Jakarta, 10 November 2017 – Di zaman yang berkelebat ini, manusia sedang terengah-engah mencari makna. Di saat yang bersamaan, internet datang dengan perkasa menjanjikan kebebasan paripurna, tapi turut bersamanya monster algoritma yang menjelajah pilihan bebas manusia. Peradaban manusia sedang berada pada lampu kuning. “Kuning” berarti situasi atau masa transisi. Setelahnya, keadaan bisa membaik menjadi lampu hijau, atau malah memburuk menjadi lampu merah.
Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) coba menanggapi situasi tersebut dengan kembali menyelenggarakan tradisi tahunan yang juga salah satu program unggulan, Suara Jernih dari Cikini, yang dikemas dalam bentuk pidato kebudayaan. Suara Jernih dari Cikini dihadirkan untuk memberi tawaran pemikiran-pemikiran kritis terkait persoalan-persoalan kesenian, kebudayaan, dan peradaban. Suara jernih merepresentasikan pemikiran-pemikiran otonom yang terbebas dari model budaya komando yang represif mengecilkan perbedaan. Sungguh menjadi keistimewaan ketika suara-suara jernih ini menggaung dari satu ruang dialektika yang satu ke ruang dialektika lainnya; ditinjau dan dikritisi, mengusik-ngusik kesadaran moral dan kognitif, alhasil mampu bertindak bijak dalam mengusung perbedaan.
Dewan Kesenian Jakarta dalam kesempatan kali ini memilih Roby Muhamad, seorang fisikawan, statistikawan, sosiolog, dan entrepreneur (untuk menyebutkan beberapa) yang lahir dari “kebosanan” untuk melaporkan pandangan matanya –yang telaten mencatat eksplorasi di bidang sains, psikologi, biologi, dan sosial selama 25 tahun terakhir.
Manusia, katanya, perlu keluar dari kantong-kantong arogansinya untuk menyelamatkan peradaban. Bukan hanya nusantara, tapi juga dunia. Kantong “spesialisasi” yang tertutup ini telah mengantar peradaban manusia pada lampu kuning tanda bahaya.
Pemaparan Roby diurai dalam beberapa segmen yang dikatakannya sebagai pernak-pernik dari simfoni realitas. Keseluruhan segmen ini dibungkus dalam satu tajuk Nostalgia Tentang Masa Depan Manusia, mengajak kita menengok perilaku dan budaya sembari mengalahkan “gaya gravitasi” diri kita sendiri untuk meraih kebebasan. Juga bagaimana strategi “sederhana” dalam mengelola ambiguitas dan keragaman yang mungkin bisa jadi kunci untuk menyelamatkan manusia dari petaka.
Tradisi tahunan yang bertepatan dengan perayaan ulang tahun Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki diadakan pada Jumat, 10 November 2017 mulai pukul 19.30 WIB di Teater Jakarta, Taman Ismail Marzuki.
Suara Jernih dari Cikini akan dilengkapi pula dengan suguhan musik oleh A Fine Tuning Creation (AFTC) yang merupakan proyek tunggal dari Aryo Adhianto, seorang keyboard adventurist dari Jakarta. Dalam kurun waktu 20 tahun, AFTC menghadirkan akar musik keyboard dalam berbagai bentuk termasuk jazz, pop, klasik, eksperimental, tari, musik, teater, dan banyak lagi.
Suguhan musik lainnya juga akan disuguhkan oleh Bina Vokalia Pranadjaja. Didirikan oleh Pranowo Djojodinito atau Pranadjaja atas dukungan Gubernur Jakarta Ali Sadikin pada tahun 1971, hingga saat ini Bina Vokalia telah memiliki lebih dari 20 cabang, beberapa di antaranya di Jakarta, dengan lebih dari 10.000 murid.
Untuk mengulang kesuksesan program yang telah diselenggarakan selama lebih dari dua dekade ini, Dewan Kesenian Jakarta tentu saja masih memiliki harapan bahwa Suara Jernih dari Cikini tetap bernilai untuk direnungkan, dan harus diberi banyak kaki—disebarluaskan kepada siapa pun yang masih mencintai negeri ini—agar memberi kemanfataan bagi kemajuan kehidupan dan peradaban kita.