Catatan dari Workshop teater berbasis riset pengalaman Teater Garasi
Oleh: Tiffany Robyn Soetikno
Waktu : 25 Juli 2016 (pukul 10.00 – 17.00)
Tempat : FIB UI – Depok
Instruktur : Yudhi Ahmad Tajuddin dan Ugoran Prasad
Peserta : 50 orang
Penyelenggara : Kerja sama Teater Garasi, FIB UI dan Dewan Kesenian Jakarta
Apa gunanya otak jika tubuh yang menentukan keputusan setiap orang?
Pada Senin (25/7), Yudi Ahmad Tajudin dan Ugoran Prasad dari Teater Garasi mengajar 50 orang peserta untuk berpikir menggunakan tubuh, seperti yang dicetuskan oleh Ann Bogart. Sebagai seseorang yang lebih nyaman beraksi di belakang layar, saya enggan untuk melakukan physicality exercises, dimana saya harus mengandalkan tubuh. Tetapi rasa enggan itu pun sirna di ruang kelas Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia (FIB UI) yang terasa aman dan hangat.
Workshop yang biasanya diselenggarakan selama lima hari, diadakan dalam enam jam yang pendek. Walaupun peserta tidak menjalankan setiap langkah pembuatan teater riset ala Teater Garasi, kami mendapat icipan dan intipan mengenai proses penciptaan berbasis riset. Kami merasakan bagaimana hasil riset, baik itu teks, image, dan hasil wawancara menjadi landasan untuk collective theatre atau teater yang dibangun bersama-sama.
Langkah pertama dari teknik ini adalah menemukan pertanyaan untuk didiskusikan. Lewat diskursus tersebut, kami mengumpulkan informasi dan menentukan kata kunci untuk mewakili pembicaraan kami. Proses serebral ini menjadi latar belakang dari proses fisik berupa improvisasi. Improvisasi memberikan pelaku kesempatan untuk menentukan kata kunci menggunakan tubuh kami masing-masing.
Tubuh menjadi kode untuk kata-kata perwakilan diskursus kami. Berikutnya, kami bekerja sama untuk membuat suatu komposisi. Walaupun sederhana, disinilah kami berperan sebagai pelaku serta pengarah. Kami diberi kesempatan untuk keluar dari komposisi yang telah dibuat untuk mengevaluasi dan mengubah bentuk atau posisi jika dirasa perlu. Bentuk, waktu dan jarak menjadi faktor penentu.
Walaupun kami telah menghabiskan setengah hari berbicara tentang peran tubuh sebagai pemikir dan pembicara, kami mengalami banyak kesulitan. Ternyata kebiasaan sulit dikalahkan oleh keinginan. Saking seriusnya kelompok kami menguras waktu untuk menentukan keputusan komposisi kami menggunakan otak. Seperti segerombol anak SD di lapangan sekolah, kami membutuhkan guru olah raga untuk memberikan kami aba-aba. Singkat kata, memilih untuk berpikir dengan tubuh itu jauh lebih sulit dari yang dibayangkan. Apakah manusia sepatuh itu kepada otaknya?
Keesokan harinya, pertanyaan yang sama melintas di benakku. Apakah tubuhku mampu membuat keputusan keuangan? Lututku naik turun, bergetar, tak bisa diam. Mungkin tubuhku telah membuat keputusan, suatu keputusan yang tidak disukai otakku. Posturku juga berubah dari awal pertemuan sampai sekarang, menggambar keputusan yang jelas. Memang tubuh tidak menyelesaikan masalah ini tetapi ia berhasil merefleksikan sentimenku terhadap keadaan yang telah terjadi.
Seperti teater secara umum, tubuh manusia bercerita tentang pengalaman, serta respons kami mengenai suatu kisah, situasi atau pertanyaan. Pelaku ditantang untuk mengkomunikasikan cerita kepada penonton hanya menggunakan tubuh mereka dan suara-suara tertentu. Terkadang naskah yang bisa dibilang bersifat lebih serebral baru muncul belakangan, setelah kebanyakan keputusan telah diambil.
Tidak semua keputusan memunculkan diri di otak pertama kali. Tantangan terbesarnya tidak terdapat pada pembuatan keputusan menggunakan tubuh, melainkan menyadari kapan tubuh mengkomunikasn keputusan tersebut.
Point-Point Workshop
Waktu | Kegiatan | Keterangan |
---|---|---|
9:30 | Pembukaan | Pembukaan |
Salah satu metode penciptaan di Teater Garasi: Research-based theatre (Collective creation) | ||
Pengantar | ||
Metode | Metode Penciptaan Bersama: | |
1. Menemukan pertanyaan (locating the question) | ||
2. Source work: gali sumber | ||
3. Improvisasi | ||
4. Kodifikasi | ||
5. Komposisi | ||
9:40 | Tugas | Pertanyaan: Masalah di Jakarta |
Perlengkapan: teks, image, dan benda | ||
9:45 | Pemanasan – View Points | Bagian dari improvisasi |
Gaya Pemanasan Ann Bogart | ||
1. Shape | ||
2. Tempo | ||
3. Jarak – Distance | ||
10:12 | Pembahasan Pemanasan | Lengkung itu lebih fragile, lurus itu lebih tegar |
Upaya untuk mencapai bentuk maksimal | ||
Kadang-kadang badan kita tidak bisa mengikuti apa yang ada dipikiran kita | ||
Konteks: menyadari batasan sebelum menawar dan menegosiasi | ||
Kemungkinan bisa dipelajari dan dijelajahi | ||
Kita perlu berangkat dari satu hal, dari sesuatu | ||
Pilihan keberangkatan itu adalah batasan | ||
Dramaturgi dari bahasa | ||
Bahasa adalah struktur | ||
Peristiwa diturunkan dari (anti-)struktur tertentu | ||
Physicality needs to follow imagination, vice versa | ||
Fiksi muncul dari imagjinasi internal (dari dalam) dan batasan (dari luar) | ||
Tubuh kita adalah arsip | ||
Praktek teater adalah praktek pencarian pengetahuan | ||
Apa yang membedakan teater dari ilmu pencarian pengetahuan lainnya? | ||
Tubuh memiliki kosa kata atau kendali sendiri | ||
Kesulitan membincang potretan yang dilakukan tubuh mereka | ||
Gerakan muncul sebelum kata-kata ada | ||
Kesimpulan diuji dengan tubuh (coporeality) | ||
Waham: persepsi mengenai imajinasi sendiri | ||
Pengamat aktif: crew, backstage, etc. | ||
Mengakhiri sesi improvisasi dengan pertanyaan ke aktor dan juga ke penonton | ||
10:22 | Locating the question | Buat group – dibagi jadi dua group |
Diskusi mengenai teks, image dan benda | ||
Ringkas dalam keywords (kata) | ||
11:25 | Pembahasan keywords | Keywords ditentukan orang-orang yang terlibat |
Observasi berdasarkan diskusi | ||
Tempat dan pelaku | ||
Keywords Kelompok 1: Muslihat, interaksi, ruang, sosial, dan trend | ||
Keywords Kelompok 2: | ||
Perjalanan tanpa peta | ||
Pertanyaan bisa berubah | ||
Kristalisasi ditentukan oleh tubuh | ||
11:28 | Improvisasi | Pendiskusian lewat tubuh |
Berangkat dari viewpoint dan dibawa menggunakan theatre of image (games for actors) | ||
Hasil dari source code ditubuhkan | ||
12:10 | Istirahat | |
12:54 | Mulai | |
14:07 | Diskusi | 1. Komunikasi dengan gerak merupakan tantangan bagi aktor |
2. Playback dan psychodrama | ||
3. Kllektif: melakukan riset bersama, menerampilkan bersama, sharing verbal dan non-verbal | ||
4. Diskusi sangat tajam | ||
5. Dialog terus berlangsung | ||
6. Tidak ada lagi otoritas tunggal dalam drama | ||
7. Otoritas dibagi | ||
8. Yang ditawarkan dari pengalaman ini: ketidak-terdugaan | ||
Penulisan naskah | 9. Penulisan naskah | |
10. Naskah selalu dinegosiasi | ||
11. Locating the question: menemukan pertanyaan di naskah menurut tim yang bekerja pada saat itu | ||
12. Semua diimprovisasi | ||
Kodifikasi | 13. Kodifikasi tidak terlihat dalam proses workshop 25 Juli, 2016 | |
14. Image merupakan kode yang bisa dipanggil ulang (dimainkan) | ||
15. Cut and paste | ||
Improvisasi | 16. Ditahap improvisasi tidak ada sutradara yang mengarahkan. Sutradara hanya menyiapkan suasana | |
17. Sutradara adalah fasilitator, moderator dan pemulung | ||
Riset | 20. Seluruh aplikasi seni bertumpu pada akumulasi pengetahuan tertentu | |
21. Hampir semuanya membutuhkan sebanyak-banyaknya informasi pada unit masing-masing | ||
22. Setiap jenis kesenian bertumpu ada sudut pandang tertentu | ||
23. Riset itu tidak baru, melainkan sesuatu yang wajar | ||
Menemukan Pertanyaan | 24. Siapa pencetus pertanyaan pertama? | |
25. Pencetus ide pasti ada seseorang | ||
26. Pertanyaan-pertanyaan baru akan muncul saat diskusi | ||
27. Setiap kali menyelesaikan satu komposisi, harus kembali ke pertanyaan pertama | ||
28. Belum tentu pertanyaan itu dijawab | ||
29. “Jika teater bertugas memberikan jawaban, siapa elu?” – Ugo | ||
30. Teater bertugas untuk menciptakan percakapan baru | ||
31. Teater didasari diskusi, bukan hanya spontan muncul | ||
32. Bagaiman diskursi melalui tubuh? | ||
33. Apakah komposisi tergantung pada tubuh? | ||
14:38 | Showcase | Showcase aktor Teater Garasi |
14:50 | Penutup |
Foto: Sartika Dian Nuraini