Hari kedua Coaching Class Master Class Manajemen Talenta Nasional (MTN) Lab Dewan Kesenian Jakarta, peserta semakin matang dengan materi yang diberikan. Hari kedua difokuskan pada proses swasunting dan penyuntingan profesional.
Anggota Komite Sastra yang mengatur Program Sayembara Novel DKJ 2025, Dewi Kharisma Michellia, mengatakan menjadi penulis hendaknya memiliki sikap yang rendah hati dan tidak angkuh. Harus menyadari karya mereka pasti ada kekurangan.
“Alice Monroe saja, sekian dekade berikutnya, ia masih menyunting karya pertamanya yang terbit di majalah pada tahun 1940. Ia merasa tidak puas dengan karyanya itu. Banyak penulis dunia yang melakukan hal serupa, kita mungkin sebaiknya punya sikap bijaksana yang sama. Mari kita sama-sama belajar kembali soal penyuntingan,” ungkapnya.
Materi hari kedua dipandu oleh para penyunting penerbitan profesional, yaitu Dwi Ratih Ramadhany (penyunting/sastrawan) serta Ninus Andarnuswari (penyunting). Peserta diperkenalkan dengan prinsip-prinsip penyuntingan naskah, cara membaca ulang karya secara kritis, teknik memperbaiki kalimat dan alur, juga pentingnya menjaga konsistensi dan kedalaman dalam penulisan.
Diharapkan, setelah kelas penyuntingan naskah pada hari kedua, para penulis dapat memiliki kemandirian dalam merivisi naskahnya sebelum dipertemukan dengan editor penerbitan. Juga memiliki keyakinan akan perlunya perbaikan naskah sebelum benar-benar siap untuk dikirimkan pada penerbit.
Menurut Dwi Ratih, dalam hal teknis, ada beberapa poin dalam penyuntingan naskah yang perlu diperhatikan. Yang pertama adalah konsistensi. Penulis sebaiknya memperhatikan konsistensi dalam karya mereka baik dari segi ejaan, tata bahasa, tanda baca, diksi, selingkuh, dan lainnya.
Hal ini, kata dia, juga bisa dilakukan dengan mengeksplorasi penggunaan pancaindra dalam narasi. Sementara yang kedua, yakni sudut pandang. Penulis sebaiknya mempertimbangkan kekuatan dan kelemahan masing-masing sudut pandang untuk genre yang dipilih.
“Terakhir yaitu konstruksi kalimat. Kita sebagai penulis sudah seharusnya menyingkirkan kalimat repetitif jika tak punya peran penting. Ini termasuk kata-kata klise, kalimat kesayangan penulis, serta kalimat tidak efektif,” tuturnya.
Dwi Ratih mengingatkan tidak ada naskah yang benar-benar sempurna dan penulis tidak boleh menganggap pembaca sebagai pihak yang tidak mampu memahami detail.
“Pembaca itu sudah sangat pintar ya dalam identifikasi hal kayak gitu. Nah karena itu, penulis harus terbuka dengan kerja personal dan kolektif. Kolektif di sini ya tugas-tugas sebagai editor, itu enggak bisa dilakukan sendiri. Kita sebagai penulis harus terbuka, harus komunikasi sama mereka,” tutupnya.
Selain itu, kata Ninus, menyampaikan manusia adalah tempat ketidaksempurnaan. Justru lewat novel, penulis dapat berekspresi dan bereksperimen dengan cara yang tidak dapat dilakukan oleh mesin, termasuk AI yang kini banyak digunakan.
“Juga, saya berharap kalian bertemu dengan editor yang bisa menjadi teman diskusi yang baik. Editor seperti ini, selain sebagai teman, juga bisa menegosiasikan naskah kalian dengan divisi marketing penerbit, ya sampai ke hal advokasi naskah seperti itu,” kata Ninus.
Karena itu menurut dia, penulis tidak seharusnya alergi bekerja bersama editor. Malah, menurut Ninus, bekerja bersama editor bisa sangat dimanfaatkan untuk berdiskusi banyak hal dalam penyempurnaan naskah.
Sesi pada hari kedua ditutup dengan pemberian wejangan oleh Koordinator MTN Sastra, David Irianto yang meminta peserta tetap bersemangat untuk hari ketiga coaching clinik Sayembara Novel DKJ 2025.
“Materi hari terakhir itu tentang intelektual properti dan terbuka untuk umum. Ini akan berfokus pada bagaimana agar karya teman-teman bisa bersinar dengan potensi-potensi ke depannya. Baik bagi pembaca nasional atau internasional,” tutup David.
(Komite Sastra)
