Lampion Sastra 8 Juni 2007 kali ini mengangkat tema ”Matinya Cerita Pendek”. Adapun ikhtiar kawan-kawan DKJ, yang direpresentasikan oleh sejumlah penampil, boleh dibilang sebagai salah satu dari upaya untuk mengarang-ngarang lagi hal tentang Cerita. Ada upaya untuk mengekspresikan bahwa Cerita Pendek kini hadir kembali bersama kita dalam wujud nir-tubuh, dengan menampilkan pelukisan sejumlah tokoh terkemuka atas Cerita.
Pembacaan karya-karya itu mencakup karya Franz Kafka, hingga Jorge Louis Borges, Julio Cortazar yang merupakan cerpenis dari belahan dunia lainnya. Dan pembacaan dari kesemua karya ini, menstimulus imajinasi saya untuk percaya bahwa Cerita Pendek yang telah masuk ke loker, kini kembali sekali lagi. Cerita yang sebelumnya terkapar tanpa nyawa, bagai Marrionette yang terputus dari tali kendali pemainnya, kini menyambung talinya/nyawanya lagi.
Ada tiga penampil yang memiliki jenis nafas yang berbeda. Cerita Pendek menjadi agresif, menjadi kebapakan, menjadi feminim, dan menjadi seperti yang lainnya, tergantung dari aroma, rasa, dan warna dari nafas yang dihembuskan kepada raganya.
Saat pertama ditampilkan oleh Niniek L. Karim, Cerita Pendek terlekat dengan kesan feminim atau, di sisi lain, bahkan histeris. Sebagian lagi, dari karya-karya yang dibacakan, Cerita Pendek jadi terkesan sedang terganggu jiwanya. Pada salah satu karya Franz Kafka yang dibacakan, diangkatlah sebuah pengalaman yang umumnya dipandang sepele, namun diturunkan dalam suatu permainan bahasa yang reflektif. Dari situ timbul kesan, Cerita Pendek sebagaimana seorang wanita ditampilkan secara bias dalam iklan dan sinetron, merupakan sosok yang meributkan masalah yang remeh seperti busananya dan penampilannya –meskipun media hanya menyorotinya dari satu sudut narasi yang dangkal, sehingga tidak pernah diperhatikan filosofi di balik praktik mempermasalahkan hal sepele itu.
Lalu dari gejala gangguan kejiwaan ’terobsesi’ yang ringan itu, pembacaan karya dari cerpenis kedua menggeser persepsi saya, bahwa, Cerita memang sudah gila! Jorge Louis Borges, sastrwan Argentina itu melekatkan gejolak batin yang luar biasa pada inti Cerita Pendek. Mengapa luar biasa? Karena ia telah melintasi batas-batas kewarasan. Ketika Niniek L. Karim terus menerus berbicara kepada dirinya sendiri, pertarungan ’Borges-Aku’ dan ’Borges-yang Lain’ yang ditampilkan menghenyakkan saya yang benaknya bekerja dalam proses yang notabene normal. Karena saya dilabeli normal, saya selalu mencoba berperilaku sesuai dengan rel-rel yang ada pada masyarakat. Tapi lalu Quo Vadis ’Geger-Aku’? Tak pernah sekalipun kumanjakan dirimu, yang menyusupkan nada-nada kegilaan dalam tiap ketukan jariku ke atas keyboard.
Lagi-lagi orientasi kepribadian Cerita Pendek berubah dengan rekaan Sapardi Djoko Damono, meskipun tetap sebagai sosok yang histeris melalui media Rara Gendis. Cerita Pendek menggumamkan, ”Apakah Engkau Ada?”, tak hanya sekali dua kali. Bagai Descartes, ia galau untuk meyakini eksistensi yang lain selain dirinya. Apakah ia hanya otak yang berada dalam sebuah tabung, yang dengan terpaksa harus memakan anjing di pagi ini supaya pancang eksistensinya tetap kukuh.
Menariknya, entah mengapa, ada pararelitas antara karya-karya ini dengan karya dari suhu cerpenis Indonesia, Satyagraha Hoerip, dalam persoalan Ego Cogito, ego yang berpikir dan menilai dirinya sendiri. Masih dalam diri penampil yang sama, pembacaan ”Simposium” membuka ruang gejolak antara ego-K dengan ego-K yang lain. Ego-K yang lain, yang adalah cerminan dari dirinya sendiri, telah menggusarkan eksistensinya.
Setelah Niniek L. Karim, Rara Gendis, kedua penampil ini berlalu dari panggung, saya merasakan adanya pergantian kesan yang mendalam tentang Cerita Pendek dalam acara peringatan ini. Jeda ini bahkan sekilas nyaris menyadarkan saya, bahwa pada realitasnya, Cerita Pendek telah mati. Tetapi Iswadi Pratama keburu menyedot animo dari para penempat bangku teater itu, dengan memaparkan dua pilihan yang paradoks, apakah ia perlu tidak minum namun menjadi haus, ataukah ia perlu minum namun menjadi kebelet? Setelah dengan berat hati mengambil pilihan pertama, Iswadi Pratama, dengan lagaknya yang sederhana memaparkan inti dari Cerita Pendek menurut versinya sendiri.
Menurutnya, sosok Cerita Pendek dapat menjadi bingkai dari gejolak jiwa yang lebih piawai, namun sederhana. Maksudnya, gejolak jiwa tidak mesti melulu terlukis muaranya kepada gangguan mental, tetapi juga dapat mengalirkan hasrat melalui celah-celah kecil yang terdapat pada dunia imajinasi/bahasa. Kesan lainnya adalah, hasrat yang mengemuka tidak mesti bersifat purba dengan menjadi menyimpang, tetapi bisa juga lebih beradab, dengan meletakkan dirinya dalam bahasa norma-norma dan tradisi yang telah dibangun manusia.
”Kahfi” adalah upaya mencangkokan hasrat kepada batang tradisi, kepada kisah daerah yang mampu menyalurkan kehendak untuk menantang kekuasaan Emak melalui narasi menggelitik. Dan upaya ”Bercerita” mempresentasikan tragedi yang terjadi hanya dalam beberapa langkah kata dari kisah roman, ia datang dengan spontan dan tidak disadari. Upaya ”Bercerita” sama dengan Tas Ransel Biru, Dua Buku Tulis, dan Taman, dalam hal, ia mengikuti kehendak pengarangnya untuk menyampaikan suatu peringatan dari tradisi kepada khalayak pembacanya, di sisi lain, ia benar-benar mengikuti kehendaknya, di mana ketika pengarang tak kuat lagi bercerita, maka ceritanya akan terhenti sekian.
Kemudian, saat Iswadi Pratama, ganti menampilkan karya sastrawan pemenang nobel pertama dari Jepang, Yasunari Kawabata, ia menemukan tingkat keberadaban metafor yang sama. Cerita Pendek dalam bahasa Kawabata, terasosiasi dengan kisah-kisah cinta yang tragis, namun berakhir dengan sedikit pengharapan. Bagi Kawabata, hasrat ber-Cerita Pendek mesti disalurkan melalui metafora yang terjebak dalam suatu kondisi ciptaan sosial, tetapi menunjukkan adanya perlawanan subyek terhadap keadaan ini. Meski subyek Kawabata nyaris terpeleset dalam lubang kegilaan lagi, tetapi ia tetap stabil hingga akhirnya terbuka secercah harapan lagi, harapan akan cinta dari ego terhadap ”Gadis yang Menghampiri Api”, atau dari ego-filsuf kepada gadis di ”Foto”.
Dari penampilan Iswadi Pratama, beralih kepada penampilan Adi Kurdi, membalik upaya untuk memberadabkan kesan tentang Cerita Pendek. Cerita Pendek yang sebelumnya mengalami pemberadaban, dengan sublimasi hasrat, menyerah kepada konteks sosial sembari tetap mencari celah-celah kecil, kini tambah gila seiring dengan keadaannya yang juga akan menohok kewarasan setiap orang. Julio Cortazar dari Argentina, merumuskan bahwa meskipun konteks sangat kokoh untuk memenjarakan hasrat individu, tetapi ada kalanya individu itu tidak terdisiplinkan, tetap menyimpang dan menjadi simbol penyimpangan kaumnya.
Bayangkan saja, bagaimana bila anda memiliki kemampuan abstraksi. Meskipun anda tetap berperilaku normal, tetapi, walau disembunyikan, bukankah pada intinya anda juga sudah menjadi gila? Konteks cukup kuat untuk mendefinisikan bahwa anda adalah organisme yang menyimpang, dan mengembalikan anda kepada standar ideal. Tetapi ada saatnya ketika diri anda tidak peduli, sehingga ada jurang yang menganga di antara diri anda dengan pedoman atau aturan yang ada. Ada batasan yang dilanggar ”Sang Tawanan”, sehingga ia didefinisikan mania verbal, asosiasi berceracau, paralogisme, paramnesia dan kekeliruan generalisasi.
Tetapi setelah Adi Kurdi menyajikan laporan J.David Stevens, saya seketika itu langsung terbangun. Dari penceritaan dengan lagak khas kebapakannya, saya keluar dari ketenggelaman persepsi yang objektif dalam harapan ia akan, sedang, dan telah bangkit lagi atau bereinkarnasi dalam wujud yang berbeda-beda. Tetapi Stevens kembali menegaskan semua faktanya, akan kematian Cerita Pendek, dan peringatannya ini sebagai upaya mengarang-ngarang keberadaannya.
Dalam kesadaran yang waras ini, menjadi tegas bahwa Cerita Pendek sudah mati, dan jelas mengapa Cerita tak punya pendirian. Kadang ia agresif, kadang terganggu berat kejiwaannya, terkadang menjadi mania verbal. Ini karena ia yang sekarang ini dikarang-karang saja. Ia tak memiliki ke-Aku-an yang objektif, dan inti dari dirinya dilekatkan dengan anggapan subyektif masing-masing pakar/cerpenis. Seperti Tuhan, dan seperti makhluk-makhluk spiritual lainnya, tak ada seorangpun yang memiliki otoritas tertinggi untuk menjelaskan sifatnya karena itu tidak ada anjakannya yang nyata.
Dengan demikian, maka patut diyakini bahwa peringatan kematiannya ini, sekali lagi, membuka teks Cerita Pendek untuk dimaknai apapun dan bagaimanapun oleh siapapun. Ia tak lagi memiliki alur yang jelas, atau dimensi penceritaan yang pas. Secara gagasan dan struktur teks, ia bergerak secara multi-narasi, serta melampaui angkatan sastra dan wilayah geo-sosialnya. Ia juga tak ikut-ikutan dengan sejarah manusia yang diupayakan, seiring dengan waktu, semakin pula ini beradab. Yang ada hanyalah kesan bahwa semasa hidupnya, ia pernah memiliki kesan dan makna yang mendalam di benak kita. Relakanlah Cerita Pendek.
(Diambil dari review Geger Riyanto untuk Lampion Sastra “Matinya Cerita Pendek