Oleh: Raisa Kamila
Ketika mendengar kata “laboratorium”, agaknya yang seketika terlintas di pikiran adalah ruang berisi tabung–tabung reaksi, alat ukur rambatan gelombang dan para peneliti dengan alis bertaut. Pengetahuan baru lahir di sana, tapi tidak banyak orang yang (ingin) tahu proses reproduksi yang terjadi. Proses peredaran pengetahuan pun kadang berhenti pada satu titik dan jarang bergerak lebih jauh.
Laboratorium yang dimiliki oleh ruangrupa menepis anggapan semacam itu. Di sana, siapa pun diajak untuk menantang anggapan–anggapan umum dalam keseharian dengan cara yang lebih mirip bermain daripada kerja riset. Pada mulanya, adalah program “Residensi Seniman dan Workshop Seni Rupa” yang diadakan oleh ruangrupa untuk memahami persoalan urban dan media, bersama dengan seniman serta pakar dari berbagai disiplin pengetahuan. Dalam perjalanannya, program ini menemui titik jemu dan akhirnya diganti menjadi Art Lab, ruang kolaborasi yang memungkinkan pertukaran pengetahuan dari beragam disiplin secara cair.
Diskusi mengenai Art Lab RURU diadakan pada 3 November dalam rangkaian acara “Lokakarya Kritik Seni Rupa dan Kuratorial 2014”, dengan pemantik diskusi, Reza Afisina, yang biasa dipanggil Asung. Ia lantas bercerita, bentuk kolaborasi yang terjadi bisa saja berawal dari pertanyaan – pertanyaan remeh semisal, “Kenapa ya, gambar di warung tenda pecel lele sama semua?” Pertanyaan semacam ini, lanjut Asung, bisa mengantarkan pada pemahaman mengenai monopoli para mafia terasi atau mafia lele, yang kemudian melakukan penyeragaman terhadap warung tenda dalam jejaringnya. Bagi Asung, ada banyak hal dalam keseharian, terutama di kota Jakarta, yang diterima begitu saja tanpa diselidiki kemungkinan atau keterkaitannya terhadap persoalan – persoalan yang lebih luas.
Tidak ada metodologi ketat yang diterapkan untuk sampai pada kesimpulan – kesimpulan tertentu dalam kerja kolaborasi di Art Lab. Asung lebih senang menggunakan istilah “Open Methodology” sebagai pendekatan yang digunakan untuk menantang rancangan dari tatanan dalam keseharian. Selama tahun 2008 – 2010, Art Lab berkonsentrasi pada tema “mobilitas urban”.
Salah satu luaran dari kerja kolaborasi ini adalah pameran yang bertajuk “Musafir” pada tahun 2008 di RURU Gallery. Ada gambar–gambar kendaraan yang disandingkan dengan nukilan ayat Al – Qur’an seperti, “Tunjukilah kami jalan yang lurus” pada gambar kemudi kendaraan. Juga, ada gambar–gambar motor dengan peraga laki-laki yang hadir sebagai antitesis dari iklan kendaraan yang biasanya menampilkan peraga perempuan. Pameran ini berawal dari rasa ingin tahu yang sederhana: mengapa jumlah warga di Jakarta pada siang dan malam hari bisa begitu jauh berbeda? Bertolak dari pertanyaan ini, para seniman dan pakar yang terlibat menyelidiki arus hilir mudik di kota Jakarta serta hasrat terhadap kendaraan yang lahir dan dilanggengkan melalui iklan – iklan, undian bank atau hadiah pembelian rumah.
Praktik seni yang berbasis riset ini tidak hanya menantang batasan tiap disiplin ilmu, tapi juga mengajak orang–orang untuk berpartisipasi seraya bermain–main. Pada tahun 2009, Art Lab fokus pada tema “transaksi” yang terjadi di kota Jakarta. Melalui pemetaan pusat-pusat perdagangan, muncul pertanyaan seperti, “Mana yang hadir lebih dulu: kesepakatan para pedagang untuk berkumpul di satu titik agar memudahkan pembeli atau para pedagang yang membuka lapak di sekitar hunian para pembeli?” Proses pertukaran barang dan jasa ini tampak alamiah, tapi bukan berarti tidak ada pola yang bekerja sehingga proses itu dapat bertahan lama dan terus berkembang. Melalui kegiatan “Lonely Market”, Art Lab mengajak siapa saja untuk terlibat dalam penciptaan ruang transaksi tersebut. Siapa pun boleh mendaftar menjadi penjual dan datang sebagai pembeli.
Di akhir tahun lalu, Art Lab bekerjasama dengan seniman dari kolektif SquatSpace, Keg de Souza, mengadakan proyek seni berbasis riset di Sydney. Proyek yang bertajuk “Vertical Villages” ini menjelajahi ruang hidup para mahasiswa perantauan di Sydney: keseharian, waktu luang, makanan kesukaan dan cara bersenang – senang. Para mahasiswa diajak menandai tempat belanja, makan, belajar dan tempat rahasia di peta dengan stiker warna–warni. Pameran yang kemudian diadakan sebagai luaran proyek menampilkan peta tersebut dan kamar para mahasiswa di asrama, yang memberi pemahaman mengenai proses interaksi dan adaptasi para perantau dengan Sydney dalam sebuah “kampung” yang menjulang ke atas.
Pola kerja di Art Lab bisa saja dianggap tidak sesuai dengan langkah – langkah penelitian akademis. Namun, apa yang dilakukan di Art Lab pada dasarnya telah memenuhi kriteria utama suatu laboratorium: eksperimentasi. Rangkaian uji coba yang dilakukan tidak mensyaratkan luaran yang tepat sasaran, karena yang lebih penting dari itu adalah proses yang kolaboratif serta gerak menuju pemahaman baru melalui cara-cara kreatif.
Dokumentasi: DKJ – Eva Tobing