“Jika tunduk pada kesewenang-wenangan ini,
Dewan Kesenian Jakarta akan dikutuk oleh sejarah dan masa depan.”
Program Pembacaan Naskah Drama dan Diskusi Album Keluarga: #50Tahun1965, yang sedianya akan diadakan di di Teater Kecil, Taman Ismail Marzuki, hari ini, Selasa, 8 Desember 2015, mulai pukul 16.00, dilarang oleh Kepolisian Republik Indonesia Daerah Metro Jaya. Surat pelarangan bernomor B/19811/XII/2015/Datro, yang ditandantangani Direktur Intelkam Polda Metro Jaya Komisaris Besar Polisi Drs. Suntana, M.Si, baru diterima sekretariat Dewan Kesenian Jakarta kemarin malam, Senin, 7 Desember 2015, pukul 20.00.
Program tersebut merupakan salah satu acara Festival Teater Jakarta 2015, tradisi tahunan masyarakat teater Jakarta sejak 43 tahun lalu (1973) yang diselenggarakan Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta dengan dukungan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta. Selama Oktober dan November lalu, 10 peserta terpilih dari berbagai kota di Indonesia mengikuti Bengkel Riset Naskah Drama bertema Album Keluarga: #50Tahun1965 dengan fasilitator Benny Johanes dan Berto Tukan. Program ini bertujuan memberi ruang bertumbuhnya penulis-penulis naskah drama muda. Rencananya dalam acara hari ini delapan dari sepuluh peserta pelatihan akan membacakan naskah-nasakahnya, dilanjutkan diskusi bersama Dolorosa Sinaga dan Benny Johanes.
Dewan Kesenian Jakarta menilai surat pelarangan oleh Kepolisian Republik Indonesia Daerah Metro Jaya adalah bentuk kesewenang-wenangan negara yang tidak bisa ditolerir dan dibiarkan. Dalam empat pertimbangan pelarangan di surat itu tidak satu pun berkaitan dengan materi acara, tetapi justru persoalan teknis pengamanan yang seharusnya diatasi dengan profesionalisme kepolisian.
- Pertimbangan “Kegiatan yang dilaksanakan mendapat protes dari kelompok yang mengatasnamakan Keluarga Besar Teater Jakarta Peduli FTJ…” menunjukkan kelemahan kepolisian sebagai representasi negara yang begitu mudahnya dipengaruhi bahkan didikte oleh orang atau kelompok masyarakat yang mempunyai pendapat berbeda. Negara, melalui semua aparatnya termasuk kepolisian, seharusnya justru menumbuhkan dan memelihara perbedaan pendapat untuk mengembangkan kekritisan bangsa yang semakin dibutuhkan dalam menghadapi realitas yang semakin mengglobal di depan mata kita.
- Pertimbangan “Adanya rencana unjuk rasa kembali…” dan “Adanya kerawanan terjadinya keributan dari kelompok yang Pro dan Kontra…” adalah pengakuan atas ketidak-profesionalan institusi kepolisian dalam menjalankan tugas-tugas pokoknya memelihara ketertiban, keamanan, dan kenyamanan masyarakat. Adalah kewajiban kepolisian untuk memastikan bahwa setiap unjuk rasa, yang merupakan aktivitas yang sama legalnya dengan kegiatan diskusi atau acara kesenian lainnya, dapat berlangsung lancar, tertib, dan tidak mengorbankan kepentingan masyarakat lain. Kepolisian tidak boleh dan tidak berhak berpihak pada salah satu di antaranya.
- Surat Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan DKI Jakarta yang meminta agar kegiatan dibatalkan diterbitkan atas permintaan Kepolisian Republik Indonesia Daerah Metro Jaya, tetapi kemudian malah digunakan sebagai dasar pertimbangan pelarangan. Dewan Kesenian Jakarta tidak memiliki kewajiban menyetujui imbauan tersebut dan telah menyampaikan kepada Kepala Dinas untuk tetap menyelenggarakan program ini.
Pelarangan ini bukan yang pertama terjadi setelah berakhirnya pemerintahan otoriter Orde Baru dan lebih khusus lagi pada rezim demokratis Jokowi-JK. Dalam program “Indonesia Menonton SENYAP” di berbagai penjuru Indonesia yang juga didukung oleh Dewan Kesenian Jakarta dan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia sejak 10 Desember 2014, sampai hari ini tercatat 34 kasus pelarangan atau pembatalan pemutaran film karena berbagai sebab dan alasan.
Atas dasar itu, Dewan Kesenian Jakarta menganggap kesewenang-wenangan kepolisian telah mencederai beberapa hal sekaligus, yaitu:
- Kekerasan terhadap kesenian, yang berarti juga pada kebudayaan dan peradaban. Dunia sedang memasuki zaman baru yang sangat terbuka dan bangsa kita menghadapi tantangan global yang tidak mungkin bisa dimenangkan jika tradisi kekerasan yang pernah membuat Indonesia terpuruk terus berlangsung bahkan dipelihara oleh negara.
- Intervensi ke dalam Taman Ismail Marzuki yang dibangun tahun 1968 oleh Gubernur Ali Sadikin sebagai ruang kesenian dan kebudayaan yang mengutamakan akal sehat. Sepanjang sejarahnya di tempat ini persoalan-persoalan kesenian dan segala perbedaan di dalammnya dipresentasikan, dibicarakan, didiskusikan, dan diperdebatkan secara bebas-terbuka
- Pelecehan terhadap Pasal 28 E Ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD 1945) yang menyebutkan, “Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat.” Jika negara mengingkari, berarti negara telah melakukan kejahatan serius terhadap warga.
- Pengkhianatan terhadap Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia yang menegaskan, “Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat; dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas.” Pelanggar ketentuan ini dapat dikategorikan sebagai pelaku kejahatan kemanusiaan.
- Penolakan terhadap butir 9 dari sembilan program prioritas pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla (Nawacita), yaitu “Memperteguh kebhinnekaan dan memperkuat restorasi sosial Indonesia melalui kebijakan memperkuat pendidikan kebhinnekaan dan menciptakan ruang-ruang dialog antarwarga.” Aparat negara yang tidak mendukung berarti melalukan pembangkangan terhadap pemerintahan yang sah.
- Pengingkaran terhadap Deklarasi Bandung untuk Kesenian Indonesia, yang merupakan keputusan dan rekomendasi Kongres Kesenian III 2015 di Bandung, 1-5 Desember 2015, yang salah satunya mendesak pemerintah mengeluarkan regulasi yang menjamin kebebasan berkespresi dan operasionalisasi kegiatan-kegiatan kesenian agar berlangsung dengan baik dan merata.
Merespons surat Kepolisian Republik Indonesia Daerah Metro Jaya bernomor B/19811/XII/2015/Datro, pada sore hari ini, Selasa 8 Desember 2015, Dewan Kesenian Jakarta mengumumkan langkah-langkah taktis dan strategis sebagai berikut:
- Untuk menghormati pimpinan dan institusi Kepolisian Republik Indonesia Daerah Metro Jaya sebagai pemegang otoritas keamanan di Jakarta, kami memutuskan untuk mengganti kegiatan diskusi hari ini menjadi Konferensi Pers dan tetap akan melanjutkan kegiatan Album Keluarga: #50Tahun1965 sesuai dengan rencana program Komite Teater DKJ.
- Meskipun demikian, Dewan Kesenian Jakarta tidak bersedia tunduk pada segala macam bentuk represi negara. Jika tunduk pada kesewenang-wenangan, Dewan Kesenian Jakarta akan dikutuk sejarah dan masa depan.
- Dewan Kesenian Jakarta meminta negara menghentikan intervensi ke dalam Taman Ismail Marzuki dan mengembalikan tempat ini sebagai ruang suci kesenian dan kebudayaan
- Dewan Kesenian Jakarta menyerukan perlawanan dan akan melakukan upaya hukum, sekaligus mengajak seluruh pekerja dan pegiat seni-kebudayaan, pro-demokrasi, dan komponen masyarakat sipil lain untuk bersatu menghentikan berbagai represi dan pelarangan kegiatan kesenian dan segala bentuk kekebasan berekspresi lain
- Dewan Kesenian akan melaporkan Kepala Kepolisian Republik Indonesia Daerah Metro Jaya atas kesewenang-wenanganmya menerbitkansuratB/19811/XII/2015/Datro kepada:
- Presiden Republik Indonesia
- Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
- Menteri Dalam Negeri
- Menteri Pendidikan dan Kebudayaan
- Kepala Kepolisian Republik Indonesia
- Gubernur DKI Jakarta
Untuk membatalkan surat tersebut, melakukan pembinaan, meminta seluruh jajaran kepolisian di Indonesia bekerja lebih profesional, serta mencabut hak kepolisian untuk membatasi atau melarang semua kegiatan kesenian dan segala bentuk kekebasan berekspresi lain.
- Dewan Kesenian akan terus mengawal proses tersebut agar kejadian seperti ini tidak terulang di masa depan
- Dewan Kesenian Jakarta akan mengabadikan surat B/19811/XII/2015/Datro di dalam Museum Temporer Rekoleksi Memori di Plaza Teater Jakarta untuk mengingatkan masyarakat, terutama generasi penerus bangsa, mengenai kekerasan negara terhadap kesenian yang terjadi hari ini sebagai bagian dari ingatan buruk bangsa Indonesia yang harus terus diingat dan dilawan agar tidak terjadi lagi di masa mendatang.
Lampiran