SCOT SUMMER SEASON 2015
TOGA TOYAMA JAPAN
8 AGUSTUS S/D 14 SEPTEMBER 2015
Bambang Prihadi
Puluhan pasang kaki dihentakkan ke lantai berulang-ulang. Tubuh-tubuh aktor serentak jatuh lalu perlahan berdiri. Mendadak, ruangan berubah. Gerakan demi gerakan dilakukan berulang-ulang. Menjelang latihan ditutup, semua aktor melakukan serangkaian gerakan, berjalan dengan variasi hentakan kaki. Dentum lantai kayu membuat jantung penonton yang hadir melihat latihan itu berdegup kencang dan sesekali menahan nafas. Kami yang hadir di antara penonton saat itu, duduk sebagai training member dari program musim panas Suzuki Method Actor Training yang diselenggarakan oleh Suzuki Company of Toga (SCOT).
Suzuki Company of Toga (SCOT) merupakan padepokan Tadashi Suzuki, sutradara teater modern Jepang yang menjadi salah satu kiblat teater modern dunia di Asia. Sejak Tahun 1976 Suzuki memilih Toga sebagai markas pelatihan teaternya, ketika banyak seniman lebih memilih Tokyo sebagai tempat ekspresi karya dan kebutuhan ekonomisnya. Toga berada di salah satu puncak wilayah pegunungan Toyama yang dibelah sungai Momose. Bila musim salju tiba, Toga merupakan daerah permainan ski yang mengasyikan karena memiliki ketebalan salju hingga 5 meter.
Suzuki memulai karir berteaternya 50 tahun lalu di Universitas Waseda Jepang dengan beberapa teman kuliahnya yang membentuk grup teater Waseda Sho-Gekijo (Teater Kecil Waseda). Setelah mementaskan berbagai naskah Barat dan lokal Jepang, ia menemukan kejenuhan dan kegelisahan. Ketika warga Jepang berbondong-bondong ke pusat kota, terutama Tokyo, mencari peruntungan hidup pasca perang, meninggalkan rumah dan kehidupan mereka sebagai orang desa, sebagai petani dan nelayan, sawah menjadi tak tergarap, rumah dan peternakan pun kosong. Melihat fenomena itu, Suzuki merasa bahwa teater harus menjawab problem itu, entah bagaimana caranya.
Suzuki mengajak serta aktor di Waseda Sho Gekijo untuk membangun studio dan ruang pentas di desa Toga, daerah Nanto, prefektur Toyama. Sejarah tempat itu mengingatkan kami pada Bengkel Teater-nya Rendra. Karena saat itu tak ada lagi tukang kayu yang tinggal, maka para aktor membangun sendiri rumah dan ruang berlatih mereka. Mereka juga melakoni kehidupan sebagai petani. Dengan didampingi oleh sahabatnya, Akiko Saito, dan arsitek ternama Jepang, Arata Isozaki, Suzuki muda dan kawan-kawan berlatih tanpa henti, dan pada saat yang sama menuliskan kegelisahan dan pemikirannya mengenai kesenian, kebudayaan dan kemanusiaan.
Ditemani istri setianya, Hiroku, dan sejumlah pengikut setia, Suzuki membeli rumah petani tradisional Jepang yang sederhana. Dari sana Suzuki mengeksplorasi tempat pertanian itu selama 40 tahun menjadi salah satu pusat kesenian di Jepang yang menjadi tujuan dunia. Suzuki membuka workshop panjang selama tahun-tahun pertama hingga menemukan satu metode pelatihan keaktoran yang berbeda dengan metode pelatihan yang ditemukan Constantin Stanislavsky, Vsevolod Meyerhold, Eugenio Barba, Peter Brook, Ariane Mnouchkine, (Jerzy) Grotowsky, Bertold Brecht bahkan Augusto Boal.
Salah satu hasil dari pergulatan pemikirannya adalah Metode Akting yang dikenal dengan Suzuki Training Method yang telah menyebarluas ke berbagai negara Eropa dan Amerika. Metode latihan ini berangkat dari pembacaannya yang mendalam terhadap filosofi dan bentuk kesenian tradisi Jepang (khususnya Noh dan Kabuki) serta sejarah panjang teater dunia dari zaman Yunani kuno. Unsur dasar yang diolah dalam latihannya adalah produksi energi, pengolahan nafas dan melatih keseimbangan/ pusat gravitasi tubuh. Ketiga unsur ini juga ditemukan di berbagai bentuk seni bela diri dan kesenian tradisional. Metode pelatihan ini dikenal tersebar luas sejak mulai diperkenalkan tahun 1984 ketika Festival Internasional Teater untuk pertama kalinya diselenggarakan di Jepang, tepatnya di Toga pada musim panas. Sejak itu, selama 30 tahun di setiap musim panas, Suzuki membuka kursus singkat keaktoran untuk seluruh aktor atau pencinta teater dari seluruh dunia.
Antusiasme peserta nampak dari banyaknya formulir pendaftaran yang terus datang ke meja kantor manajemen SCOT menjelang musim panas, meski tidak terpublikasi secara terbuka. Karenanya, setiap tahun manajemen SCOT sibuk menyeleksi calon peserta hingga hanya 20-25 orang dari ratusan calon yang umumnya mengeluarkan kocek sendiri di kisaran Rp 15 juta untuk 2 minggu pelatihan. Mayoritas murid Suzuki yang pernah belajar di Toga hingga master class, berinisiatif untuk membuka kursus di negaranya bahkan ada yang menjadikannya sylabus pembelajaran di sejumlah kampus seni ternama di Eropa dan Amerika serta sejumlah negara di Asia.
Dalam perkembangannya, seiring dengan metode pelatihan teater yang semakin meluas dan pencapaian karya artistik SCOT yang terbilang mendunia, Suzuki bekerjasama dengan pemerintah lokal membangun infrastruktur di wilayah sekitar sebagai pusat kesenian yang mampu menggerakan perekonomian masyarakat sekitar. Sejumlah gedung yang telah ia dirikan selama 40 tahun, antara lain: Toga Sanbu, Shin Toga Sanbu, Toga Dai-Sanbu, Toga Art Theatre, Rock Theatre dan Toga Open Theatre yang memiliki latar danau buatan. Seluruhnya menggunakan technologi kelas tinggi, sumber daya manusia yang trampil, bekerja efektif dan selera arsitektur minimalis, natural dan bernuansa tradisional Jepang. Ada pula fasililitas camping ground dan pemandian air panas yang sengaja dibangun pemerintah lokal untuk mendukung penyelenggarakan event-event festival yang mendatangkan banyak orang dari berbagai negara. Konsep yang begitu cocok dengan wilayah pegunungan seperti Toga. Fasilitas lainnya seperti asrama, kantor SCOT, Restaurant SCOT, dapur besar dan parkir dibangun untuk mendukung aktivitas kesenian di Toga.
Hubungan kerjasama antara pemerintah lokal, pemerintah pusat dan SCOT terjalin dengan sangat mutualistik dan saling melengkapi. Investasi besar telah dilakukan pemerintah di Toga dimana Suzuki diposisikan sebagai mitra utama dan konseptor. Suzuki dibantu pula oleh sejumlah manajer yang kuat seperti Ikuko Saito, Yosi Shigemasa dan arsitek visioner, Arata Isozaki dimana mereka memahami betul karakter wilayah di pegunungan Toyama dan bagaimana mengelola manajemen kesenian teater dengan pendekatan komunalistik namun profesional. Dalam beberapa kesempatan, Suzuki menyampaikan bahwa setelah bersusah payah mengawali babat alas desa Toga, baru pada tahun ke 15, dukungan pemerintah mulai nyata. Bahkan saat ini pemerintah tak pernah putus memberi dukungan padi seluruh kegiatan SCOT betapapun kritik pedas seringkali disampakan Suzuki pada pemerintah terkait problematika masyarakat Jepang.
Karya-karya panggung yang telah dilahirkan Suzuki tidak berkutat pada bentuk yang fisikal dan terpaku pada bentuk tertentu. Semua karya memiliki kemasan yang berbeda berdasarkan kebutuhan dan konsep pemanggungannya. Sebut saja enam pertunjukan yang sempat saya tonton selama saya berdiam di Toga, antara lain King Lear, Electra, Trojan Woman, Cinderella, Karatachi Niki dan Greeting from of the Edge of the Earth. Seluruhnya memiliki pendekatan dan bentuk yang jauh berbeda. Karya pertunjukan Trojan Woman yang sudah dipentaskan berkali-kali sejak tahun 1974, disebut-sebut sebagai karya masterpiece Suzuki yang sangat berbeda bentuknya dengan King Lear yang mengunakan 6 bahasa dan Electra yang menggunakan 3 bahasa, meski ketiga karya itu berangkat dari lakon klasik Yunani abad pertengahan. Berbeda pula dengan Karatachi Niki yang dimainkan 3 pemain Jepang dengan pendekatan dongeng. Selama hampir 1,5 jam mereka duduk, menghadap penonton, memainkan situasi dramatik yang diinginkan naskah. Berbeda pula dengan karya Cinderella yang menggunakan 3 bahasa dan karya Greeting from th Edge of Eart. Dua karya terakhir meski dengaan pendekatan hampir sama, yaitu opera, namun tempat pentas dan pencapaiannya sangat berbeda. Membuat pesan dan kesan penonton sangat berbeda atas karya-karya tersebut.
Menariknya, meskipun seluruh karya tak dapat saya mengerti secara verbal, namun terasa ada kedekatan dan kesan yang mendalam. Apalagi saya mendapat kesempatan untuk menonton beberapakali proses latihannya. Membuat saya perlahan memahami, bukan saja pada isi cerita namun juga tataran konsep, argumentasi, alasan dan filosofi dari karya Suzuki. Apalagi, enam pertunjukan yang saya saksikan saling menjalin benang merah dari pemikiran Suzuki yang memandang dunia saat ini ibarat rumah sakit. Karenanya, siapapun dan di manapun seseorang hidup seperti pasien yang tinggal menunggu proses penyembuhan atau kematian. Simbol yang digunakan di hampir seluruh pertunjukan adalah kursi roda, kecuali dalam pertunjukan Trojan Woman yang menggunakan mobil kecil yang rusak dan karatachi Niki dengan symbol sikap duduk kaku sejak awal petunjukan serta Cinderella yang memainkan konsep drama dalam drama. Namun tetap secara keseluruhan, kita akan dapat menangkap inti pesan tentang kesakitan dan keperihan Suzuki memandang dunia saat ini, terutama bertolak dari kegalauan generasi muda Jepang.
Suzuki Tadashi berhasil membuat para aktornya yakin bahwa pelatihan dasar melalui Metode Suzuki dapat membuat stamina permainan aktor tetap terjaga dan terolah dengan baik di atas panggung. Dampaknya, pertunjukan nampak selalu membawa kesegaran pada penonoton meskipun itu pentas ulang yang sudah ke sekian kali. Meskipun beberapa pertunjukannya cenderung menggunakan gaya klasik yang orakel, namun terbukti pertunjukan SCOT tetap dinanti oleh ribuan penonton dari seluruh penjuru yang sengaja datang ke desa Toga untuk menyaksikan pertunjukan ulang tersebut. Bagi mereka yang sudah pernah menonton, seperti tidak ada kata bosan. Suzuki tetap mempertahankan konsep dan konteks pertunjukan dengan pemain yang berganti-ganti. Maka terasa aktualitas dari pertunjukan melalui tubuh aktor yang berbeda memunculkan kesegaran itu.
Pelatihan dasar yang digagas Suzuki Tadashi, sekilas sangat fisikal. Konsentrasi di kekuatan jejak kaki yang tidak berbeda jauh dengan disiplin kuda-kuda dalam silat di indonesia. Sumber energi dipusatkan di bawah pusar dengan sirkulasi udara keluar masuk hanya melalui lubang hidung. Seluruh gerak nampak ekstrim dan melelahkan. Namun dengan sentuhan musikal yang dipilih suzuki dari komposer ternama, membuat pelatihan nampak indah dan terasa menyenangkan. Jadi betapapun melelahkan secara fisik namun menyenangkan secara batin. Setiap orang yang berkesempatan melihat pelatihan dasarnya, seperti menyaksikan pertunjukan teater itu sendiri. Semua dikondisikan untuk selalu berkonsentrasi, sadar tubuh, sadar ruang dan sadar penonton. Hal mendasar yang harus selalu terjaga adalah bagian tubuh di atas pusar dilatih terus menerus untuk tetap rileks dan siaga dalam sikap sempurna. Adapun bagian pusar ke bawah selalu dikondisikan tegang sebagai pusat energi dan jejak akar yang tidak boleh goyah.