Nani Nurrachman
Fakultas Psikologi Unika Atma Jaya
Pemutaran Film ‘Senyap’ karya Joshua Oppenheimer
dan Seminar Rekonsiliasi Peristiwa 1965
Diselenggarakan oleh
Dewan Kesenian Jakarta, Komnas HAM, dan Unika Atma Jaya
Jakarta, 15 April 2015
- Dari sekian banyak film yang bercerita tentang peristiwa 1965 dengan bahasa dan interpretasinya masing-masing, terdapat 4 film yang durasinya cukup panjang: Pengkhianatan G.30.S/PKI karya Arifin C. Noer, 40 Years of Silence karya Robert Lemeson, The Act of Killing dan The Look of Silence keduanya karya Joshua Oppenheimer di mana film yang terakhir disebut baru saja kita saksikan bersama. Dua film, Pengkhianatan G.30.S/PKI dan The Act of Killing sedikit banyaknya menayangkan adegan-adegan yang merupakan gabungan fakta dan metafora namun mengandung teror kekerasan serta gambaran hitam putih tentang pelaku kejahatan dan ‘pahlawan kebenaran’ sesederhana ‘hitam putih’ dengan mengabaikan kompleksitas faktor- faktor sosial politik di baliknya. Di sisi lain dua film lainnya yang memakai kata ‘silence’ menggambarkan betapa upaya mencari kebenaran atas terjadinya peristiwa tersebut dan proses pemulihan trauma dilalui secara senyap, meletihkan dan tak kunjung selesai hingga hari ini. Pada hakekatnya keempat film ini sebenarnya menggambarkan pergulatan batin pada alam bawah sadar kita sebagai bangsa, batin yang bising antara berbagai argumen dan sentimen dominan tentang yang salah dan benar, yang kalah dan yang menang dari suatu peristiwa sejarah nasional yang tragis dan traumatik. Bila kebisingan batin ini didiamkan apalagi diingkari maka ia akan mengendap menjadi ingatan yang menyakitkan (memoria passionis). Kondisi demikian bisa timbul sebagai simtom-simtom perilaku kekerasan dalam berbagai bentuk dari perilaku masyarakat.
- Adalah suatu hal yang keliru untuk menganggap bahwa ingatan traumatik ini hanyalah milik orang per orang yang mengalaminya. Ingatan manusia pada dasarnya bersifat sosial karena tidak dapat dilepaskan dari ‘adanya’ orang lain baik secara konkrit, berbeda tempat maupun imajiner. Ingatan tidak dapat dilepaskan dari orang(-orang) lain karena ingatan selalu terkait dengan suatu peristiwa yang dialami bersama pada masa lalu. Dalam konteks sejarah kehidupan kita sebagai bangsa maka ingatan sosial dan kehidupan kebangsaan kita dengan demikian tidak dapat dipisahkan.Berbagai riset sosial psikologis tentang konflik sosial / kekerasan menunjukkan adanya hubungan antara ‘memoria passionis’ ini dengan kehidupan kebangsaan (Pennebaker 1997). Proses-proses sosial psikologis mempunyai peran dalam penggambaran ‘mind set’ kollektif bangsa menurut suatu periode waktu tertentu. Sartono Kartodirdjo (1994), sejarawan Indonesia mengatakan bahwa bila seseorang kehilangan memorinya dengan sendirinya ia tidak lagi mempunyai kepribadian. Maka demikian pulalah halnya dengan suatu bangsa : tanpa mengenal sejarahnya (=masa lalunya) bangsa itu akan kehilangan identitasnya.Kilas balik psiko-sosial-historis bangsa kita menunjukkan adanya benang merah kekerasan yang melahirkan manusia-manusia lebih dari satu generasi dengan simtom-simtom pasca trauma (Konvensi Nasional Kesehatan Jiwa II, 2003). Ingatan sosial yang sifatnya traumatik akibat dari kekerasan ini seringkali tertanam sebagai potensi konflik sosial yang kemudian muncul. Hal ini disebabkan karena ingatan membentuk batasan tentang kelompok-kelompok yang berlawanan karena setiap kelompok mengonstruksi kebenaran tunggalnya mengenai masa lalu bersama tersebut. Hal inilah yang bisa menyebabkan kita terperangkap dalam permainan kekuasaan yang memosisikan diri sebagai pemenang/yang benar dan pihak lain sebagai yang kalah/salah. Suatu dikotomi yang justru mengaburkan sejarah itu sendiri.
- Di sisi lain bila dilakukan re-konstruksi ingatan sosial ini dapat menjadi suatu strategi menuju terbangunnya rekonsiliasi melalui refleksi atas masa lalu. Tentu saja hal ini tidak mengabaikan pentingnya berbagai ingatan sosial yang traumatik dari pihak-pihak yang berkonflik untuk diungkap, diakui dan di’sanding’kan sebagai wujud ‘monumen ingatan’ bersama agar konflik serupa tidak terjadi lagi di kemudian hari. Perlu ditambahkan juga dengan kesadaran bahwa pada akhirnya yang menjadi korban pada hakekatnya adalah semua yang terlibat, baik korban, pelaku, saksi maupun pihak-pihak lain yang merupakan bagian dari kehidupan komunitas masyarakat tersebut.Refleksi atas masa lalu ini dapat dilakukan melalui sebuah pertanyaan pokok : dalam bentuk apakah masa lampau akan diserahterimakan kepada masa depan ? Dalam hal ini ada berbagai bentuk sebagaimana antara lain dinyatakan oleh Brewer (2008) sebagai berikut :
1. memperbaiki berbagai distorsi tentang narasi masa lalu yang timbul dan memicu pertentangan;
2. penggambaran kembali konflik itu sendiri sehingga bagaiman hal ini diingat tetapi bisa berubah
3. mengembangkan narasi baru tentang kehidupan bersama pasca konflik
4. mengembangkan bentuk-bentuk baru peringatan yang merayakan perdamaian dan keberagaman yang dapat menimbulkan harapan terhadap masa depan.Meminjam kata-kata Nani Nurrachman, Karlina Supelli (2013) memandang rekonsiliasi dengan demikian adalah “tindakan berpaling dari masa lalu tanpa mengabaikan kejahatan masa lalu…..(ia) tetap menuntut keadilan tetapi tidak menurunkan rasa keadilan ke tingkat balas dendam”. Selanjutnya Supelli mengatakan rekonsiliasi adalah kebangkitan untuk hidup kembali dari penderitaan ketidakadilan dalam kehendak untuk hidup bersama dalam pola relasi yang baru yang bukan hanya bersifat interpersonal melainkan relasi-relasi sosial, politik dan budaya. Kehidupan bersama dalam pola relasi yang baru ini membutuhkan dua landasan moral untuk masyarakat yang baik (ethics of care) dan masyarakat yang adil (ethics of justice). Sebab bagaimana kita dapat bersikap adil jika kita tidak memiliki sikap peduli?