Diskusi Kineforum di Radio Utan Kayu
Episode 5 / Januari 2008
Di kesempatan ini kita kembali berdiskusi dengan kineforum Dewan Kesenian Jakarta. Topik diskusi kita kali ini adalah “Karakteristik Sinematografi Film Indonesia”. Dalam diskusi ini kita akan mencoba melihat pandangan dan sikap kreatif sinematografi penata cahaya film Indonesia dalam mencari solusi terhadap kendala produksi dan biaya film Indonesia. Untuk berbincang seputar ini, sudah ada Arya Adni ketua jurusan film IKJ yang juga merupakan dan sinematografer dan under writer sinematografi spesialis. Kemudian juga ada Prima Rusdi, penulis skenario dan penulis editor buku Bikin Film Kata Empat Lubuk Kerja Film.
Jika bicara soal sinematografi dalam sebuah film, sebenarnya lingkupnya apa?
Arya: Sinematografi sebenarnya menerjemahkan sebuah konsep cerita ke dalam sebuah visualisasi yang sebenarnya. Di sini pun ia tidak bekerja sendiri. Dalam arti, jika kita membuat film itu bisa disebut pekerjaan sebuah tim pembuatan film; mulai dari penulis, produser, sutradara, sinematografer, suara, editing, dan artistik. Semua itu mendukung konsep dari cerita dan sutradara. Jadi, ada urutan-urutan tertentu sehingga kita bisa tahu bahwa sebuah film itu dikatakan bagus berkaitan dengan masuknya kaidah-kaidah tadi.
Bagaimana dengan kondisi film dan sinema kita saat ini?
Prima: Mungkin yang dimaksud kaidah seperti yang Mas Arya katakan lebih tepatnya tahapan. Artinya film itu memang untuk jadi suatu film berdurasi 110 atau 90 menit itu bisa dikatakan orang sekampung yang terlibat. Jadi memang tahapannya itu dari persiapan yang menjadi kunci. Karena untuk melahirkan sebuah film banyak ditentukan di fase ini, dan sayangnya, sekarang banyak sekali yang melewati fase ini. Jika sekarang dikatakan film Indonesia tidak menjadi tuan rumah, itu agak kurang tepat. Karena meskipun tidak ada riset yang di publikasikan untuk umum, tapi memang banyak sekali jumlah penonton yang kembali ke bioskop karena mulai ada film Indonesia. Nah, jika keragaman tema itu lain lagi masalahnya. Keragaman tema itu kadang-kadang penentunya banyak, artinya sejauh mana kita konsisten dengan kebebasan berbicara. Misalnya, sejauh mana kita punya keberanian untuk memprovokasi sistem sosial yang ada dan sejauh mana akhirnya orang menghindari hal-hal yang dianggapnya bakal kompleks. Dengan kata lain, “ya udah bikin aja yang ‘aman’.” Artinya yang pasti lulus sensor dan menjual. Jadi, kita kembali ke dasar pemikiran bahwa film itu kan berawal dari gagasan. Nah, gagasan mana yang akan kita pertahankan dan kita rasa layak untuk kita angkat jadi film.
Bicara tentang logis, sebenarnya ada atau tidak kategori yang menentukan bagus tidaknya sinematografi dalam sebuah film?
Arya: Bisa disebut bagus jika film itu bisa menerjemahkan cerita, karena indah bukan berarti punya arti dalam cerita horor.
Prima: Saya setuju 100% dengan apa yang dikatakan Arya. Orang ke bioskop itu memang sebenarnya bukan untuk menonton gambar, karena yang sebenarnya yang kita bawa pulang adalah penggalan dari cerita karena kita mengalami, bagus atau tidaknya kita bisa lihat nyambung atau tidaknya cerita itu.
Bagaimana dengan kondisi perkembangan sinematografi kita sekarang ini?
Arya: Sekarang perkembangannya cukup pesat dalam arti kemudahan dari teknologi dan banyak sekali kemudahan yang diberikan oleh teknologi digital saat ini. Tapi kembali terhadap manusianya sendiri.
Indonesia pernah mengalami periode produksi film Indonesia itu jauh menurun. Bbagaimana dengan para pekerja-pekerja film, apakah pada saat itu juga kreasi kemudian kreativitas sempat mandek, atau justru mencari di media lain seperti iklan atau sebagainya?
Prima: Ini yang perlu kita sama-sama ingat, kepemilikan alat produksi kamera dalam hal ini sebenarnya sudah ada pergeseran yang luar biasa. Kalau dulu hanya dimiliki sedikit pihak, tapi sekarang menggunakan kamera handphone juga bisa membuat film sebetulnya. Jadi, saya pikir era di mana film itu bisa 100% kita matikan itu tidak mungkin. Kalau masalah kreativitas itu banyak interprestasinya juga. Barangkali juga yang paling penting adalah bagaimana caranya kita bisa merekam penggalan cerita yang memang kontekstual dan bisa kita jadikan dokumentasi terhadap masa itu.
Jadi, perfilman Indonesia mulai mengalami perkembangan yang cukup pesat pada periode berapa?
Arya: Perkembangan terjadi mengikuti perkembangan digital itu sendiri.
Prima: Tetapi sebenarnya, syuting dengan alat digital bukan berarti lebih mudah atau lebih murah karena masih ada fase lainnya dari penyempurnaan film itu. Ada juga jenis-jenis film-flilm tertentu yang tidak bisa menggunakan digital.
Kecenderungan itu membuat pergeseran orang banyak lebih memilih menggunakan digital?
Arya: Orang banyak bergeser ke digital karena ‘kita memilih peralatan bukan karena konsep tapi biasanya karena bundget.’ Tapi di sini yang menentukan visual image itu ada 3, yaitu sutradara, sinematografer, dan artistik. Peralatan dipilih karena kebutuhan cerita dan konsep.
Untuk eksplorasi, apakah medium-medium seperti itu cukup menghalangi/membatasi?
Arya: Untuk berlatih tidak masalah. Tapi kalau kita mau berpikir kualitas, kita harus berpikir “kita mau buat ke mana, sih?” Ke TV ke bioskop atau video untuk handphone.
Kalau bicara sinematografi, apakah dialog termasuk bagian dari itu?
Prima: Dialog adalah bagian dari karakter, artinya tidak bisa dipaksakan semua film diharuskan menggunakan bahasa baku karena sejujurnya hasil dari pembutan film itu kita tidak bisa nilainya kita pilah-pilah. Dia sudah menjadi satu kehidupan sendiri.
Ada tidak kekhususan dari sisi sinematografi saat ini sehingga ciri dari film itu bisa terlihat berkuallitas atau tidaknya?
Prima: Kalau saya pikir, lagi-lagi berangkatnya dari ceritanya. Kalau adegannya seperti ini, ceritanya seperti ini, kompleksibilitasnya begini, objektivitasnya memang bukan membuat tampak cantik tapi tampak nyata. Jadi, keputusannya bukan hanya semata-mata keputusan estetika, tapi masalah komunikasi secara emosi apa yang terbaik buat penonton. Artinya, sudah ada keberanian untuk tidak memanipulasi gambar atau meringankan keadaan.
Arya: Pertama, orang itu mellihat. Jadi awalnya film itu adalah vision/ penglihatan, penglihatan ini harus mempunyai makna. Di sini pekerjaannya itu bukan hanya art, tapi juga ada teknologi dan ada teknis.
Siapakah mereka-mereka yang terlibat dalam sinematografi film-film Indonesia? Dari mana awalnya mereka?
Prima: Saya pikir, kalau sinematografer mau tidak mau dia harus punya pemahaman teknis dan mau tidak mau mellibatkan yang namanya teknologi dan sejujurnya dari segi aspek produksi ini bukan posisi main-main.
Arya: Seharusnya, hampir semua kru di dalam sebuah produksi film dia harus tahu semua departemen yang lain.
Prima: Sebetulnya kembali pada 3 tahapan itu tadi. Jika misalnya di tahap persiapan produser, sutradara, dan penulis, mau tidak mau mereka harus nyambung.
Arya: Seperti yang saya bilang tadi, untuk visual image 3 orang ini. Karena sekarang di Hollywood, sebelum syuting itu semua sudah dibuat seperti animasinya. Jadi, desainnya itu bukan saja lebih ke skenario tetapi lebih dibuat lagi pre-visualisation.
Sebenarnya, antara skenario dengan film ini komunikasinya seperti apa, rumit tidak?
Prima: Film itu kerja sama-sama, persiapan ini penting sekali. Banyak orang yang masih berpikir bahwa fase persiapan ini bisa di-longkap. Ini kebalikan dari orang-orang sineas; kalau kita memang belum siap, belum syuting. Kesalahan pada saat syuting itu tidak bisa semuanya diatasi di post production. Jadi memang persiapan itu tujuannya supaya syuting berjalan selancar mungkin, karena materi pada saat syuting itulah kesempatan kita untuk melahirkan film yang baik ini tadi.
Apakah ada penekanan dalam penawaran pengurangan waktu?
Prima: Mungkin banyak sekali kawan-kawan kita yang mengalami harus bekerja dalam kondisi seperti itu karena juga mungkin banyak sekali orang-orang yang masuk ke industri ini. iItu yang mungkin disebut tahap uji coba dulu untuk mengetes apakah dunianya memang benar di sini atau bukan.
Pernah mengalami hambatan tidak pada sinematografi karena teknis?
Prima: Menururt saya banyak sekali hambatan, bukan hanya dari segi teknis tapi juga pada peralatannya karena peralatan sangat terbatas sekali bahkan tempat penyewaan juga hanya ada beberapa tempat.
Arya: Menurut saya, banyak juga kendala dari segi teknis, karena kita tidak bisa memilih, pilhan awal kita adalah budget.
Jika dibandingkan dengan negara lain, dari sisi sinematografi kita sejajar dengan siapa?
Prima: Kita termasuk yang leading, sebagai contoh di Malaysia itu masih banyak sekali yang menggunakan teknik dubbing, sedang di kita sudah tidak menggunakan itu, bahkan tidak mau. Saya pikir, sejak dua-tiga tahun terakhir ada beberapa film kita yang diputar di sana dan hasilnya cukup memuaskan dibanding dengan film buatan mereka sendiri.
Ketika penonton menonton film, sejauh ini apakah mereka juga melihat dari sisi sinematografinya?
Arya: Menurut saya kalau penonton melihat ke sisi sinematografinya, justru tidak sampai karena mereka melihat dari segi teknis,yang harus dirasakan penonton adalah mereka masuk dalam film itu.
Kira-kira film ini lebih ke mana sinematografinya, apakah lebih yang ke kolosal atau lebih cenderung memotret kota Jakarta?
Prima: Menurut saya kalau masalah keragaman kita tidak bisa memprediksi. Jadi memang masalah kapasitas dan penyikapan terhadap pekerjaan ini jadi sangat penting, barulah kita bisa bicara lagi tentang keragaman.
Kalau bicara sinematografis lagi-lagi kalau dibandingkan dengan negara lain dalam beberapa festival ini untuk se asia tenggara saja atau ikut bersama sama berkompetisi. Anda melihat kemampuan teman teman anda bagaimana?
Arya: Tidak bisa dipungkiri beberapa festival juga, teman teman banyak yang dapat penghargaan.
Kita lebih unggul itu apakah dari segi teknis atau dari segi eksplorasi dan juga idenya?
Prima: Dari segi menghidupkan cerita itu tadi, lebih ke bahasa visual.
Kalau teman teman yang di negara seperti singapura Malaysia itu mereka cenderung karena apa jika dibandingkan denga sinematografi Indonesia.
Arya: Relatf ya, ini sebuah kreativitas yang perkembangannya tergantung pada sebuah tim kerja, karena film terbaik yang dapat award itu adalah yang banyak mendapatkan award.
Prima: Satu hal yang kita punya adalah aset dari kita sendiri karena komunikasinya cukup bagus.
Secara keseluruhan iklim mempengaruhi tidak dalam kretif sinematografi kita misalnya dari pemerintah, kondisi ekonomi disbanding denga negara lain?
Prima: Sangat mempengaruhi, kebiasaan di singapura itu sineasnya tidak punya kebiasaan untuk kumpul-kumpul, sedang di kita agak kebanakan sering kumpul artinya tiap hari kita bisa ketemu dan ngobrol dan itu dapat mempermudah pekerjaan kita.
Kalau banyaknya festival-festival itu menyerap, bagaimana ide ide untuk membuat film?
Prima: Bukan hanya ide tapi festival itu sendirikan harusnya jadi forum, buat para pembuat film untuk ketemu dan yang paling penting adalah tempat ketemu publik.
Kalau bicara masalah pendidikan bagi teman teman yang ingin bergelut dalam dunia film Indonesia, kalau di IKJ ini tiap tahunnya bagaimana teman-teman yang ingin serius bergelut jurusan film IKJ?
Arya: Lumayan meningkat dalam arti calon calon sangat banyak, tapi yang disayangkannya adalah mereka pikir ini sekolah seniman, maksudnya lebih banyak yang ingin menjadi seniman daripada mau belajar karena yang kita ajarkan di sini bukan artistic saja, di sini ada teknologi, wawasan pastinya, ini yang membuat kita agak sulit menerima calon mahasiswa.
Ketika dikenalkan dengan sinematografi Indonesia, sebenarnya apa yang dikenalkan kepada mereka pertama kali?
Arya: Sejarah pastinya, tapi basenya adalah bahasa visual, kita coba merubah cara berkomunikasi.
Setelah lulus, apa yang dikejar oleh mereka mereka ini untuk menciptakan pekerja film yang lebih bagus lagi dari teman teman?
Arya: Agak sulit, maksudnya saya juga sangat sayang kepada teman teman yang ada di luar dalam arti yang sudah bekerja dalam industri itu, apa yang kita sudah ajarkan tiba tiba di industri itu lain lain. Jadi tidak ada standar. Apalagi yang sangat disayangkan pada tahun 97’an itu sangat jarang akhirnya semua berbondong bondonglah kepada TV produksi sinetron. Ini yang merubah etitut yang biasanya kita disiplin dengan pembuatan film tiba tiba diharuskan kita kejar tayang. Ini yang kadang kadang bukan masalah teknologi atau teknisnya tapi masalah etitut. Jadi, ini yang harus sama sama kita coba rubah artinya tidak hanya dari sisi pendidikannya saja tapi kita semua harus bisa mulai mencari titik temunya.
Jadi, setelah masalah periode itu anda melihat karena banyak orang bekerja di sinetron kemudian bekerja di film, sempat ada gep komunikasi untuk pembuatan dari sisi teknis dan sebagainya?
Prima: Saya pikir ini adalah pilihan besar pada saat kita bilang “ ok saya akan bikin film” karena ada yang berpikir dan “sayang sekali memang bisa” melakukannya. Jadi memang artinya dia punya satu hal yang membebaskan pilihan untuk membuat film ini arinya bisa jadi membebaskan bisa juga membebaskan secara salah. Saya pikir, kalau saya menangkap omongannya Arya tadi dengan benar pada akhirnya lepas dari sekolah inipun sebetulnya barangkali ada hal hal lain yang sebaiknya teman teman serap dulu sebelum kemudian memilih karena kalau ingin bekerja dengan cepat pilihannya itu lebih terbatas.
Untuk soal latihan tadi sudah disinggung, pembuatan film pendek yang trendnya terus meningkat, anda melihatnya seperti apa?
Prima: Saya pikir ini baik sekali artinya mereka bisa latihan bertutur dengan kamera.
Kalau pemilihan judul ini termasuk ke dalam persiapan pembuatan film tidak?
Prima: Judul itu menarik, bisa jadi melewati beberapa fase. Jadi, kadang kadang ada pertimbangan yang kita juga ingin kalau kita belum terlalu yakin dengan judulnya tapi sudah cukup yakin dengan ceritanya jadi harus ada working title karena kalau tidak, kita akan susah mau menata bagian alatnya. Tapi memang pada akhirnya pastinya di satu titik kita akan duduk sama sama untuk memutuskan judul yang tepat. Judul mencerminkan ceritanya.
Memang ada setiap negara itu punya karakteristik sendiri untuk sisi sinematografinya?
Arya: Tidak ada.
Orang lebih melihat antara satu negara, kelebihan film itu di mana?
Arya: Kalau dibilang karakteristik sinematografi dibagi dalam negara saya pikir tidak. Karena kita menerjemahkan sesuatu apa yang kita mau terjemahkan.
Kebanyakan para pembuat film hanya menyajikan tema film yang hanya menurut kisah yang dipaksakan tanpa alur cerita yang terkadang melenceng dari judul filmnya?
Prima: Kalau kita mau menarik kesimpulan sebaiknya kita punya data untuk menjawab pertanyaan seperti itu. Kalau saya bolak balik membicarakan tentang persiapan itu karena untuk menyempurnakan atau menghindarkan dari hal hal seperti yang istilahnya dipaksakan itu tadi.
Kalau bicara soal kondisi teknis juga bundget, bundget ini sebenarnya berapa besar pengaruhnya dari semua film kita atau apakah bisa diturunkan, bisa dimain-mainkan sehingga kita bisa menyesuaikan dengan bundget tersebut tapi produksinya kadang kadang juga kurang memuaskan atau bahkan jauh dari ide cerita sebelumnya. Apakah anda pernah mengalaminya?
Prima: Yang saya pelajari dan saya background saya juga bukan sekolah film ya, sebenarnya yang namanya bundget itu seperti uang jajan, dikasih berapapun pasti kurang. Pernah ada penyesuaian disatu produksi di mana pada saat kita turunkan dari script itu biayanya kurang lebih 10 kali dari yang semampu kita, pilihannya adalah menunda proses pembuatan film itu atau melakukan penyesuaian dari tahapan script. Jadi sebetulnya seni juga mencari solusi bersama sama dengan yang lain.
Sebagai orang yang bergelut dalam bidang film, penggarapan sinematografi film kita dalam tiga empat tahun belakangan ini bagaimana?
Arya: Sangat variatif dalam arti, produksinya juga macam macam ada yang mengejar artistic ada yang mengejar uang. Intinya adalah bukan berarti semua itu ada nilai murah atau mahal karena kalau kita bilang murah sebuah rumah produksi film bukan mahal itu bukan dilihat dari peralatannya tapi dari motivasi daripada kita membuat film itu apa.
Prima: Karena satu film itu sebetulnya umur dia akan lebih panjang dadri si pembuatnya. Jadi, yang paling penting adalah selalu ada ruang untuk berdiskusi soal ini, artinya memahami film itukan bukan hanya memahami isi tapi juga memahami proses.