Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta mengadakan diskusi publik pada Kamis, 2 Mei 2024 dengan tema “Mengusik Pendidik: Relevansi Profesi Guru Musik di Era Milenial”. Diskusi ini dilangsungkan di Teater Wahyu Sihombing, dengan tiga narasumber, yakni Steve Tabalujan, Iswargia Renardi Sudarno, dan Indra Aziz. Diskusi ini dimoderatori oleh anggota Komite Musik Nathania Karina.
Diskusi dengan tema ini diambil bertepatan dengan Hari Pendidikan Nasional. Ketiga narasumber berbagi pengalaman. Sebab, meskipun memiliki latar belakang yang berbeda, semuanya memiliki kesamaan, yakni sama-sama seorang pendidik.
Sebagai pengajar, menghantarkan ilmu merupakan tujuan utama dari kegiatan mendidik. Steve Tabalujan berbagi pengalamannya bagaimana dirinya merasa ada tanggung jawab moral dalam lingkungan permusikan gereja. Steve merupakan Direktur untuk True Worshipper sejak 1997. Saat melakukan pelayanan untuk gereja, timbul keinginan besar dari dirinya untuk meningkatkan kualitas penampil musik gereja. Menurut Steve, banyak teman-teman yang melayani di gereja tidak punya latar belakang pendidikan yang sesuai.
“Jadi kalau mereka selalu bilangnya tuh autodidak, enggak pernah belajar secara proper. Nah, itu yang akhirnya membuat saya bertanggung jawab untuk mengajar ke mereka, supaya mereka punya kesempatan dan pendidikan yang proper dalam mereka bermain piano.”
Hal ini juga dituangkan oleh Iswargia yang merupakan guru piano dan Direktur Jakarta Conservatory of Music. Menurut dia, sebenarnya kegiatan mengajar adalah kegiatan pertama yang ia jadikan mata pencaharian dan merupakan salah-satu kegiatan yang ia nikmati. “Kegiatan mencari uang pertama yang saya lakukan tuh adalah mengajar. Kayaknya kata kunci banget nih ya nanti ya, mencari uang dari mengajar. Tapi itu bukan merupakan suatu yang wah saya harus cari uang, enggak memang saya enjoy sekali sih mengajar. Saya juga tahu persis bahwa musik ini sebenarnya adalah seni komunikasi,” katanya.
Indra Aziz juga menceritakan dirinya sebagai pelatih vokal dan content creator sebenarnya juga punya keinginan untuk berbagi ilmu. Hal ini juga ia rasakan pada saat dirinya mulai menggeluti dunia musik secara lebih dalam ketika melanjutkan Strata 2 di Institut Musik Indonesia. Indra juga menggali kemampuannya dengan belajar di sekolah musik seperti Farabi dan berguru dengan Cut Deviana hingga akhirnya menjadi pelatih vokal yang diakui. “Ternyata hal-hal yang berasal dari pendidikan musik itu membantu banget di kehidupan nyata. Jadi saya merasa, aduh kok pengin banget ya sharing ini ke teman-teman yang lain, yang mungkin belum mendapatkan privilege untuk mendapatkan mentoring dari musikus yang lebih senior. Akhirnya saya mulai sharing-sharing di media sosial gitu,” katanya.
Iswargia juga menekankan bahwa sebenarnya keinginan untuk berbagi ilmu, mengajar serta mendidik merupakan salah satu hasrat yang dirasakan oleh setiap musikus. Ia menggambarkan bahwa musikus itu seperti manusia, yang tentunya mempunyai keinginan untuk mempunyai keturunan. “Mungkin kalau familiar dengan kehidupan perpianoan maksudnya, mungkin tahu dengan yang namanya Horowitz. Horowitz itu kan salah satu seniman atau atau pianis besar yang sangat ngetop. Tapi beliau masih ingin memiliki murid. Tarafnya sudah beda lagi untuk beliau karena mempunyai murid itu bukan hanya sekadar untuk mendapatkan nafkah, tapi justru untuk melepaskan kebutuhan untuk berbagi,” ujarnya.
Profesi guru musik pun ditanyakan relevansinya di era saat ini. Ekspektasi orang tua yang tidak berbanding lurus dengan yang diberikan oleh pendidik menjadikan perkembangan musik yang berada di luar kurikulum sekolah menjadi sulit untuk berkembang. Akhirnya pendidik musik merasa mempunyai kewajiban. Selain mengedukasi murid, mereka merasa harus mengedukasi orang tuanya.
Pendidikan musik di Indonesia mempunyai tantangan tersendiri, baik dari pendidik maupun masyarakatnya. Koh Steve (panggilan akrab Steve Tabalujan) merasa hal ini karena kultur penduduk Indonesia sendiri yang belum dapat mengapresiasi signifikansi musik sebagai ilmu dan jasa yang layak diapresiasi lebih. “Kalau buat saya pribadi gini, khususnya di Indonesia ini belum begitu banyak orang tuh yang bisa appreciate tentang music education. Kalau ngomong musik ya kalau mereka nanya, ‘Koh boleh tahu enggak how much is your fee? gitu’. Kan udah saya bilang 4 kali lesson segini dan berapa menitnya. Ini yang saya enggak pernah habis pikir sih ada satu statement yang berikutnya. Mereka nanya, ‘kita enggak ada harga pelayanan Koh, kan saya satu gereja dengan Pak Steve atau Koh Steve’,” katanya.
Menurut Steve, banyak anggota gereja yang meminta ‘harga pelayanan’. “Buat saya ini benar-benar mengusik banget,” akunya. Hal ini tentunya juga dirasakan para panelis Iswargia serta Indra ataupun Nathania.
Ketidakberimbangan edukasi musik dalam kurikulum sekolah atau pada saat ini juga menjadi salah satu hal yang mengusik para pendidik. Pandangan sekolah mengenai edukasi musik bervariasi dan belum ada mempunyai standar tertentu, sehingga pemerataan keilmuan mengenai musik berbeda. Hal itu pun tercermin pada variasi sekolah, dengan para panelis memberikan contoh seperti perbandingan sekolah swasta dan sekolah negeri, berikut juga dengan sekolah internasional. Pada akhirnya edukasi musik menjadi sebuah keistimewaan yang didapat berdasarkan level sekolah.
Tidak hanya tentang sekolah, ternyata edukasi mengenai apresiasi musik ini sendiri juga belum tertanam pada diri para musikus sendiri. Menurut Indra Aziz, hal ini karena kurangnya kesadaran mengenai cara para musikus tersebut mempresentasikan dirinya di dalam pasar industri musik.
“Aku tuh sekarang ke penyanyi-penyanyi aku latih gitu selalu meng-encourage mereka untuk melihat the bussines side of it. Aku bilang ke teman-teman juga, if you decide untuk mau menjadi full time di musik, please jangan terjun bebas tanpa at least belajar the basic untuk ngurusin bisnis, missal dari marketing-nya ada branding-nya dan lain sebagainya,” tuturnya.
Pernyataan itu menimbulkan pertanyaan tentang ada atau tidaknya standardisasi dari pemerintah untuk para penampil musik. Apalagi ketimpangan pembayaran antarkota merupakan salah satu masalah yang dihadapi oleh para musikus. Oleh sebab itu, perlu adanya satu pemahaman mengenai industri musik kepada masyarakat atau pemerintah agar ekosistem musik, baik di pendidikan maupun sebagai profesi tetap terjaga.
Sejak pukul 10:00 WIB hingga akhir diskusi ini, berbagai sudut pandang dari panelis, penonton daring dan penonton luring membuahkan perspektif-perspektif baru yang memberikan titik cerah atas kebingungan yang dirasakan baik oleh pendidik maupun dari musikus. Diskusi ini ditutup dengan foto bersama para penonton serta panelis dan moderator.
Penulis: Muhammad Ridho
Editor: Fadjriah Nurdiarsih