Kali kelima Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) menggelar Proyek Seni Perempuan Perupa 2019 pada 15-29 Oktober di Galeri Cipta II, Taman Ismail Marzuki, Jakarta. Proyek Seni Perempuan Perupa 2019 akan dibuka oleh Prof. Melanie Budianta dan penampilan musik oleh Monica Hapsari pada 15 Oktober 2019 di Galeri Cipta II
Dikuratori oleh Saras Dewi, Proyek Seni Perempuan Perupa 2019 kali ini mengusung tema Ekofeminisme dengan judul “Siklus Buana”. Ekofeminisme secara etimologis merupakan gabungan dari dua padanan kata ‘ekologi’ dan ‘feminisme’, yang sebenarnya masing-masing dari kedua kata tersebut memayungi beberapa ide di dalamnya dan juga konsep yang sama besarnya. Penolakan pada seksisme, rasialisme, sekaligus membahas Ekologi Dalam, perubahan iklim, beserta isu perempuan dan lingkungan lainnya.
Ekofeminisme bukan hanya sekadar penggabungan atas dua kata saja, melainkan dapat timbul berkat adanya kesamaan nasib akan penindasan yang dirasakan. Ekologi dan Feminisme seakan-akan dua entitas yang mengalami ketidakadilan yang serupa dan didasari oleh alasan sosio-ekonomi dalam sistem masyarakat yang patriarkis, yang secara sistemik juga mendominasi mereka.
Lima perupa perempuan: Citra Sasmita, Dea Widya, Dewi Candraningrum, Prilla Tania, dan Tita Salina diundang untuk mengungkapkan relasi antara ekologi dan feminisme dengan praktik dan perspektif mereka tersendiri.
Citra Sasmita dengan karyanya “Timur Merah Project II, The Harbour of Restless Spirits” menunjukkan tata relasi manusia yang saat ini mengedepankan hierarki, otoritas dan diskriminasi. Tubuh perempuan yang juga adalah tubuh alam mengalami ganasnya budaya patriarki.
Dengan latar belakang arsitekturnya, Dea Widya menampilkan “Naked Home” yang mengkritisi ruang perempuan yang semakin terhimpit. Dea menyusun kembali rumah-rumah terbengkalai, bercakap-cakap dengan roh yang bersemayam, dan mendengarkan keluh kesah mereka. “Mereka” bercerita ruang perempuan yang terpojok, sempit, dan disembunyikan. Roh perempuan dan roh bumi adalah roh-roh yang senyap dan tenggelam di tengah modernisme.
Dewi Candraningrum memamerkan karya lukisan yang diberinya judul seri “Naga Kendeng” dan “Lesung Kendeng” yang mengingatkan kita betapa lekatnya alam dengan manusia. Lukisan-lukisan Dewi merupakan suatu kesaksian bahwa kehidupan yang mulia, sejatinya adalah kesederhanaan dan keberanian para petani dan para penjaga gunung Kendeng yang merupakan penyambung suara gunung Kendeng yang selama ini tercekik tambang semen.
Sementara itu Prilla Tania memantik angan-angan para penikmat seni dengan gambar orang-orang yang yang merupakan dambaan keselarasan manusia dengan alam. Goresan ini seperti harapan manusia tulus, melukis di dinding-dinding gua disertai kekaguman terhadap alam. Langit yang megah, hutan yang rimbun, flora-fauna yang berwarna-warni dalam “Ibu termenung Bapak merenung Anak menanggung Tak usah sangsi Nurani beraksi Alam bersaksi”.
Proyek Seni Perempuan Perupa 2019 dilengkapi Tita Salina dengan keresahannya saat hutan di kampung halamannya terbakar. Karyanya “Anthropocentric Annual Ritual” merupakan instrumen untuk menggali lebih dari sekadar empati. Trauma, kesedihan, dan amarah coba disampaikan dalam karyanya. Bagaimana asap telah membunuh kehidupan, api telah menghabiskan mahkluk-mahkluk keramat penunggu hutan. Tidak berhenti di situ, karya Tita Salina dalam Proyek Seni Perempuan Perupa 2019 merupakan bentuk protes dan solidaritas kepada ibu pertiwi yang sedang lara.
Perhelatan Proyek Seni Perempuan Perupa mengambil peran sebagai lensa feminis yang unik tentang hubungan antara gender dan masalah lingkungan serta melalui karya-karya ini dapat memicu orang-orang untuk berbuat sesuatu, khususnya kepada nasib dan keberlangsungan alam.
Apa itu Seni? Apa itu Ekofeminisme? Bagaimana Seni dan Ekofeminisme dapat menjadi tumpuan harapan dan memicu banyak orang berbuat sesuatu atas nasib dan keberlangsungan alam? Mari hadir dan diskusikan bersama.
Leave A Comment