Melihat kebudayaan Betawi melalui sastra di Pekan Sastra Betawi. Sebuah ajakan dari Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta kepada masyarakat terutama generasi muda, untuk menyelami kesusastraan Betawi.

Pekan Sastra Betawi mencoba melihat kebudayaan Betawi melalui karya penulisan orang Betawi, menggunakan bahasa Betawi, dan menceritakan kehidupan orang Betawi. 

Pekan Sastra Betawi merupakan gelaran yang pertama kali digelar pada 2019. Pada 2025 ini, gelaran acara berisikan lokakarya penulisan, pertunjukan lenong Betawi, pembacaan sketsa Betawi, workshop konten Betawi, serta diskusi mengenai perkembangan sastra Betawi masa kini. 

Berlangsung selama empat hari, 25-28 Agustus di Taman Ismail Marzuki, acara ini guna menelisik lebih dalam Jakarta sebagai kota global dan berbudaya, serta sastra Betawi yang berkembang di masa kini. Gelaran acara ini merupakan kerja sama Festival Komunitas Komisi Simpul Seni dengan Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta. 

Dimulai dari Lokakarya Pelatihan bersama Ratih Kumala pada 25 Agustus 2025. Pada pelatihan ini, sejumlah pendaftar yang terpilih mengikuti pelatihan menulis kreatif bersama penulis Gadis Kretek itu. 

Rangkaian acara dilanjut pada keesokan harinya, dengan Pertunjukan Lenong Betawi & Pembacaan Sketsa Betawi

Sementara, diskusi bertajuk Sastra Betawi Masa Kini dari Naskah hingga Teater, berlangsung pada Rabu 27 Agustus 2025 dengan menghadirkan Dr Gres Grasia Amin selaku dosen program studi Sastra Indonesia Universitas Negeri Jakarta, JJ Rizal sebagai sejarawan dan pendiri Komunitas Bambu, serta Idrus Sahab seorang penulis, pengamat Betawi, musik, sastra dan filsafat. Diskusi yang dipandu oleh Rosyida Erowati Irsyad, seorang pengajar kajian sastra di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, mengulik bagaimana kita menempatkan identitas Betawi ditengah urbanisasi yang terjadi di Jakarta. 

Dr Gres Grasia Amin membuka diskusi dengan mengajak audiens menjelajah kampung Pertukangan di Jakarta Selatan yang dikenal dengan pusat pelestarian silat beksi. Kampung Pertukangan bagi Dr Gres sebagai “All in Betawi”, tempat berkumpulnya sastra lisan, tulis, hingga modern, bahkan pernah berlangsung kegiatan pelatihan menulis puisi Betawi di kampung ini. 

“Kurangnya media online yang menyiarkan kampung ini, tetapi anak-anak kampung silat belajar membuat berita untuk memperkenalkan,” cerita Dr Gres akan inisiatif anak muda dalam menyiarkan budaya yang ada di Kampung Pertukangan. 

Dr Gres juga menyinggung akan penempatan sastra Betawi dalam dunia pendidikan. Nyatanya, sastra Betawi dalam tingkat universitas belum terdapat program studi yang mempelajari hal ini, pembelajarannya selalu disematkan dalam pelajaran sastra atau bahasa Indonesia. 

JJ Rizal, di lain soal, secara runtut menjelaskan pengaruh melayu dalam sastra Indonesia, konsepsi yang dipengaruhi sejak berkembangnya sastra modern pada tahun 1920-an hingga kini. JJ Rizal mencoba mengulas pengelompokkan yang kerap terjadi antara sastra Betawi dengan sastra Indonesia, bahwasanya, kita tidak bisa terjebak dalam suatu klasifikasi dan tidak mengabaikan kehadiran bahasa lain seperti Melayu-Tionghoa selain bahasa Indonesia. 

Kehadiran kata goceng, seceng, gopek, gue, elo serta dong, perlu ditelisik kembali dalam kamus bahasa Betawi sebagai bentuk perkembangan bahasa yang kemudian dipakai sehari-hari di Jakarta dalam berkomunikasi. JJ Rizal menyebut bahasa Melayu sebagai lingua franca yang mendasari bahasa Indonesia. 

“Saya melihat banyak sekali jebakan dari masa lalu yang menyekap pikiran kita,  sehingga kita masih bertanya ini sastra Indonesia atau sastra Betawi? Bagaimana nasib sastra Betawi, teater Betawi di dalam sastra Indonesia?” ujar JJ Rizal sebagai refleksi akan identitas Betawi masa kini. 

Pemantik yang diberikan oleh JJ Rizal diteruskan kembali oleh Idrus Sahab dengan memperkenalkan sastra Betawi yang hadir mencairkan suasana hiruk pikuk perkembangan sastra Indonesia yang dipengaruhi oleh politik. The art of storytelling menjadi narasi yang diberikan Idrus dalam membuka diskusi dengan menceritakan kehidupan dua saudara Ali dan Alwi Sahab–Ali yang merupakan seorang sutradara sinetron Rumah Masa Depan dan Alwi yang adalah wartawan. Kisah ini memperlihatkan bagaimana sastra Betawi dapat membantu mereka menemukan jati diri sehingga dapat menulis sejarah dengan sebuah cerita. 

Betawi yang bagi Idrus sebagai melting pot dari berbagai bangsa dan suku di nusantara, menjadikannya sebagai tanah yang terbuka dan menerima siapa saja yang ingin tinggal disana. Idrus menyebutkan karya anak Betawi, si Doel dan sastrawan betawi, Chairil Gibran Ramadhan–menceritakan bagaimana karya-karya dari CGR menghidupkan jiwa toleransi yang ada di masyarakat Betawi. 

“Sastra Betawi tidak pernah jatuh seperti sastra malin kundang, tidak menegasi tetapi terbuka”, tutur Idrus dalam memperkenalkan karya anak Betawi. 

Diskusi Sastra Betawi Masa Kini dari Naskah hingga Teater memberikan suatu lanskap bahwa Betawi merupakan ruang terbuka bagi siapa saja bahkan untuk tradisi lisan dan tulis hadir mewarnainya. Tantangan Jakarta sebagai kota metropolitan membuat budaya Betawi semakin melebur dan tercampur layaknya “gado-gado”. Pekan Sastra Betawi 2025 melalui diskusi ini, berusaha mendekatkan sastra Betawi pada masyarakat sekaligus menempatkannya secara adil dalam pendidikan dan sejarah sastra modern yang berkembang di Indonesia. 

Rangkaian acara Pekan Sastra Betawi ditutup dengan Workshop Bikin Konten Betawi Lebih Nyastra bersama sejumlah narasumber pada 28 Agustus 2025.