Jakarta memasuki penghujung tahun 2025 dengan denyut yang berbeda. Di tengah persiapan kota menyongsong usia ke-500, Komite Film Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) bersama Indonesian Cinematographers Society (ICS) menggelar Pekan Kineforum 2025, sebuah rangkaian penyelenggaraan film yang tidak hanya menghadirkan tontonan, tetapi juga memupuk pengetahuan, pertemuan gagasan, dan jalinan kolaborasi yang semakin memadat di ekosistem film Jakarta. Program ini berlangsung pada 23 November 2025 di Rubanah Underground Hub, dan dilanjutkan pada 3 hingga 6 Desember 2025 di berbagai ruang di Taman Ismail Marzuki, termasuk Teater Asrul Sani, Studio Sjuman Djaya, Studio Latihan Seni Rupa, dan Studio S. Rukiah Kertapati.

Pekan Kineforum 2025 dimulai dengan menempatkan karya dua sutradara perempuan awal Asia, Ratna Asmara dan Kinuyo Tanaka  sebagai titik berangkat. Dalam ruang basement Rubanah Underground Hub yang temaram dan hangat, penonton duduk rapat, menyimak pemutaran Dr. Samsi (1952) dan Forever a Woman (1955). Bersama Kelas Liarsip, program ini membuka percakapan intim mengenai representasi perempuan pasca-perang serta bagaimana arsip film dapat menjembatani lintas generasi dan lintas geografi. Banyak peserta menyebut program ini sebagai “ruang pulang” bagi sejarah sinema perempuan Indonesia, ruang yang tak pernah benar-benar diberikan oleh arsip formal negara. Melalui diskusi yang berlangsung lama setelah pemutaran berakhir, program ini membuktikan bahwa film dapat menjadi alat pengingat yang kuat sekaligus pendorong terhadap riset sejarah sinema Asia yang berkelanjutan.

Memasuki fase kedua pada 3 hingga 5 Desember 2025, suasana berubah menjadi lebih haru menengok kembali narasi RESONANSI ’98: Film dan Reformasi!. Pemutaran berlangsung di Studio Sjuman Djaya, menyajikan film-film yang memetakan kembali pengalaman warga pada masa transisi Reformasi. Setiap malam, kursi hampir selalu terisi penuh. Penonton lintas generasi duduk berdampingan, dan dalam keheningan studio, adegan-adegan film terasa seperti hadir kembali untuk diingat dan dimaknai ulang.

Pada malam 5 Desember 2025, Teater Asrul Sani menjadi ruang perjumpaan yang intens. Diskusi publik bertajuk “Resonansi 98: Yang Kita Ingat, Yang Kita Rawat” diikuti oleh peserta yang tidak hanya ingin mengingat, tetapi juga memahami bagaimana ingatan dirawat selama ini di masyarakat kita. Suasana diskusi dipenuhi kehangatan dan keberanian: beberapa peserta berbagi kisah mereka pada masa itu, sementara yang lain mengakui bahwa program seperti ini membuka ruang yang selama ini sulit mereka temukan yaitu ruang aman untuk menyatukan pengalaman pribadi dan narasi bangsa. Program ini, yang digarap bersama Kolektif Merawat Ingatan memiliki dampak signifikan dalam menghidupkan kembali tradisi menonton-kritis peristiwa politik melalui film dan juga aktivitas kreatif dengan membuat kolase bersama.

Rangkaian program berlanjut pada 6 Desember 2025, ketika Gelar Karya Alih Wahana Koesroyo, Babak Pertama menghadirkan perayaan lintas generasi yang intim sekaligus megah dalam kesederhanaannya. Teater Sjuman Djaya dipenuhi oleh 177 orang yang terbagi dalam 4 sesi pemutaran dengan berbagai latar belakang penggemar lama Koes Bersaudara, musisi muda, peneliti budaya, hingga penonton umum yang ingin mengenal lebih dekat sosok Yok Koeswoyo melalui pemutaran dokumenter Koesroyo: The Last Man Standing. Seusai pemutaran, diskusi Alih Wahana “Koesroyo di Antara Kita” Babak Pertama berlangsung hangat dengan menghadirkan narasumber lintas generasi dan disiplin, antara lain Sari Koeswoyo, putri Yok Koeswoyo; Chicha Koeswoyo; David Tarigan; Helmy Yahya; Risa Permanadeli; hingga Andri Ferdian dari Dinas Kebudayaan Jakarta Pusat.

Di barisan undangan tampak sejumlah figur publik dan pelaku seni, termasuk Romo Muji, para sineas yang mengisi lanskap sinema kontemporer, serta sejumlah musisi yang tumbuh bersama karya-karya Koes Bersaudara. Kehadiran lintas profesi dan generasi ini menjadikan diskusi bukan sekadar forum apresiasi, melainkan ruang perjumpaan yang kaya makna, ruang tempat memori personal, sejarah musik populer Indonesia, dan refleksi budaya saling bertemu.

Linda Ochy, sutradara Koesroyo: The Last Man Standing, menyampaikan harapan besarnya mengenai masa depan perjalanan alih-wahana Koesroyo.

“Apa yang kami hadirkan malam ini baru Babak Pertama. Semangat yang diwariskan Om Yok dan Koes Bersaudara tidak berhenti pada film ini saja. Babak pertama ini terlaksana berkat kolaborasi dengan Komite Film Dewan Kesenian Jakarta, dan saya membayangkan babak-babak selanjutnya akan melibatkan lebih banyak pihak, lebih banyak ruang, dan lebih banyak bentuk alih-wahana untuk terus menghidupkan kembali karya besar Koes Plus dan Koes Bersaudara.”

Risa Permanadeli, psikolog sosial yang juga menjadi narasumber, memperluas pemaknaan alih-wahana tersebut.

“Alih Wahana Koesroyo tidak hanya dilakukan dalam ruang seni. Ia dapat dimaknai sebagai ruang hidup, ruang pengalaman yang bisa diinterpretasi ulang oleh berbagai lini, bidang, dan generasi. Karya seperti ini tidak pernah selesai; ia terus bergerak bersama mereka yang meresponsnya.”

Gelar Karya Alih Wahana Koesroyo ini juga membuka ruang publik yang memamerkan karya-karya Svara (audio), Rupa (visual), Sastra (teks), dan Kriya (kerajinan) dari Yok Koeswoyo, mulai dari lukisan, arsip-arsip foto, kostum, hingga gitar dan bass yang pernah menjadi saksi perjalanan bermusik Yok sebagai personel Koes Bersaudara/Koes Plus.

Di luar program pemutaran, Pekan Kineforum 2025 memperkuat landasan pendidikan film melalui dua kelas intensif. Pada 3 dan 5 Desember, kineforum Punya Kelas: Riset Film yang berlangsung di Studio Latihan Seni Rupa peserta yang antusias mendaftar sebanyak 82 orang, namun ketersediaan kapasitas serta rancangan kelas yang intensif menghadirkan 30 peserta dengan suasana kelas yang penuh energi: diskusi metodologi, latihan membaca data, serta perdebatan tentang etika representasi. Kelas ini menekankan bahwa film yang berdampak selalu berangkat dari riset yang sensitif dan akurat, sesuatu yang sering diabaikan dalam industri film arus utama Indonesia. Peserta mengakui bahwa pendekatan ini membuka cara baru memahami proses produksi film sebagai kerja intelektual, bukan hanya artistik.

Sementara itu, kineforum Punya Kelas: Kuratorial & Manajemen Pemutaran Film, yang berlangsung pada 5 dan 6 Desember 2025 di Studio S. Rukiah Kertapati, menjadi salah satu program paling dinamis Pekan Kineforum tahun ini. Diikuti oleh 12 kelompok terdiri dari 24 orang serta dari berbagai komunitas film Jabodetabek, kelas ini membahas praktik kuratorial, manajemen pemutaran, publikasi dan komunikasi, teknis pemutaran film hingga pengarsipan. Para peserta saling berbagi pengalaman dan ide dalam suasana yang hidup, mereka membangun jaringan baru untuk kolaborasi di masa depan.

Tada dan Iyes peserta kelas kuratorial dari Kacamata Sinema mengatakan bahwa selama ini ketika membuat program pemutaran film, mereka merancang secara otodidak karena kelas kuratorial jarang sekali ada. 

“Kami senang banget ada kelas seperti ini, biasanya yang ada kelas produksi film. Baru kali ini kami ikut kelas kuratorial dan manajemen film. Kami jadi lebih terbuka pengetahuannya, bahwa programming film bukan semata milih film-film saja, tapi juga memikirkan tujuan dari sebuah pemutaran film.”

Dalam menyimpulkan penyelenggaraan Pekan Kineforum tahun ini, Ketua Komite Film DKJ, Sugar Nadia, menegaskan transformasi penting konsep kineforum di mata publik.

“kineforum hari ini bukan lagi hanya sekadar ruang putar. Ia adalah ruang pertukaran pengetahuan, ruang penyemaian ide, ruang yang menjadi DNA bagi lahirnya ruang-ruang baru di Jabodetabek. Kami ingin publik tumbuh dengan inisiatif mereka sendiri, membawa semangat kineforum ke wilayah tempat mereka hidup. “

Presiden ICS, Agni Ariatama, juga menegaskan relevansi program ini dalam visi Jakarta Kota Sinema.

“Jika kita ingin Jakarta benar-benar menjadi kota sinema, maka kita membutuhkan lebih banyak ruang alternatif seperti kineforum dan semakin banyak kolektif yang bekerja saling bertemu dan saling menguatkan, antara komunitas dan industrinya. Pekan Kineforum 2025 menunjukkan bagaimana kolaborasi lintas komunitas dapat membentuk energi baru bagi ekosistem film Jakarta.”

Melalui enam hari program lebih kurang 1.000 audiens dari berbagai kegiatan, Pekan Kineforum 2025 membuktikan bahwa ruang non-komersial tetap menjadi jantung pertemuan warga, tempat ingatan kolektif dirawat dan pengetahuan ditumbuhkan. Film, dalam konteks ini, bukan hanya hiburan tetapi cara warga Jakarta membaca dirinya sendiri, membaca kotanya, dan membayangkan masa depan melalui sinema.