“Tidak ada daya muslihat pada alam. Alam adalah angan-angan terhadap yang nirmala, segala yang murni dan baik. Alam tidak saja bumi yang dipijak, tempat bernaung, tetapi juga ruang menyejarah bagi manusia. Alam menuangkan saripatinya menyangga kehidupan, tidak terkecuali, manusia juga tergantung terhadapnya.”
Paragraf di atas adalah penggalan dari Pidato Kebudayaan DKJ yang akan disampaikan oleh Saras Dewi. Dalam pidatonya, Saras Dewi menawarkan jawaban dari semua persoalan yang ada dalam kebudayaan kita, baik di masa kini, masa depan, dan juga di masa lalu.
Buah pikiran Saras Dewi akan dipaparkan dalam Pidato Kebudayaan yang mengusung tema sembaHYANG Bhuvana. Pidato Kebudayaan yang menargetkan dihadiri oleh seribu orang, dari undangan dan masyarakat umum diselenggarakan pada Sabtu, 10 November 2018 pukul 19.30 WIB di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki.
Program Pidato Kebudayaan akan dibuka dengan pertunjukan tari dari para Koreografer Jakarta Dance Meet Up (Densial Prismayanti Lebang, Ferry Alberto Lesan, Irfan Setiawan, Josh Marcy Putra Pattiwael, dan Siti Alisa Anjeliro Fariza). Mereka akan menampilkan pertunjukan tari berjudul Membatalkan Status Diam Dari Duduk. Pertunjukan ini menggunakan 50 kursi sebagai metafor 50 tahun usia Pusat Kesenian Taman Ismail Marzuki dan Dewan Kesenian Jakarta.
“Dewan Kesenian Jakarta terlahir dengan berbagai tujuan, salah satunya adalah cita-cita untuk selalu mengawal kualitas kehidupan dan peradaban masyarakat Jakarta (dan Indonesia), dengan menampilkan berbagai program kesenian/kebudayaan dengan dimensi lokal—global. Program ‘Pidato Kebudayaan’, yang kemudian dimaknai sebagai ‘Suara Jernih Dari Cikini’, merupakan produk unggulan DKJ yang mengetengahkan berbagai persoalan kehidupan dengan harapan tidak saja mencerahkan, tetapi juga tawaran akan ‘jalan keluar’ bersama untuk membangun kehidupan yang lebih baik.”, Ujar Irawan Karseno, Ketua Dewan Kesenian Jakarta.
Mengenai Pidato Kebudayaan – Suara Jernih Dari Cikini
Pidato Kebudayaan merupakan tradisi tahunan yang diselenggarakan sejak 1989 sebagai bagian perayaan ulang tahun Taman Ismail Marzuki (TIM) ini setiap tahun mengundang tokoh nasional untuk mengupas persoalan penting dan aktual. Para pembicara berusaha menjawab tantangan yang tengah melanda bangsa Indonesia dengan pemikiran-pemikiran jernih dari perspektif kebudayaan. Selama lebih dari dua dekade, Pidato Kebudayaan DKJ senantiasa melantunkan suara-suara jernih dari Cikini. Pemikiran–pemikiran yang selama ini melintas di ruang-ruang penyelenggaraan Pidato Kebudayaan DKJ sangat bernilai untuk direnungkan, dan harus banyak kaki–disebarluaskan kepada siapa pun yang masih mencintai negeri ini–agar memberi kemanfaatan bagi kemajuan kehidupan dan peradaban kita.