Toeti Heraty Noerhadi (27 November 1933 – 13 Juni 2021) pergi dan kita paham bila banyak orang dari luas sekali kalangan yang merasa kehilangan.
Beliau bergerak di banyak lapangan, memberi seakan tanpa berhitung, menyumbang pemikiran penting, menghasilkan karya yang memperkaya sastra Indonesia, terus bekerja untuk kesenian, dan menjadi sosok teladan untuk banyak hal.
“Ibu Toeti, kepadanya kami, pekerja seni generasi kini, berguru tentang pengabdian dan kemuliaan kerja seni budaya. Terima kasih atas segala pengetahuan, bimbingan dan inspirasinya Ibu yang kami hormati selalu,” ujar Farah Wardani, anggota Komite Seni Rupa DKJ 2020-2023, kurator, yang terakhir kali masih sempat mewawancarai Toeti untuk Jakarta Biennale 2021.
Dalam sejarah Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) nama beliau terpatri dan jejaknya tak terlupakan. Tahun 1968-1971, beliau menjadi anggota Dewan Kesenian Jakarta, lalu pada tahun 1982-1985 beliau menjadi ketua DKJ. Beliau juga anggota Akademi Jakarta, dan rektor Institut Kesenian Jakarta (DKJ) 1990-1996.
Kita harus menyebut banyak kata untuk menjelaskan siapa beliau: penyair dengan karya yang diterjemahkan ke dalam banyak bahasa asing, akademisi yang mengajar untuk psikologi dan filsafat hingga menjadi guru besar, feminis, juga maesenas di seni rupa dengan sebuah galeri yang mengoleksi banyak karya penting dari perupa utama kita. Tapi bagi banyak orang, beliau adalah Ibu.
Sebagai penyair beliau aktif mengikuti beberapa festival internasional, di antaranya Festival Penyair International di Rotterdam (1981) dan International Writing Program di Universitas Iowa, Iowa City (1984).
Perhelatan di Rotterdam itu menginspirasi beliau untuk ikut menyiapkan “Puisi 1981” di Erasmuis Huis di Jakarta, menyambut gagasan Roel Verstrijden, Direktur Erasmus Huis, pusat kebudayaan Belanda yang tahun itu baru dibuka dan terbilang megah. Beliau bekerja besama A. Teeuw.
Latar pemikirnnya: setelah sepuluh penyair Indonesia tampil di Belanda, terpikir untuk mengundang penyair Belanda datang ke Indonesia lalu bersama-sama membacakan puisi bersama penyair Indonesia.
Pekerjaan pertama mudah, yang kedua itu ternyata ribet minta ampun, dan mungkin hanya Toeti yang bisa menaklukkan ego para penyair besar kita itu dan tampil bersama dalam satu acara.
“Seserpih Pinang Sepucuk Sirih” (Pustaka Jaya, 1979) adalah bentuk keberpihakan beliau pada perempuan, dan dua bidang seni: sastra dan rupa. Inilah buku yang dengan penyuntingan dan kurasi beliau, dan diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh John M. McGlynn, terhimpunlah karya sembilan perupa dan sembilan penyair perempuan Indonesia dalam dua bahasa.
Pada 2006, hal yang sama beliau lakukan lagi lewat “Selendang Pelangi” (Indonesia Tera dan Galeri Cemara), antologi menghimpun tujuh belas penyair perempuan.
Sulit mencari pengganti beliau dengan kelengkapan dan kemampuan yang begitu luar biasa khususnya dalam wilayah kebudayaan dan kesenian Indonesia.
Oleh: Hasan Aspahani (Ketua Komite Sastra DKJ)
Foto Sampul: Eva Tobing