Inikah bukti kemandirian komikus Indonesia ‘baru’? Mulai dari ide cerita, ilustrasi, memperbanyak dengan fotokopi dan menjualnya harus dilakukan sendiri! Bahkan yang menikmati juga hanya seputar komunitas penggemar komik semata. Bagaimana dengan sisa puluhan juta penduduk Jakarta ataupun ratusan juta penduduk Indonesia dapat menikmatinya?
Setidaknya melalui Eksposisi Komik DI:Y = Daerah Istimewa Yourself yang berlangsung 3-17 Maret 2007 di Galeri Cipta II -TIM, diharapkan sepersekian puluh juta penduduk Jakarta dapat tertawa ataupun terperangah menyaksikan 11 komikus Indonesia menyuarakan karyanya. Athonk dengan “Punk-Old Skull” yang penuh hentakan, spontan terkadang menguak kemarahan. Bambang Toko yang menjungkirbalikkan norma lewat Toyib, pahlawan babi memerangi atheis dan kemusyrikan. Didoth, mengulas tawuran dengan gaya gerak bebas kamera. Eko Nugroho yang membuat sejumlah panel komik dadakan di ruang pamer Galeri Cipta karena harus kembali secepatnya ke Yogya. Iwank yang juga dari kota gudeg Yogya mengulas seputar ganja dan halusinasinya. Mail atau Ahmad Ismail dengan karya ‘Sukribo’-nya yang bisa kita nikmati di harian Kompas, ternyata justru memiliki gaya lainnya yang mengangkat budaya lokal. Ia sering mendapat julukan komikus industrialis karena berjuang menembus penerbitan besar.
Beng Rahadian, penggagas Akademi Samali, juga ikut ambil bagian. Ia memiliki gaya bertutur dan ilustrasi yang beraneka ragam. Dalam perjalanannya saat ini, ia lebih menyukai sapuan surealis yang menekankan ‘visual yang berbicara’ minus narasi. Sangatlah berbeda dengan komik Selamat Pagi Urbaz (2002) yang dikatakannya lebih pop.”Apa yang saya lakukan tidak ada unsur kesengajaan. Cerita gempa Yogya itu lebih ingin mengangkat ‘soul’-nya. Tidak bisa digambarkan secara realis (seperti dunia tempat kita berpijak – red), tetapi lebih ke alam lain. Bencana itu sulit digambarkan,” begitu ungkapnya menjelang pembukaan pameran.
Empat komikus lainnya seperti Iput dan Oyas Sujiwo, suami-istri yang lebih banyak berkecimpung di dunia animasi, mempersembahkan komik yang konyol bin bodor. Oyas di masa lalunya begitu fanatik dengan anime dan komik manga, tiba-tiba berputar haluan ke DIY. Sedangkan Prasajadi, komikus termuda yang memanfaatkan tekno digital untuk melahirkan gaya bertutur baru. Terakhir, tetapi bukan akhir dari segalanya adalah Tita, ibu dua anak yang belum lama menginjakkan kembali kakinya di Bandung setelah bertahun-tahun di Belanda, mempresentasikan kisah hidupnya saat mendapat bea siswa ke Jerman dan Belanda. Mulai dari kertas A4 yang penuh dengan kisah perjalanannya sampai ia memutuskan untuk melanjutkannya pada buku A5 setebal novel yang sudah masuk sampai buku keenam. Kita dapat menyimak potret kehidupan dirinya yang sampai sekarang belum memutuskan apakah orang lain akan tertarik dengan ceritanya,”Soalnya tidak ada tragedi sih…”, sahutnya ramah, meski baru tiba dari Bandung yang memboyong orang tua dan putrinya yang senang menghirup teh kotak.
Mengapa mereka terpilih mewakili komikus angkatan DIY ini? Menurut Hikmat Darmawan, sang kurator, kesebelas komikus ini memiliki ciri individu yang kuat dan selalu konsisten menyumbangkan karya dengan etos modus produksi ala DIY. Sejak 1994, etos ‘membuat komik sendiri’ ini terakselerasi dengan kuat, terutama di Yogyakarta, Bandung dan Jakarta. Mereka memiliki kemampuan berkarya tanpa harus memiliki modal besar, karena dapat dipresentasikan lewat internet (seperti yang dilakukan Tita) atau hanya bermodalkan fotokopi dan digitalisasi. Dengan presentasi pameran yang minimalis, tanpa panel yang memakan biaya, acara Eksposisi Komik DI:Y tampil apa adanya, seakan ingin menunjukkan: sederhana namun kaya makna. (Vashti Trisawati Abhidana/dkj)