria, juga menyinggung soal keresahan ini. Dia mengatakan, AI bisa menggantikan manusia ketika kualitas berpikir manusia rendah. “Begitu juga sebaliknya.
Dia menyarankan para seniman dan pekerja kreatif untuk tetap berkarya dan mengikuti tuntutan zaman (relevant). “Selain itu, jika punya kegelisahan, suarakanlah. Nanti dia akan menemukan gaungnya sendiri,” kata Riri.
Beda Produk Seni AI dan Manusia
Sarah menambahkan, saat ini, produk seni AI belum bisa menyamai kompleksitas karya seni buatan manusia. Hasilnya, kata dia, sangat monoton karena tidak ada ‘rasa’ yang masuk ke dalamnya.
“Apalagi di sastra. Puisinya kering. Tapi ini sekarang ya. Meski sebenarnya tidak ada karya yang benar-benar individual. Karya saya terpantik oleh karya orang. Oleh karena itu, karya itu kecerdasan kolektif yang diramu. Tapi paling tidak, sekarang ini kita bisa tidur tenang,” tutur dia.
Riri juga mengingatkan tidak ada yang tahu batasan teknologi di masa datang, khususnya AI. Tidak ada yang bisa memprediksi seperti apa kompleksitas AI 10 tahun ke depan. Sebab, kompleksitas AI meniru kompleksitas otak manusia.

Pengacara Hak Cipta Dimaz Prayudha di Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang digelar oleh Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta Poetry Slam, dan Kongsi 8, Jumat 7 Maret 2025 lalu di Taman Ismail Marzuki.
Pengawasan Masih Sulit
Pengacara Hak Cipta Dimaz Prayudha membenarkan banyak ruang terjadinya pelanggaran hak cipta ketika seseorang menggunakan AI Generatif untuk menghasilkan karya seperti artikel, lagu, dan lukisan. Pasalnya, pengguna seringkali tak dapat mengontrol karya mana yang dipakai oleh mesin AI untuk menghasilkan karya baru.
“Bagaimana cara mengontrol ciptaan tersebut tidak melanggar hak cipta? Karena ada ribuan data di situ. Kalau lagu 8 bar. Kalau bukan lagu bagaimana? Lukisan? Enggak bisa. Susah,” ujar Dimaz.

Diskusi Hak Cipta dan Filosofi AI yang digelar oleh Dewan Kesenian Jakarta, Jakarta Poetry Slam, dan Kongsi 8, Jumat 7 Maret 2025 lalu di Taman Ismail Marzuki.
Namun, ketika seniman telah menolak karyanya digunakan untuk pengembangan AI, dia bisa menuntut pengguna (prompter) dan perusahaan AI, jika mesin AI terbukti mengambil karyanya.
“Yang bisa ditarik sebagai pihak yang digugat pertama adalah si pengguna mesin AI (pemberi instruksi atau prompt), dan yang kedua adalah perusahaan AI itu sendiri karena menciptakan mesin yang memungkinkan pengambilan karya ini terjadi,” kata Dimaz soal hak cipta dan AI.