Komite Seni Rupa berkolaborasi dengan Komisi Arsip dan Koleksi DKJ 2024 mengadakan Pameran Arsip dan Koleksi serta diskusi: “Setelah Desember Hitam: Perspektif Baru Gerakan Seni Rupa Indonesia.” Pameran dan diskusi ini diadakan pada Kamis, 27 Juni 2024 membahas gejala-gejala seni rupa yang muncul pada periode 1970-an dan menghadirkan perspektif baru dalam memandang seni rupa kontemporer Indonesia. Diskusi dalam pameran ini diisi oleh Bambang Bujono dan Bob Erdian dan dimoderatori Gesyada Siregar , yang membahas pengaruh gejala seni rupa periode 1970-an terhadap konteks seni rupa hari ini.

Bambang Bujono menjadi narasumber pertama yang membuka diskusi ini sebagai salah satu pengulas kejadian ini. Dalam ulasannya mengenai kejadian tersebut, Bambang Budjono melihat peristiwa itu pada saat dirinya menjadi wartawan yang meliput kegiatan itu, “Menurut saya, antara Desember Hitam dan Gerakan Seni Rupa Baru itu agak susah dipisahkan, melekat. Tanpa Gerakan Seni Rupa Baru, Desember Hitam ini akan lenyap, akan menguap dilupakan orang. Tanpa Desember Hitam takkan ada Gerakan Seni Rupa Baru.” Tukas Bambang Bujono.

Periode 1970-an merupakan era penting dalam perkembangan seni rupa Indonesia. Pada masa ini, Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) aktif mengadakan berbagai pameran seni rupa, baik secara perorangan, kelompok, maupun berdasarkan kecenderungan artistik. Salah satu peristiwa penting adalah Pameran Besar Seni Lukis Indonesia yang diselenggarakan pada 18-31 Desember 1974 oleh Komite Seni Rupa DKJ, yang kemudian berevolusi menjadi Jakarta Biennale.

Dalam makalah “Lee? Levi? Amco? Texwood?” yang disampaikan pada Diskusi Seni Lukis Indonesia (21 Desember 1974), D.A. Peransi menyoroti bahwa pameran tersebut menarik namun tidak bebas dari masalah, memicu perdebatan di kalangan seniman muda yang memunculkan “Pernyataan Desember Hitam.” Pernyataan ini adalah bentuk protes terhadap penjurian dan penghargaan karya dalam pameran tersebut, yang dianggap mendiskreditkan karya seniman muda. Para seniman mengirimkan karangan bunga putih dan pita hitam bertuliskan “Ikut Berduka Cita Atas Kematian Seni Lukis Kita.”

Seniman muda seperti Muryotohartoyo, FX Harsono, dan Abdul Hadi WM yang menandatangani Pernyataan Desember Hitam mengkritik pandangan juri yang menganggap karya mereka sebagai usaha “coba-coba” dan kurang kreatif. Mereka juga menilai bahwa kegiatan seni budaya saat itu dilakukan tanpa strategi budaya yang jelas, mengakibatkan erosi spiritual dan stagnasi perkembangan seni budaya.

Desember Hitam menjadi titik tolak Gerakan Seni Rupa Baru (GSRB) yang muncul pada tahun 1975. GSRB menolak bentuk seni rupa lama yang personal dan liris, dan mempromosikan seni rupa yang mengangkat masalah sosial aktual. Mereka mendorong penghapusan batas antara seni lukis, grafis, patung, dan cabang seni lainnya, serta menciptakan bentuk-bentuk baru yang lebih inklusif dan beragam.

GSRB juga berupaya membangun seni rupa Indonesia dengan historiografinya sendiri, yang tidak terpisah dari sejarah seni rupa dunia. Mereka mendambakan seni rupa yang lebih hidup, berguna, dan meluas di kalangan masyarakat, serta didasari oleh pengetahuan dan teori orang Indonesia sendiri.

Pada bulan Agustus 1975, GSRB mengadakan pameran pertama di Ruang Pameran Taman Ismail Marzuki, menekankan prinsip-prinsip seperti menolak establishment seni rupa lama, keluar dari pengkotakan seni, dan menggunakan bahasa yang lebih inklusif dan konkrit.

Sanento Yuliman dalam catatan pameran GSRB I berjudul “Perspektif Baru” menekankan bahwa tiap generasi seniman berhak menemukan dan menegakkan asas seni mereka sendiri.

Bob Erdian memaparkan bahwa “Lima jurus Gerakan Seni Rupa Baru Indonesia ini sebenarnya merupakan kunci yang mengawali kaitan dengan apa yang diawal disampaikan mengenai Desember Hitam. Ada persoalan mengapa seni rupa harus dibebaskan atau dikotak-kotakkan”

Serangkaian peristiwa seni rupa pada 1970-an ini mengantarkan seni rupa Indonesia pada perkembangan yang berbeda. Gejolak dan debat pada masa itu mendorong seniman untuk terus mencari nilai-nilai baru dalam seni rupa, menjadikannya lebih dari sekadar “baru” atau “coba-coba.”

Diskusi ini berlangsung sejak pukul 14:00-16:00 WIB beserta pameran yang dibuka sejak pukul 10:00-18:00 WIB di Gedung Trisno Soemardjo, acara ini ditutup seiring dengan ditutupnya Pameran Arsip dan Koleksi “Setelah Desember Hitam: Perspektif Baru Gerakan Seni Rupa Indonesia.”

Penulis: Muhammad Ridho

Editor: Fadjriah Nurdiarsih