Oleh Afrizal Malna
Mau tidak mau, kesenian menurut saya tetap membutuhkan posisi politik dalam masyarakat. Yang saya maksud dengan posisi politik ini, adalah sebuah strategi pembacaan yang menempatkan kesenian sebagai bagian dari pembentukan kultur pembacaan dari masyarakat yang membaca. Melalui anggapan ini juga saya menggunakannya sebagai sandaran dalam pembicaraan tentang Teater Putu Wijaya ini.
Pembicaraan ini ingin saya sebut sebagai eksplorasi pembacaan antara teater Putu Wijaya dengan bagaimana sejarah dikonstruksi: Imajinasi sejarah yang berkembang dari distraksi politik terhadap fakta, dan memformat sejarah sebagai fiksi. Dalam format ini bahasa Indonesia digunakan sebagai teater dalam mengkonstruksi sejarah.
Eksplorasi ini untuk saya merupakan akibat-akibat pembacaan yang memungkinkan saya membuat instalasi antara teater Putu Wijaya dengan imajinasi sejarah itu. Saya harus melalui beberapa halte untuk masuk ke dalam eksplorasi pembacaan ini. Bagaimana Putu Wijaya membangun bahasa teaternya, merupakan halte utama yang harus saya lalui sebelumnya.
Stasiun Keluarga Bahasa
PENTAS DIBAGI DALAM BEBERAPA BAGIAN. DAERAH PENTAS UTAMA. PENTAS DEPAN DI KANAN. PENTAS DEPAN DI KIRI. PENTAS DEPAN DI DEPAN PENTAS UTAMA YANG LETAKNYA LEBIH RENDAH DENGAN SEBUAH LUBANG BESAR DI SAMPINGNYA.
LAMPU TERPUSAT KE TITIK-TITIK PEMAIN. MENYALA/PADAM DENGAN CEPAT TANPA MEMPEDULIKAN KEWAJARAN, SESUAI DENGAN CERITA YANG MELOMPAT DARI KE JADIAN KE JADIAN.
DI LATAR BELAKANG ADA LAYAR PUTIH RAKSASA. UJUNGNYA TERJURAI DI LANTAI. UJUNG LAYAR INI BILA DITARIK KE DEPAN BISA MENUTUP LUBANG SAMPAI KE PANGGUNG RENDAH DI DEPAN PANGGUNG UTAMA. LAYAR DALAM PERTUNJUKAN DIKIBAS-KIBASKAN SESUAI DENGAN EMOSI ADEGAN UNTUK MEMBERIKAN AKSENTUASI VISUAL.
PERTUNJUKAN DIMULAI DENGAN MEMPROYEKSIKAN KE LAYAR FILM DENGAN GAMBAR CU GURU YANG MENGUCAPKAN MONOLOG SEPERTI YANG KEMUDIAN DIULANG DI AKHIR LAKON INI.
GURU: (CLOSE UP ATAU SILHUET PROFIL WAJAH) Berpuluh-puluh tahun aku berkoar-koar tentang budi-pekerti yang telah dikesampingkan, tetapi tidak seorang pun yang menggubris. Semua orang melihat pengorbanan dan pengabdian sebagai kebodohan, karena pergaulan, tuntutan kehidupan, bahkan pembelajaran dari penguasa, semuanya memacu semangat bersaing untuk merebut yang terbaik, menjadi orang yang nomor satu, tanpa peduli lagi kepada nasib orang lain. Tata-krama, kasih-sayang apalagi gotongroyong dianggap pemborosan, apalagi pengabdian kepada tanah air, negara dan bangsa sudah dirasakan memuakkan.
Kutipan di atas merupakan bagian awal naskah Putu Wijaya, Zetan, yang ditulis tahun 2006. Ruang pertunjukan disiasati melalui kategorisasi jarak penglihatan dalam bentuk pembagian blok-blok pemanggungan. Lalu layar putih yang bisa dimainkan entah untuk membuat vibrasi ruang maupun untuk dimensi emosi pertunjukan yang dibutuhkan. Teks diletakkan dalam strategi ruang seperti ini. Aktor kemudian berfungsi sebagai vokalisasi teks dan menjalin seluruh elemen pertunjukan menjadi teks tontonan.
Penyutradaraan sejak awal telah dilakukan sedemikian rupa terhadap teks ketika teks masih dalam status “teks-yang-ditulis” dan belum menjadi “teks-yang-dipentaskan”. Teater sudah berlangsung di tingkat naskah. Kutipan naskah itu sudah menjelaskan strategi teks dan strategi pertunjukan dunia teater yang umum dilakukan Putu Wijaya. Setting sebagai senirupa pembagian bloking untuk mendistribusi peran dan peristiwa, memperlihatkan desain teater yang berpusat pada dirinya sendiri. Konteks dan teks menjadi sebuah keluarga baru di atas panggung: Keluarga bahasa dimana politik linguistik ada pada dirinya sendiri. Konteks tidak diposisikan sebagai representasi dari realitas pertama agar teks bisa bergerak bebas seperti halnya dengan aktor dan elemen-elemen pertunjukan lainnya. Pertunjukan menjadi satu-satunya realitas di atas panggung. Tidak terpecah-pecah lagi. Tidak terbagi-terbagi lagi. “Total” dalam istilah Putu sendiri. Pertunjukan berada dalam satu stasiun. Pemencar atau frekuensi lain ditutup sedemikian rupa untuk tidak bocor ke dalam pentas. Pembagian bloking tidak semata-mata berfungsi sebagai strategi visual untuk distribusi peran dan peristiwa, tetapi juga untuk membuat utuh stasiun itu.
Model keluarga bahasa dalam teater Putu Wijaya seperti ini, membuat teks bisa nyelonong begitu saja, datang secara mendadak, seperti sebuah pukulan yang tidak terduga. Tidak ada tanda-tanda lain yang mengantar pukulan itu. Biasanya pukulan itu datang melalui sebuah proses yang bisa dilihat pada konstruksi konteks yang melatarinya. Dalam dunia teater Putu wijaya kelajiman seperti ini tidak ada. Bahasa di sini lebih diperlakukan sebagai gerak daripada sebagai system komunikasi. Gerak yang bermain dalam gradasi vokalitas yang bergantung dengan kualitas pernyataan yang akan disampaikan. Dan bagaimana aktor meledakkan kata. Strategi teks yang datang secara mendadak ini umumnya dipahami sebagai teknik terror dalam naskah maupun teater Putu Wijaya. Emosi teks tidak dibangun dari alur teks, melainkan dari tingkat pernyataan yang berada dalam teks. Keluarga bahasa seperti ini mulai menguat dalam naskah-naskah Putu sejak Gerr dan Edan, yang kecenderungannya sudah berlangsung sejak Putu menghasilkan naskah Anu (1974) dan Aduh (1975).
Gerombolan Sebagai Distraksi Identitas
Naskah Aduh (1975) Putu Wijaya merupakan salah satu naskah berpotensi luas untuk membaca dunia teater Putu Wijaya dan antropologi kontemporer kita. Naskah ini merepresentasi masyarakat sebagai gerombolan yang sibuk dan saling menyalahi ketika berhadapan dengan orang sakit, tanpa menangani orang sakit itu sendiri. Erangan orang sakit itu bergerak bersama dengan berbagai aksi dan siasat kelisanan dari gerombolan itu yang sibuk membicarakan berbagai aspek dari kehadiran orang sakit itu tanpa menanganinya.
Putu Wijaya menemukan narasi dan teater baru dari aksi dan siasat kelisanan itu yang belum pernah terjadi sebelumnya. Teater yang memiliki ketangkasan menangkap fenomena masyarakat lisan yang bocor, dan mengubah kelisanan mereka menjadi “kelatahan sosial”. Masyarakat lisan yang mulai korup terhadap diri dan lingkungan mereka sendiri. Mudah terprovokasi, gampang panik, dan melakukan tindakan gokil. Masyarakat yang tampak pandai menggunakan kata-kata, tetapi sekaligus memperlihatkan jalan pikiran yang rusak dan sakit.
Kelisanan yang tidak segera menghasilkan tindakan, dan mengubahnya menjadi aktifitas kelatahan. Aktifitas kelisanan itu tidak pernah terukur dari tindakan yang dilakukan. Ruang kelisanan yang berputar dalam dirinya sendiri dan pada gilirannya terperangkap dalam mekanisme kelatahan. Ruang kelisanan yang kian jauh untuk mengalaminya dalam bentuk tindakan. Rasionalisasi untuk mengidentifikasi realitas dipelintir melalui mekanisme kelatahan itu. Setiap nilai yang dimasukkan ke dalam mekanisme kelatahan ini, cenderung diterima sebagai doktrin, sebagai keyakinan yang mengatasi realitasnya sendiri.
Aduh merupakan wacana yang dihasilkan Putu Wijaya untuk membaca antropologi pemeranan dalam dunia teater Putu Wijaya. Dunia teater yang pernyataan yang bahwa manusia telah cacat. Manusia adalah cacat itu sendiri. Cacat dalam dirinya sendiri dan cacat dalam hubungan-hubungan yang dijalaninya. Dalam manusia yang cacat ini, biografi telah mati. Manusia hanya menjalankan peran streotip. Bukan peran biografis, Peran lebih sebagai elemen, dan bukan mahluk yang jadi. Maka memberi konstruksi biografis atau emosi ke dalam peran dalam naskah-naskah Putu, cenderung beresiko menjadi peran yang cerewet dan melelahkan. Dia seperti biografi yang dihidupkan di dalam kostum.
Antropologi pemeran teater Putu Wijaya tidak lagi bermain di tingkat negosiasi eksistensial seperti terjadi pada naskah Iwan Simatupang (Buah Delima dan Bulan Bujur Sangkar, 1960; RT. Nol/RW.Nol, 1966; Petang di Taman, 1966; atau Kaktus dan Kemerdekaan, 1968). Negosiasi eksistensial antara watak besar dan watak kecil dalam tokoh-tokohnya, atau antara manusia sebagai mahluk bermukim dan sebagai mahluk yang berjalan. Tokoh-tokoh Putu adalah tokoh yang riuh dengan gerombolannya sendiri. Tokoh yang bisa mati berkali-kali dan hidup berkali-kali juga. Tokoh dari orang-orang tak dikenal, yang namanya sering hanya disebut sebagai “Salah Seorang”, “Yang Simpati”, “Pemilik Balsem” dan lain-lain. Tokoh yang tidak memiliki watak. Perannya hanya dibatasi lewat pengertian yang dikandung pada nama-nama pemeranan. Kebanyakan judul dari naskah Putu yang pendek-pendek, hanya satu kata, menjadi tanda untuk manusia sebagai gerombolan yang tidak memiliki keluarga semantiknya untuk menjelaskan dirinya sendiri.
Distraksi Politik Identitas
Manusia sebagai gerombolan pada gilirannya menawarkan pembacaan sebagai sebuah distraksi dari politik identitas yang tidak mendapatkan kualitas dari ruang kultur yang menghidupinya. Identitas tidak lagi berfungsi untuk menjelaskan realitas dan sejarahnya sendiri, melainkan untuk memcahnya dan mengaburkannya terus-menerus.
Geografi ekonomi maupun geografi politik Indonesia yang sudah sejak Abad 16 bergerak dalam perebutan terus-menerus antara penguasaan sumber-sumber alam (Maluku untuk rempah-rempah, Jawa untuk logistik, pertanian) dan penguasaan jalur perdagangan (Sumatra), merupakan lalu-lintas dari berbagai kekuatan eksternal yang menciptakan realitas majemuk sebagai akar sejarah yang pecah: Ekonomi majemuk, budaya majemuk, suku bangsa majemuk, bahasa majemuk, agama majemuk (J.S. Furnivall, Hindia Belanda, Studi Ekonomi Majemuk, Freedom Institute, Jakarta 2009).
Realitas majemuk itu hampir tidak pernah mengalami kebersamaan sebagai realitas bersama. Karena kekuatan-kekuatan eksternal justru masuk melalui konflik internal dari realitas majemuk itu sendiri. Politik etis kolonial Belanda yang memisahkan KUHP untuk masyarakat Eropa dan pribumi di Indonesia (Marieke Bloembegen, Polsi Zaman Hindia Belanda, Penerbit Kompas, KITLV, Jakarta 2009), menciptakan tata ruang politik yang melembagakan realitas majemuk itu untuk tidak pernah menjadi dan mengalami realitas bersama. Realitas majemuk itu tetap dibiarkan hidup dalam akar yang pecah. Dan diluaskan dalam pertentangan terus-menerus antara tradisi dan modern, antara adat dan agama, antara keunikan individu dan moral umum. Pemecahan realitas majemuk yang membuat proses pembentukkan kehidupan publik tidak sampai kepada tingkat kualitas yang bisa diterima bersama.
Realitas bersama itu seakan-akan mulai mendapatkan jahitan baru melalui bahasa Indonesia yang digunakan kian luas untuk komunikasi antar suku atau antar komunitas. Tetapi sebenarnya bahasa Indonesia tidak pernah tumbuh menjadi tubuh bersama sebagai “tubuh-Indonesia”. Bahasa Indonesia tetap tumbuh dalam tubuh-suku-suku yang membawa sistem dan kode budayanya masing-masing.
Gagasan-gagasan nasionalisme yang mulai muncul di awal abad 20, berusaha menjahit realitas majemuk itu dan menghasilkan Sumpah Pemuda. Tetapi bahasa yang sebenarnya menjadi pondasi penting untuk nasionalisme ini justru harus mengalami ironi pada usia republik ini yang masih muda melalui peristiwa-peristiwa di bawah ini:
Tahun 1946, satu tahun setelah kemerdekaan, bahasa Indonesia mulai digunakan untuk melakukan dusta politik dalam peristiwa penangkapan tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan (P.P.) yang tidak bisa dipertanggung-jawabkan. Penangkapan di antaranya dilakukan terhadap Abikoesno Tjokrosuedjoso, M. Jamin, Tan Malaka, Sukarni, Chaerul Saleh. Setahun setelah peristiwa ini, tahun 1947, Amerika mulai memperlihatkan campur-tangannya dalam menentukan eksistensi republik ini. Amerika sebagai ikon dari kekuatan eksternal melalui Perang Dunia ke 2 yang memainkan peran penting dalam tentara sekutu, masuk melalui posisinya sebagai ketua KTN (Komisi Jasa-jasa Baik Tiga Negara) dalam perundingan Indonesia-Belanda. Perundingan Indonesia-Belanda dilakukan di atas kapal Amerika USS Renville di Teluk Jakarta (Agustus 1947). Delegasi Belanda justru diketuai oleh Kadir Wirjoatmodjo yang melemahkan keutuhan bangsa Indonesia yang baru memerdekakan diri. Permainan relitas majemuk dalam peristiwa ini kembali berlangsung dan dalam setting yang lebih ironis: melakukan perundingan di atas kapal perang kekuatan eksternal.
Berturut-turut setelah peristiwa penangkapan tokoh-tokoh Persatuan Perjuangan, berlangsung berbagai peristiwa yang sulit tidak dilihat sebagai bagian penting dari pembacaan politik sejarah. Pada tahun 1948, rasionalisasi dan rekonstruksi tentara Indonesia yang menjadi keputusan presiden (4 Mei 1948), mulai membersihkan tentara dari unsur-unsur prograsif. Antara lain dibunuhnya beribu-ribu prajurid dari Devisi IV (Kesatuan Panembahan Senopati) di Solo. Ini merupakan awal terjadinya pembunuhan yang kita lakukan terhadap bangsa sendiri, di samping cara-cara menghadapi pemberontakan daerah terhadap pemerintahan pusat yang pernah terjadi. Model seperti ini menjadi lebih canggih dan lebih rumit dilakukan pada tahun tahun 1965 melalui peristiwa G.30.S yang “mem-PKI-kan” semua ikon-ikon publik maupun politik pendukung Sukarno. Membangun ORBA di atas fiksi sejarah sebagai teater politik yang traumatik. Ketika peristiwa ini terjadi, seluruh media massa dilarang terbit. Peliputan dilakukan hanya melalui media-media militer. Buku-buku pelajaran sejarah, setelah itu umumnya juga dikonstruksi oleh militer, dalam kepentingan dan sudut pandang militer.
Rangkaian peristiwa itu memperlihatkan kembali bagaimana politik eksternal dan politik internal berlangsung. Yaitu dengan memasuki dan mendaya-gunakan ruang-ruang konflik internal dari realitas majemuk itu sebagai laten bermata dua yang mudah dibakar setiap terjadinya gejolak politik. Watak politik yang pada gilirannya mengubah realtas majemuk kita menjadi negatif dan menjadi jerami kering yang mudah dibakar. Watak politik yang terus meretakkan realitas kemajemukan dan kian menjadikan kekerasan sebagai sumber daya yang bisa dimanfaatkan setiap saat. Model yang juga kembali digunakan dalam peristiwa reformasi 1998 melalui “kerusuhan China” sebagai korban.
Naskah paling awal yang ditulis Putu Wijaya, tahun 1969, yaitu Dalam Cahaya Bulan. Naskah ini masih bermain dalam medan wacana teater yang pernah ada sebelumnya. Konstruksi politik sejarah dan politik bahasa yang dijalankan Orde Baru, seperti belum menjadi perhitungan Putu pada masa ini, dan naskah-naskah selanjutnya seperti Lautan Bernyanyi (1967) atau Bila Malam Bertambah Malam (1970). Tetapi setelah terbitnya naskah Anu (1974) dan Aduh (1975), perubahan fundamental terjadi. Masa ini diwarnai oleh peristiwa Malari yang terjadi pada tahun 1974. Wacana politik Orde Baru tampaknya lebih terungkap melalui peristiwa Malari ini. Wacana politik yang dibangun melalui militerisasi yang dijalankan di berbagai potensi konflik.
Masyarakat gerombolan dalam naskah-naskah Putu Wijaya pada gilirannya memang memiliki ruang yang luas untuk dibaca sebagai masyarakat yang lahir dari distraksi identitas dan distraksi sejarah yang berlangsung sedemikian rupa, dan mendapatkan bentuknya yang paling canggih pada peristiwa G.30.S sebagai skenario politik dan sejarah. Masyarakat gerombolan yang kemudian hidup dalam kondisi amnesia sejarah dan berbagai bentuk hubungan yang militeristik. Manusia gerombolan ini hidup sebagai mayoritas yang dekaden, gokil dan saling sikat satu sama lainnya. Aduh, dalam strategi pembacaan seperti ini, merupakan anak-kandung dari narasi sejarah Orde Baru sebagai anak-yang-cacat. Dan kemudian melawan dengan kecacatannya sendiri. Dia tidak lagi bermain dalam dataran narasi yang pintar, melainkan dalam narasi yang bodoh. Istilah yang dipakai Putu Wijaya sendiri untuk menjelaskan sebagian konsep teaternya sebagai “teater bodoh”.
Teater Sang Penguasa yang Tak Terlihat
Manusia gerombolan dalam antropologi teater Putu Wijaya, sebagai produk dari masyarakat yang mengalami distraksi identitas dan sejarah, adalah gerombolan yang setiap saat bisa didaya-gunakan oleh kekuatan apa pun. Mereka memang tidak lagi memiliki ikatan sejarah, tetapi mereka memiliki ikatan emosi melalui doktrin yang mendasari keyakinan mereka. Sejarah apa pun tidak pernah membuat doktrin ini hidup dalam tatanan yang lebih rasional. Dia tetap hidup dalam dunianya yang tertutup. Artinya, sejarah tidak pernah bisa masuk sebagai pengalaman bersama untuk menempuh hidup bersama yang lebih baik. Manusia gerombolan ini hidup dalam semacam “teater kekuasaan” yang tidak terlihat.
Yang menarik dari Putu Wijaya adalah bagaimana “teater kekuasaan” yang tidak terlihat itu justru tergambarkan dengan jelas dalam naskahnya Anu. Naskah ini terbit tahun 1974, setahun sebelum terbitnya Aduh. Teater kekuasaan ini muncul melalui tokoh Mas G dalam naskah Anu ini. Semua peran dalam naskah ini menempatkan Mas G sebagai tokoh pusat yang tidak pernah tampak dalam pertunjukan. Tetapi tokoh ini mengalami vokalisasi terus menerus oleh massa dan melembaga dalam masyarakat di sekitarnya. Gosip berlangsung di mana-mana. Teror logika dari ketakutan terhadap Mas G terjadi. Gosip yang mampu mengubah kenyataan, kebenaran, dan kejujuran menjadi anu.
Anu merupakan semacam distraksi maupun pelarian naratif dari dunia individu yang telah menjadi gerombolan. Individu yang sebenarnya tidak pernah dianggap. Individu dan massa harus hidup dengan bahasa yang tidak jelas sebagai pengucapan hidupnya sendiri, dan berada di bawah kekuasaan yang menggantung mereka secara politis (massa mengambang). Setiap terjadi proses individuasi dari gerombolan itu, munculnya individu dalam realitas gerombolan, itu, individu tersebut cenderung menjadi bola permainan gerombolan. Gerombolan itu akan menempatkan individu sebagai objek yang dicurigai dan kemudian diperlakukan dengan cara tidak masuk akal.
Naskah-naskah Putu dalam strategi pembacaan seperti ini, menurut saya menyimpan pesan penting bahwa sebuah bangsa yang menggunakan identitas sebagai ruang konflik internal untuk kepentingan politik (hegemoni ekonomi maupun budaya) yang dibiarkan berlangsung terus-menerus sepanjang sejarahnya, akan menjadikan dirinya sendiri tidak lagi sebagai sebuah bangsa, melainkan sebagai gerombolan yang tidak pernah tahu siapa yang sedang menguasai dan membiarkannnya tetap berada dalam “ruang-buta-politik”.
Estetika Desakralisasi Kesenian
Bagaimanakah melihat teater Putu Wiajaya justru dalam konteks Teater Mandiri yang dibentuk Putu Wijaya sendiri? Pertanyaan ini penting, karena Teater Mandiri justru lahir dari sebuah proses panjang dan radikal dalam menghasilkan 3 pertunjukan yang dilakukan tanpa naskah. Yaitu pertunjukan Lho, Entah dan Nol, yang dipentaskan sekitar pertengahan dekade ‘70-an.
Ketiga pertunjukan itu memperlihatkan tubuh yang telah dilepaskan dari personifikasi sehari-harinya. Tubuh menjadi liar, memiliki energi yang tidak lagi semata-mata bersifat kodrati, dan terlempar dari rutin sehari-hari. Tubuh cenderung menjadi sosok mengerikan seperti telah kehilangan ayah-ibu dari dunia manusia, dan hidup berkelompok di antara berbagai benda dan kelompok tubuh lainnya. Mereka bergerak melalui respons-respons intuitif, bergaul dengan bahaya. Juga bergaul dengan kesunyian bahasa ketika mereka tidak lagi berada dalam bahasa verbal.
Seluruh peristiwa dalam pertunjukan Lho (1975) hanya merupakan aksi (tanpa harus terjadi relasi) di mana aktor bisa melenting di sana-sini dengan bambu-bambu panjang dan jaring, kadang-kadang aktor muncul dari kerangka-kerangka besi penopang lampu atap Teater Arena TIM. Bubuk tepung menyebar di mana-mana, gerobak sampah, atau permainan layar-layar putih. Atau aktor yang berak memperlihatkan pantatnya di kolam depan Teater Arena itu.
Adegan berak ini untuk saya sangat lucu. Karena pada masa itu, untuk melihat pantat orang yang sedang berak, dengan mudah dapat kita temukan di pinggir rel kereta api atau di berbagai sungai yang melintasi Jakarta. Taik kering dan basah ada di mana-mana dalam lingkungan ini, bersama lalat hijau dan bau yang tertinggal. Tetapi dalam pertunjukan itu tidak ada taik kering, taik basah, lalat hijau atau bau. Ia menjadi lucu, karena berak tanpa mengeluarkan taik, adegan ini berlangsung dalam kolam ikan di depan bangunan berkaca Teater Tertutup.
Hampir seluruh aktor bermain dengan totalitas mereka masing-masing. Pertunjukan yang sangat maskulin, berotot. Gelombang enerji, ketegangan, kreativitas dan kegilaan berlangsung dari adegan satu ke adegan berikutnya. Totalitas aktor yang mampu mengatasi keraguan-raguan penonton dalam melihat apa yang berlangsung di atas pentas. Penonton dibuat tidak memiliki kesempatan untuk bernapas dan mempertanyakan apa yang berlangsug di atas pentas. Aktor-aktor itu antara lain Kamsudi Merdeka, Joko Quartantyo, Anto Kribo, Alimin, Boyke Roring, Reni Jayusman, Yose Rizal dll. Mereka melakukan eksplorasi bersama skenografer Rudjito dan perupa Nashar.
Mata menjadi utama untuk menangkap keseluruhan yang berlangsung dalam panggung. Mata penonton mulai dipecah, dibiarkan memasuki ruang fragmentaris pertunjukan dengan meniadakan sentral. Setiap mobilitas aktor berarti sama dengan terjadinya mobilitas ruang dan waktu. Seluruh yang terjadi di atas pentas adalah denyut napas dan aliran darah dari pertunjukan itu sendiri. Saya seperti bertemu dengan “darah teater” lewat pertunjukan ini. Berbagai adegan yang “mencuri ruang” terjadi di mana-mana, terutama yang dilakukan Kamsudi Merdeka dan Joko Quartantyo. Mereka berusaha membuat pusat. Yang lain datang untuk membantu membangun pusat itu, tetapi justru yang terjadi adalah “penyabotan ruang”, dan peristiwa bergerak lagi ke arah yang lain.
Saya merasa tidak semata-mata sedang menonton pertunjukan Putu waktu itu, Saya merasa justru sedang mengalami aktualisasi diri, pembakaran imajinasi, bola-bola api imajinasi yang memenuhi diri saya.
Ke tiga pertunjukan teater Putu Wijaya ini (Lho, Entah dan Nol ), harus saya sebut merupakan “darah baru” dalam teater, yang mengaliri kehidupan teater sepanjang bagian tengah akhir dekade ‘‘70-an di Jakarta. Pertunjukan yang juga bisa dibaca sebagai “teater kheos” atau teater dari tubuh yang kheos. Mereka hampir selalu berlatih setiap malam di halaman belakang TIM, ketika orang-orang mulai tertidur. Saya mengira-ira bahwa eksplorasi yang mereka lakukan merupakan eksplorasi organik untuk mencari tubuh arkhaik mereka. Darah baru yang tidak lahir dari desain, melainkan dari eksplorasi organik seperti ini. Eksplorasi yang menemukan bentuk dan strukturnya sendiri di luar desain. Ketiga pertunjukan ini, saya kira juga merupakan pertunjukan kolaboratif antara Putu, seluruh pemain, Rudjito dan Nashar dan menghasilkan pentas sebagai sebuah lukisan yang merajut berbagai dinding peristiwa, sebagai sebuah konser yang hancur, prosa yang membakar dirinya sendiri.
Sejak itu saya tidak pernah lagi melihat teater sebagai peristiwa sastra semata. Saya mulai membaca teater melalui respon tubuh saya atas pertunjukan yang sedang saya saksikan. Ketika tubuh aktor hadir sebagai tubuh yang macet, tidak mampu merespon setiap denyut kehidupan yang berlangsung di atas pentas, otomatis tubuh saya juga kehilangan responnya sendiri terhadap pertunjukan itu. Saya seperti sedang berhadapan dengan seseorang yang sedang berbicara, tetapi dirinya sendiri tidak ada di sini.
Lewat pertunjukan Putu itu juga saya melihat bahwa tubuh aktor lebih penting dari teater itu sendiri maupun dari naskah yang sedang diperaninya. Tubuh aktor merupakan sihir bahasa.
Putu Wijaya harus menggunakan konsep “Teater Bodoh” untuk ke tiga pertunjukan itu. Pertunjukan yang dicurigai sebagai anti-komunikasi dan juga sebagai “teater sutradara”. Kesenian kontemporer jadi semacam momok yang basis komunikasinya dicurigai. Putu melihat teater bodoh ini sebagai sebuah gaya untuk menolak kesombongan dan kecenderungan menggurui. Oleh karena itu ia terpaksa menjadi bodoh: “Pikiran-pikirannya, renungannya, saran-sarannya, gagasannya ia pulas dengan keluguan, kenaifan, goblog-goblogan.”
Lho, Entah dan Nol, muncul di tengah-tengah kian kuatnya rejim Orde Baru menguasai wacana politik dan kehidupan sosial. Pada masa ini juga muncul 2 kredo penting dari Nashar di seni rupa dan Sutardji Calzoum Bachri lewat puisi di sekitar non-teknik, non-ide, non-konsep dan membebaskan kata dari beban pengertian. Munculnya gerakan Puisi Mbeling yang melakukan desakralisasi terhadap kesenian. Gerakan Senirupa Baru yang oleh Jim Supangkat dilihat sebagai gerakan menentang elitisme kesenian seakan-akan kesenian memiliki hak eksklusif untuk menempatkan dirinya dalam hirarki tertinggi dalam kebudayaan. Slamet Abdul Sjukur yang mengembalikan musik ke dalam dasarnya sebagai bunyi, Sardono W. Kusumo yang melihat kerja koreografi tidak terbatas hanya kepada tubuh penari. Gerakan yang berlangsung satu kurun dengan lahirnya, “puisi konkrit”, dan fenomena prosa maupun puisi yang dibawa oleh Danarto, Budi Darma, Putu Wijaya, Sutardji Calzoum Bachri dan Sapardi Djoko Damono setelah Iwan Simatupang dan Rendra.
Fenomena itu mendapatkan vokalisasinya melalui para pembicara mereka yang kuat dari Umar Kayam, Goenawan Mohammad, DA. Peransi, Sanento Yuliman, Syubah Asa, Bambang Bujono, Jim Supangkat dan Dami N. Toda. Ekonomi Indonesia sedang menikmati bom minyak dan hutang luar negeri pada masa ini.
Semua fenomena yang terjadi dalam kesenian di atas, memperlihatkan satu kesibukan wacana untuk membaca kembali bagaimana kita menempatkan kesenian dalam konstelasi jalinan nilai yang berlangsung di sekitarnya. Pembacaan ini memang tidak dilanjutkan ke dalam pembentukan infrastruktur yang memungkinkan wacana itu bergulir lebih jauh menjadi lembaga pembacaan publik. Gerakan yang tampaknya harus tenggelam dalam kondisi masyarakat gerombolan dalam konstelasi politik Orde Baru. Pendidikan-pendidikan kesenian tetap membiarkan dirinya berada di bawah konstelasi politik ini, bahkan kian jauh terseret ke dalamnya lewat proyek-proyek pariwisata revitalisasi tradisi.
Lho, Entah dan Nol Teater Mandiri dalam konteks desakralisasi wacana-wacana kesenian itu, saya kira menjadi ujung tombak paling penting, karena ia tidak bersembunyi di balik wacana. Ia berhadapan langsung dengan publik melalui pertunjukan yang mereka lakukan. Ketiga pertunjukan inilah yang mengawali lahirnya wacana baru dalam teater sebagai apa yang sekarang ini sering disebut sebagai “seni instalasi pertunjukan”, dan unsur rupa yang juga menjadi bagian dari kerja penyutradaraan.
Cara Keluar Meninggalkan Teater Kekuasaan
Instalasi pertunjukan Teater Mandiri berhenti hanya pada ketiga pertunjukan itu. Setelah itu Putu kembali menjalankan Teater Mandiri di bawah kepemimpinan narasi dari teks-teks yang ditulis Putu. Cara yang terus dilakukan Putu hingga kini. Perubahan-perubahan yang cukup signifikan seperti tidak pernah terjadi setelah itu, walaupun situasi terus berubah, reformasi terjadi dan Suharto jatuh. Saya tidak tahu bagaimana harus membaca strategi teater Putu Wijaya setelah reformasi berlangsung, dan munculnya fenomena lain yang dibawa Teater Garasi maupun senirupa kontemporer sekarang ini. Cara memandang senirupa misalnya, yang sebelumnya dihegemoni melalui wacana-wacana seni lukis, kini sudah berubah menjadi wacana-wacana dari berbagai bentuk ekspresi rupa dengan berbagai media. Tidak lagi didominasi oleh lukisan atau patung.
Saya merasa teater bahasa yang diciptakan Putu, ketika tidak mendapatkan pembacaan kritis dari lembaga publik maupun lembaga kesenian, yang kian bergerak memerangkap dirinya sendiri dan tidak bisa keluar dari perangkap itu.
Tahun lalu (Oktober 2010), dalam forum Mimbar Teater Indonesia di Solo, Putu Wijaya sempat menceritakan dapur proses latihan Teater Mandiri. Salah satu yang dinyatakan Putu adalah fenomena bahwa aktor-aktornya tahu bagaimana harus masuk ke dalam panggung. Tetapi mereka tidak tahu bagaimana caranya untuk keluar dari panggung. Fenomena ini untuk saya menarik, mengesankan bagaimana aktor terbuka untuk memasuki peran yang dimainkannya, tetapi tidak tahu caranya keluar dari peran itu sendiri.
Putu kemudian mengatasi masalah ini dengan menciptakan pertunjukan dimana seluruh actor tetap berada dalam panging dari awal sampai akhir, tidak ada adegan keluar-masuk. Cara ini juga memiliki fungsi untuk menjaga konsentrasi pertunjukan: Semua actor dibuat sibuk di atas panggung untuk menjaga ruang dan waktu pentas, juga konsentrasi mereka untuk selalu berada dalam keadaan in-action.
Saya menduga antropologi lisan memiliki ruang yang menghisap seperti yang terjadi di panggung pertunjukan Putu itu. Setiap orang mudah untuk masuk ke dalam lingkungan lisan, lingkungan verbal, dan kian terkait dengan nilai-nilai yang dibangun dalam komunitas verbal itu, ia kian tidak tahu bagaimana caranya keluar dari lingkungan ini. Ia kian menjadi “seorang-komunitas-verbal” daripada sebagai “seorang-yang-bermain” dalam permainan lisan itu.
Permainan yang tetap terjaga sebagai permainan, di mana setiap berlangsungnya konstruksi disertai dengan dekonstruksi (pembongkaran), dan setiap abstraksi selalu juga terjadi distraksi (cerita tidak terperangkap menjadi skenario), proses seperti ini mungkin bisa memberikan celah untuk mencari pintu dan keluar dari hisapan lingkungan lisan ini. Perangkap pemeranan maupun perangkap narasi dari kecenderungan teater total yang dirancang Putu dalam naskahnya, memang tidak memiliki jalan untuk aktor bisa keluar meninggalkan panggung. Satu-satunya cara untuk keluar adalah dengan membuat lampu menjadi black-out atau dengan menurunkan layar.
Kemungkinan lain dari jalan keluar itu adalah aktor kembali kepada tubuh dan narasinya sendiri. Keluar dari teater kekuasaan yang tak terlihat dan tak tersentuh dan kembali kepada diri sendiri. Saya kira apa yang dialami actor-aktor Teater Mandiri, yang tidak tahu caranya keluar dari panggung pertunjukan, kini dialami oleh Putu sendiri yang tidak tahu caranya keluar dari teks-teks yang ditulisnya untuk bertemu dengan dunia yang lain.
Kalau saya membaca kembali penggelan naskah Zetan, yang saya kutip pada bagian awal pembicaraan ini, saya melihat kemungkinan jalan ke luar itu adalah pada cara Putu Wijaya tidak lagi melihat teater semata-mata sebagai realitas di atas panggung.
Dalam penggalan naskah Zetan itu, ada teks yang disampaikan tokoh Guru seperti ini:
Berpuluh-puluh tahun aku berkoar-koar tentang budi-pekerti yang telah dikesampingkan, tetapi tidak seorang pun yang menggubris. Semua orang melihat pengorbanan dan pengabdian sebagai kebodohan, karena pergaulan, tuntutan kehidupan, bahkan pembelajaran dari penguasa, semuanya memacu semangat bersaing untuk merebut yang terbaik, menjadi orang yang nomor satu, tanpa peduli lagi kepada nasib orang lain. Tata-krama, kasih-sayang apalagi gotongroyong dianggap pemborosan, apalagi pengabdian kepada tanah air, negara dan bangsa sudah dirasakan memuakkan.
Tokoh Guru ketika menyampaikan teks itu, dirinya tidak hadir di atas panggung. Melainkan hadir dalam bentuk dokumentasi melalui media video. Teks yang seakan-akan baru dinyatakan setelah peristiwa yang melahirkan teks itu sendiri telah berlalu. Teks dari peristiwa yang telah lampau.*** (Bahan diskusi 40 Tahun Teater Mandiri, Dewan Kesenian Jakarta, TIM, 14 Juli 2011)
LAMPIRAN
PUTU DALAM PEMBACAAN GENERASI MASA KINI
SEBUAH PERMAINAN BARU DALAM KONTEKS DAN REALISME DARI TUBUH FILMIS
Oleh Afrizal Malna
Mimbar Teater Indonesia, yang saya saksikan sepanjang 4-10 Oktober 2010, memberikan gambaran yang menarik di sekitar sumber-sumber reproduksi teater, yaitu hubungan kelompok-kelompok teater melalui pengalaman menonton pertunjukan teater, dengan proses penciptaan pertunjukan yang mereka lakukan.
Forum yang berlangsung di Taman Budaya Jawa Tengah, Solo ini (penyelenggara Dewan Kesenian Surakarta), menggunakan dunia teater Putu Wijaya sebagai tema keseluruhan. Seluruh pertunjukan kelompok-kelompok teater yang datang dari Medan, Aceh, Palu, Makassar, Bandung, Jakarta, Mataram maupun Yogyakarta, menggunakan naskah-naskah Putu untuk pertunjukan mereka. Diskusi selama 3 hari yang dihadiri pakar-pakar dari Kanada, New York, Banten, London, Bandung, Yogyakarta maupun Makassar (Michael Bodden, Nandang Aradea, Fahmi Syarif, Benny Yohannes, Cabbina Gillid, Tamara Aberle, Aslan Abidin), juga membicarakan naskah dan teater Putu Wijaya.
Kedua forum ini, antara diskusi dan pertunjukan, mengesankan tidak ada hubungan langsung satu sama lainnya. Pembicaraan mengenai dunia teater Putu dalam diskusi, seperti berada dalam ruang wacana tersendiri; begitu pula pertunjukan yang berlangsung, juga seperti membangun dunianya sendiri. Hampir tidak ada negosiasi atau konfirmasi antara keduanya, walaupun Putu senidri berada dan mengikuti kedua forum tersebut. Padahal kedua forum ini sama-sama kembali mencari konsep “teater teror” Putu Wijaya, terutama dalam konteks masa kini.
Ada dugaan, generasi masa kini tidak bisa lagi membaca konsep teror tersebut, karena kehidupan kini, melalui penggandaan media massa elektronik, menjadi jauh lebih keras dibandingkan dengan masa saat konsep itu dinyatakan pada tahun ‘70-an. Generasi masa kini menghadapi berbagai agresi yang berpusat pada persuasi pasar bebas. Agresi yang meliputi produksi dan konsumsi yang tak ada batasnya pada produk-produk perangkat lunak, tawaran gaya hidup, identitas, persuasi agama dan moralitas yang panik, kepanikan menghadapi keberagaman dan keseragaman sekaligus. Generasi yang menghadapi kenyataan baru di mana dramaturgi telah diambil alih oleh media elektronik dan politik. Dan teater seperti harus mencari desainnya kembali dengan mengolah berbagai kemungkinan yang ditawarkan berbagai media audio-visual dari bentuk, tema maupun pesan yang dikandungnya. Seperti mengais sampah-sampah digital dan membuat polusi baru di atas panggung.
Keraguan membaca teror
Istilah teror sendiri kini telah menjadi negatif, dan telah jadi bagian dari ketidakseimbangan tata dunia dalam konteks globalisasi. Neo-kolonialisme masih tumbuh dimana-mana dalam berbagai bentuk: dari hegemoni media, nilai, hingga politik keuangan internasional. Neo-kolonilialisme yang juga merambah masuk ke dalam dunia cyber. Dan terror, sebagai dramatrugi dalam teater maupun sebagai konsep estetika teater, ikut meng-hadapi dampak negatif dari politik internasional dalam menghadapi teror.
Dalam kondisi itu dan dalam keragu-raguan itu, beberapa pertunjukan dalam Mimbar Teater Indonesia ini, berusaha menyatakan kembali konsep terror Putu Wijaya dalam pertunjukan mereka. Seakan-akan, tanpa terror, berarti mereka belum mementaskan naskah-naskah Putu. Agus Susilo dari Medan dalam monolognya misalnya, sungguh-sungguh memakan kecoa yang masih hidup. Teater Seni Teku dari Yogyakarta memotong leher (terbuat dari besi) dengan gergaji mesin, dan membuat lingkaran-lingkaran api pada halaman terbuka tempat mereka melakukan pertunjukan. Irwan Jamal dari Pabrik Teater (Bandung), menggunakan pohon benda-benda tajam (pohon kering yang digantungi oleh banyak pisau kater dan gunting) dalam monolognya. Tetapi terror-teror tersebut rupanya terkesan berhenti hanya sebagai visualitas. Yang terjadi justru sebuah kenyataan baru: teks kehilangan kekuatannya lalu mati, ketika pertunjukan memang dibiarkan dipimpin oleh visualitas yang mereka lakukan.
Budaya pertunjukan antargenerasi
Halim HD mengkurasi kelompok-kelompok teater maupun monologer dalam forum ini yang cukup komparatif antara generasi yang sejaman dengan Putu Wijaya (seperti Ikranagara dan Yose Rizal Manua), hingga generasi pasca-reformasi seperti Heliana Sinaga dan Lisa syahtiani yang mungkin belum lahir ketika Putu Wijaya bersama Teater Mandiri yang dipimpinnya mewarnai kehidupan teater pada masanya; juga antara kelompok teater maupun monologer yang hidup di luar kampus dan yang hidup dalam lingkungan kampus; di samping kelompok-kelompok teater maupun monologer yang dekat dengan Jakarta (tempat Putu lebih banyak mempublikasikan teaternya), dengan kota-kota yang jauh dari Jakarta seperti Medan, Aceh, Palu atau Mataram yang semakin sedikit kemungkinannya untuk menonton pertunjukan Putu.
Hasil dari perbedaan ini memang menarik. Ikranagara masih menggunakan strategi akting yang tidak berbeda dari akting yang pernah dilakukannya 20 tahun yang lalu, aktor melakukan teaterikalisasi tubuh sedemikian rupa melalui pemberatan vocal dan pemberatan gesture dalam mengkonstruksi dan mengisi peran yang dijalaninya.Strategi akting yang jauh berbeda dengan generasi yang datang dari masa kini, seperti yang dilakukan Heliana Sinaga dari Bandung maupun Lisa Syahtiani dari Jakarta. Yose Rizal bersama dengan teater anak-anaknya (Teater Tanah Air) masih menggunakan layar putih besar dan boneka besar seperti sering dilakukan Putu dalam pertunjukan-pertunjukan Teater Mandiri pada masanya. Teater Tanah Air kini menjadi hampir satu-satunnya teater anak-anak di Indonesia yang kian banyak melakukan perjalanan pertunjukan di berbagai negara dan beberapa kali mendapatkan penghargaan internasional, di antaranya dari Rusia. Pertunjukan, seperti dunia anak-anak umumnya, menggunakan bahasa imaji dan ikon-ikon masa kini yang segar sebagai ciri khas mereka. Imaji dengan bahasa visual warna-warni.
Agus Nur Amal tetap menggunakan pola-pola mendongengnya dengan memainkan lompatan-lompatan imajinasi melalui benda-benda yang digunakannya. Hampir seluruh pertunjukan itu pada akhirnya lebih menjelaskan ciri-ciri bawaan dari pertunjukan mereka pada umumnya. Setiap generasi seperti membawa budaya pertunjukannya masing-masing lewat teater yang mereka jalani. Pertanyaan: pada titik manakah mereka saling bertemu ka-rena sama-sama menggunakan naskah Putu Wijaya—hampir sulit dicari jawabannya. Bahwa penggunaan naskah Putu Wijaya, tidak lantas membuat terjadinya titik temu antar pertunjukan mereka.
Tubuh filmis dari linearitas durasi
Teater Putu Wijaya, yang pada masanya sering dideretkan sebagai bagian dari teater absurd, juga surealis, menghasilkan sebuah kenyataan yang mengherankan ketika dipentaskan oleh generasi masa kini. Mereka menciptakan peran sama seperti peran-peran utuh yang bisaa kita temukan dalam naskah-naskah realis. Peran itu mereka hidupkan sedemikian rupa di luar realitas naskah. Strategi pertunjukan seperti ini seakan-akan dilakukan dengan asumsi, bahwa internalisasi terhadap teks Putu Wijaya harus dilakukan dengan menciptakan peran terlebih dahulu agar teks bisa dibawa melalui bingkai pemeranan seperti ini.
Dari manakah datangnya penciptaan peran seperti itu? Pasti tidak datang dari teks-teks Putu. Sebab, teks-teks Putu Wijaya memang tidak memberikan kemungkinan yang memadai untuk mengkonstruksi peran seperti itu. Naskah Putu cenderung hadir sebagai “teater bahasa” daripada sebagai teater lakon. Maka yang terjadi adalah, lahirnya pertunjukan-pertunjukan realis yang dihiasi oleh teks-teks absurd Putu Wijaya.
Heliana Sinaga dan Lisa Sahtiani misalnya, hadir dalam sosok pemeranan yang jauh berbeda dibandingkan dengan akting Reni Jayusman, salah satu aktor penting Teater Mandiri pada masa Putu Wijaya banyak mewarnai kehidupan teater. Reni hadir dengan aktingnya yang garang, vokal yang keras dan tubuh yang banyak dibalut oleh berbagai pernik-pernik visualitas. Teaterikalisasi begitu massif membalut seluruh akting, bahkan merupakan nyawa dari akting yang dijalaninya. Sementara tubuh Heliana atau Lisa lebih dekat hadir sebagai tubuh film di dalam teater (sebaliknya tubuh teater dalam film). Mereka membatasi volume akting sampai pada tingkat tertentu, control yang terjaga untuk mempertahankan penakaran antara peran, ruang dan kostum yang mereka perankan. Sebuah kontrol atas penakaran yang juga terkesan untuk menjaga hubungan linearitas dari seluruh elemen pemeranan yang mereka jalani.
Tubuh mereka berdua memang cenderung hadir sebagai “tubuh domestik” atau “tubuh-personal” dalam balutan kostum publik yang sudah menjadi streotip. Lisa Syahtiani misalnya, berusaha menjaga penekanan tema neo-kolonialisme yang berlangsung melalui bisnis pariwisata di Bali, dibandingkan dengan sisi-sisi absurd yang ditangkap Putu atas bisnis pariwisata di Bali. Neo-kolonialisme di mana tubuh turis harus dilayani sedemikian rupa dari transportasi, hotel hingga konsumsi-konsumsi turistik yang mereka butuhkan. Lisa menghidupkan tubuh neo-kolonialisme ini lewat kostum yang streotip digunakan masyarakat Barat.
Sementara Heliana Sinaga melakukan akting yang mondar-mandir antara tubuh-teater dengan tubuh pribadi yang dijalaninya. Terutama ketika Heliana memasuki kamar pribadinya yang dipenuhi bantal-bantal biru. Tubuh-filmis antara Lisa dan Heliana terjadi lewat terjaganya linearitas durasi antara teks dan pemeranan, sehingga gerak waktu dan emosi berjalan hampir selalu berdampingan dalam menciptakan ruang. Strategi durasi seperti ini hampir tidak pernah terjadi pada generasi yang hidup dalam konteks kehidupan teater Putu Wijaya, di mana karakter dan emosi cenderung melanggar linearitas durasi.
Tubuh-filmis mereka juga sekaligus menjadi komparasi baru dibandingkan dengan tubuh-digital yang pernah begitu kuat hadir dalam pertunjukan Waktu Batu dari Teater Garasi. Tubuh-digital ini memang sudah berada atau ditempatkan di mana hukum-hukum linearitas dihentikan dalam ruang pertunjukan mereka. Keserempakan, berbagai peristiwa dihadirkan secara serempak dalam ruang pertunjukan. Tubuh tidak lagi memerankan waktu, melainkan memerankan kecepatan (durasi yang dibatasi untuk memprovokasi emosi lewat kecepatan atau keseketikaan).
Negosiasi yang terduga atas konteks
Fenomena yang unik dari realisme yang dibawa oleh Heliana dan Lisa itu, yang sebenarnya juga terjadi pada banyak pertunjukan di forum ini dalam berbagai bentuknya (termasuk Teater Lungid dari Solo yang membaca naskah Putu lewat tradisi masyarakat Jawa, yang disutradarai Jarot), memperlihatkan realitas tersendiri di mana seniman-seniman teater tidak selalu memperlakukan teks sebagai sesuatu yang terkait dengan konteksnya.
Mereka cenderung memperlakukan teks sebagai barang jadi. Pembacaan dan negosiasi justru tidak berlangsung terhadap teks, melainkan pada pilihan konteks di mana teks itu akan ditempatkan dan mendapatkan bingkainya. Ketika konteks telah dipilih, lewat konteks itu pula teks ditaklukkan. Pilihan terhadap konteks, menjadi negosiasi yang tidak terduga. Menonton pertunjukan mereka dalam forum ini, akhirnya bukan lagi menunggu bagaimana teks Putu Wijaya mereka sampaikan, melainkan menunggu konteks apa yang mereka gunakan.
Bahkan pada pertunjukan Teater Seni Teku maupun monolog Agus Susilo, konteks juga menjadi tidak penting. Mereka cenderung menempatkan bahasa visual berjalan lebih dulu di depan. Bahasa visual, yang kalau teks dilepaskan misalnya, tampaknya juga tidak akan berpengaruh secara signifikan terhadap pertunjukan mereka sendiri. Penggunaan halaman terbuka sebagai tempat pertunjukan Teater Seni Teku yang disutradarai Ibed Surgana Yuga, sudah menghasilkan bahasa ruangnya sendiri. Halaman terbuka itu terdiri dari berbagai layer: undakan-undakan dari tanah dan beton, ilalang-ilalang tinggi, pohon-pohon bambu dan beberapa bangunan yang berdiri di sekitarnya, sudah bisa memberikan struktur pertunjukan.
Begitu pula penggunaan kecoa (yang dikumpulkan Agus dari kecoa di Medan, Yogyakarta dan Solo) serta visualitas kaki besar yang digunakan sebagai kaki provokatif dan kepala provokatif, sudah memberikan isi dan struktur pertunjukan. Bedanya, Agus memberikan aksentuasi lokal terhadap teks yang dinyatakannya. Kecoa berbicara dalam logat Jawa, sementara figur yang merasa terganggu dengan kehadiran kecoa itu menggunakan logat Batak Medan.
Forum yang dihadiri 33 monologer dan grup teater dari berbagai kota ini akhirnya memang memperlihatkan sebuah kenyataan lain, bahwa generasi kini dalam teater, tidak lagi menempatkan “permainan” di dalam teks, melainkan di dalam konteks. Mereka seperti melepaskan begitu saja hubungan mereka dengan teks, karena personalisasi jauh lebih sulit dilakukan di dalam teks yang sudah jadi dibandingkan dengan dilakukan di dalam konteks yang bisa menjadi tak terduga.