Dewan Kesenian Jakarta prihatin terhadap kondisi dunia penerbitan yang terus menurun. Melansir artikel harian Kompas pekan lalu bahwa pada 2010 rata-rata produksi buku dan angka penjualan buku menurun antara 30% – 75%, yang umumnya banyak dialami oleh para penerbit kecil. Selain karena lemahnya daya beli masyarakat, sistem tata niaga perbukuan serta tak adanya dukungan dari pemerintah, faktor lain yang mempengaruhi yaitu biaya produksi seperti harga kertas serta pajak kertas yang melonjak tajam.
Menanggapi kondisi itu, Ketua Komisi Kajian Kritik Dewan Kesenian Jakarta, Zen Hae mengatakan kelesuan dunia penerbitan sebetulnya telah dirasakan sejak tahun 1970-an.
“Walaupun pernah ada proyek inpres buku pada 1974, yang mana pemerintah membeli sejumlah buku untuk disebarkan ke sekolah-sekolah untuk membantu penerbit kecil, namun upaya itu tidak berlangsung lama”, kata Zen.
Zen Hae yang pernah terlibat dalam penulisan buku 50 Tahun IKAPI menambahkan, pajak dan harga kertas yang terus meningkat, masih menjadi momok yang secara langsung membebani dunia penerbitan, terutama para penerbit kecil.
Dampak Terhadap Dunia Kesastraan
Dalam dunia sastra, buku menjadi salah satu elemen penting. Sejak lama karya-karya sastra dipublikasikan dan umumnya dinikmati melalui buku atau penerbitan. Meski demikian, ia tidak sependapat jika kondisi lesunya dunia perbukuan yang terjadi di tanah air saat ini merupakan pertanda menurunnya animo masyarakat terhadap dunia sastra.
“Pasalnya dalam beberapa tahun terakhir peneritan buku sastra, terutama novel dan kumpulan cerpen justru kian marak, terutama di Jakarta”, Zen beralasan.
Zen mengungkapkan, perkembangan internet dan media sosial juga banyak membantu para penulis dalam memasarkan karya mereka.
“Sehingga saat ini banyak penulis yang tidak menyerahkan penjualan buku pada pihak penerbitan, melainkan dilakukan secara mandiri melalui jejaring sosial”, ungkap Zen.
Zen menambahkan, gejala lesunya penerbitan saat ini juga bukan semata-mata karena daya beli masyarakat yang menurun, namun justru menjadi pertanda bahwa semakin malasnya masyarakat membeli buku karena mereka bisa mendapatkannya dengan lebih murah dan mudah melalui internet.
Zen Hae malah lebih khawatir dengan konten dan kualitas karya sastra. Menurut dia, dengan semakin mudahnya mempublikasikan karya sastra melalui media sosial, sehingga kalangan umum sulit membedakan antara karya sastra yang baik dengan karya sastra yang dibuat hanya untuk sekedar bersenang-senang oleh para pesastra “wanna be” itu di blognya masing-masing.
“Kekhawatiran yang sebenarnya adalah mengenai lesunya penerbitan kritik sastra. Kebanyakan penulis yang berteriak-teriak mengenai kealpaan kritik sasta sendiri tidak mengerjakan kritik sastra. Maka dari itu, Dewan Kesenian Jakarta mencoba membangun kembali gairah kritik sastra melalui program “Sayembara Kritik Sastra” yang rencananya akan diadakan kembali tahun ini”, tutup Zen.
(Sakya AW | DKJ)
(Foto KOMPAS/LUCKY PRANSISKA)