A.D. Pirous
Abas Alibasyah
Aceng Arief
Agus Djaja
Ahmad Sadali
Amri Yahya
Baharuddin Mara Sutan
Basuki Resobowo
Batara Lubis
Bonyong Muni Ardi
Dede Eri Supria
Dido Kusnidar
Fadjar Sidik
G. Sidharta
Hardi
Hendra Gunawan
Jiehan
Jim Supangkat
Joesoef Effendi
Kaboel Suadi
Mochtar Apin
Muryoto Hartoyo
Nashar
Nunung WS
Oesman Effendi
Otto Djaja
Popo Iskandar
Priyanto Sunarto
Rita Widagdo
Rusli
Sanento Yuliman
Srihadi Sudarsono
Sriyani Hudyonoto
Sudarso
S. Sudjojono
Sunaryo
Suparto
T. Sutanto
Tisna Sanjaya
Trisno Sumardjo
Trubus
Umi Dachlan
Zaini

Pengantar Komite Seni Rupa
Dewan Kesenian Jakarta

Assalamualaikum Wr. Wb,
Salam sejahtera bagi kita semuanya,
Om Swastiastu,
Namo Buddhaya,
salam kebajikan.

Menghadirkan kembali koleksi seni Dewan Kesenian Jakarta kepada publik adalah bentuk penghormatan terhadap dedikasi para seniman yang lima puluh tahun lebih sudah menjadi bagian dari Dewan Kesenian Jakarta. Di antara seniman-seniman tersebut mereka adalah anggota Dewan Kesenian Jakarta periode awal dan mereka yang pada periode awal pernah mengisi program pameran. Mereka merupakan para seniman (pelukis) yang telah mengambil posisi-posisi penting, memberi tanda, dan memperkaya khazanah seni rupa di Indonesia.

Namun dalam pameran dengan tajuk ‘CIPTA! Kapita Selekta Cikini Raya 73’ ini Dewan Kesenian Jakarta ingin melihat lebih pada sebuah proses bagaimana koleksi seni tersebut telah menjalani proses panjang hingga dapat kita lihat dan maknai terus menerus. Untuk itulah, dihadirkan arsip pilihan dari berbagai medium, sebagai narasi lain yang dapat dilihat dengan tegas dan dibaca dengan jelas. Arsip sebagai sebuah teks yang akan memperlihatkan pada kita bahwa telah lebih dari lima puluh tahun Dewan Kesenian Jakarta menjadi bagian dari sebuah kompleks kesenian di Jalan Cikini Raya 73. Dan tidak hanya sebagai bagian, tapi juga menjadi ruh dan terus berupaya memberi gairah berkesenian di Kota Jakarta.

Arsip dan koleksi seni adalah satu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan dari Dewan Kesenian Jakarta dan Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki. Benda-benda tersebut saling memberi suara, saling memberi penanda, dan terhubung antara satu dan lainnya. Karena penting untuk menengok ‘mereka’ kembali bukan hanya sebagai sebatas lukisan, buku program, klipingan, rekaman suara, atau poster belaka.

Untuk itu Dewan Kesenian Jakarta berterima kasih kepada kurator, Komisi Arsip dan Koleksi, kolaborator, dan tim pameran yang sudah berupaya dengan baik menghadirkan arsip dan koleksi seni Dewan Kesenian Jakarta supaya dapat dinikmati oleh publik dengan cara berbeda. Melalui pameran ini Dewan Kesenian Jakarta berharap publik dapat melihat, mulai dari riak hingga gelombang dari gairah kesenian dekade awal kehadiran kesenian di kompleks kesenian Jalan Cikini Raya 73.

Aidil Usman
Ketua Komite Seni Rupa
Dewan Kesenian Jakarta

Cipta! Kapita Selekta Cikini Raya 73

Pameran “Cipta! Kapita Selekta Cikini Raya 73” merupakan sebuah pengingat dan penghormatan terhadap kiprah DKJ dalam dunia seni rupa sekaligus menandai era baru DKJ dan TIM agar dapat meneruskan semangat dan kontribusi para perintisnya terhadap perkembangan wacana, ekosistem, dan diseminasi seni rupa. Koleksi Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) merupakan salah satu koleksi publik yang berperan penting dalam perkembangan ekosistem dan wacana seni rupa di Jakarta dan juga Indonesia sejak didirikan tahun 1968. Meskipun mengenakan kata ‘Jakarta’, kiprah DKJ tak menjadi sesuatu yang eksklusif bagi Jakarta saja tetapi juga merangkul berbagai perupa dan pelaku budaya di berbagai daerah lain di Indonesia dan juga internasional. Berbeda dengan kebanyakan koleksi publik yang ada di Indonesia, koleksi seni rupa DKJ merupakan satu dari sedikit koleksi publik yang digagas, dibangun, dan dikelola langsung oleh para praktisi seni dan budaya yang tergabung dalam Komite Seni Rupa.

Program Identifikasi Koleksi Benda Seni DKJ yang diselenggarakan tahun 2013 mencatat sebanyak 393 karya dalam koleksi DKJ yang mencakup seni lukis, seni grafis, dan seni patung. DKJ juga menyimpan ribuan koleksi arsip seni rupa berbentuk poster, foto, rekaman audio, dan kliping media cetak. Terlepas dari nilai historis dan kiprahnya selama ini, koleksi seni rupa dan arsip DKJ masih menyimpan banyak potensi untuk dikembangkan menjadi salah satu pusat preservasi, studi, dan diseminasi pengetahuan seni rupa Indonesia.

Koleksi seni rupa dan arsip DKJ juga dapat dilihat sebagai suatu bentuk dokumentasi perjalanan sejarah seni rupa di Jakarta selama lebih dari lima puluh tahun terakhir, mulai dari diskursus seni yang diprakarsai dan difasilitasi oleh DKJ hingga berbagai peristiwa bersejarah yang terjadi di Taman Ismail Marzuki (TIM). Sebut saja misalnya, “Pameran Grup 18” (1971) yang menampilkan karya-karya cetak sablon para perupa Bandung untuk memperkenalkan praktik seni grafis kepada khalayak luas; “Pameran Senilukis Indonesia” (1974) yang kemudian berevolusi menjadi Jakarta Biennale dan masih diselenggarakan tiap dua tahun hingga saat ini; “Pameran Lukisan-lukisan Dunia Minyak” (1974) hasil kerjasama antara DKJ dengan Pertamina yang membuka diskusi tentang karya seni ‘pesanan’ dan mempelopori koleksi korporasi di Indonesia; Peristiwa Desember Hitam (1974) dan “Pameran Seni Rupa Baru Indonesia” (1975) oleh kelompok Gerakan Seni Rupa Baru yang dianggap menjadi fondasi perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia hari ini.

DKJ dan TIM juga menjadi saksi dari puluhan pameran tunggal dari para perupa Indonesia. Nama-nama besar seperti Affandi, S. Sudjojono, Agus Djaja, D.A. Peransi, Kusnadi, Zaini, Rusli, Oesman Effendi, Nashar, Srihadi, Popo Iskandar, Umi Dachlan, A.D Pirous, dan Jeihan pernah berpameran tunggal di TIM menggambarkan bagaimana DKJ dan Galeri Cipta di TIM merupakan sebuah ruang yang bergengsi dalam ekosistem seni rupa Indonesia. Tidak hanya fokus memberikan ruang bagi perupa besar, DKJ juga secara rutin menyelenggarakan pameran koleksi, perupa muda, anak-anak, hingga mengadakan berbagai ceramah dan diskusi untuk memperkenalkan karya-karya perupa Indonesia kepada publik.

“Cipta! Kapita Selekta Cikini Raya 73” menampilkan koleksi lukisan dan grafis DKJ serta arsip poster berbagai kegiatan yang diselenggarakan di TIM dari tahun 1960-an hingga akhir 1980-an. Pameran ini mempresentasikan karya dan arsip tersebut ke dalam beberapa ruangan yang secara cair mengelompokkan koleksi seni rupa dan arsip DKJ berdasarkan kecenderungan gaya, subjek, medium, serta konteksnya dalam seni rupa Indonesia. Meskipun menampilkan karya-karya bersejarah, pameran ini tidak bertendensi untuk menjadi sebuah pameran historis, maupun bertujuan untuk membaca perkembangan diskursus seni rupa Indonesia secara komprehensif. Benda-benda koleksi dalam pameran ini ditampilkan sebagai sebuah cuplikan yang memperlihatkan bagaimana kebijakan dan cara pandang institusi publik milik warga Jakarta terhadap seni rupa yang direfleksikan dalam spektrum karya dan arsipnya, sekaligus mengilustrasikan dinamika yang terjadi di medan seni rupa Indonesia selama periode transisi dari seni rupa modern menuju kontemporer.

 

Ady Nugeraha
Kurator

Ady Nugeraha merupakan seorang kurator seni rupa independen dan pengajar yang berbasis di Jakarta. Ia mendapatkan gelar Magister Studi Kuratorial dan Manajemen Seni di Institut Teknologi Bandung sembari mengasah pengalaman di Galeri Soemardja ITB. Seusai menyelesaikan studinya, Ady bekerja sebagai Asisten Kurator di Museum of Modern and Contemporary Art in Nusantara (MACAN), Jakarta hingga tahun 2021. Ia telah memimpin kuratorial dalam beberapa pameran di Museum MACAN antara lain, ‘Arahmaini: The Past has not Passed’ (2018) dan pameran terakhir Jeihan berjudul ‘Hari-Hari di Cicadas’ (2019). Saat ini ia mengajar di Program Studi Desain Komunikasi Visual dan juga anggota Pusat Studi Budaya Luhur Nusantara di Universitas Budi Luhur.

Sebab Kesenian Mesti Hidup!

Arsip Dewan Kesenian Jakarta serupa direktori sejarah dan gagasan berkesenian di Kota Jakarta yang dirancang-bangun dari keinginan bersama, antara pemerintah kota dan seniman, untuk memberi ruang sekaligus memusatkan kegiatan-kegiatan terserak. Dari arsip dengan titik berangkat dimulai dari tahun 1968 ini kita dapat melihat bagaimana mula gagasan berkesenian itu, salah satu jalannya dengan mulai mempelajari tata kelola dan pelembagaan kesenian, kemudian menular ke daerah-daerah lain–semangat ini kemudian menular ke daerah-daerah lain.

Dengan mematut-matut arsip buku program, poster, rekaman suara, klipingan koran, makalah seminar, notulensi acara, bahkan dari selembar HVS buram berisi sederet nama dan tanda tangan pengunjung pameran maka akan tampak bagaimana dinamika kesenian terjadi di kompleks Pusat Kesenian Jakarta Taman Ismail Marzuki (PKJ-TIM). Di selembar potret hitam-putih mungkin kita akan melihat bagaimana sebuah program kesenian seakan menjadi ruang bagi para elitis. Sementara di lembaran potret lain kita dapat melihat bagaimana program lain benar-benar memberi ruang kebahagiaan bagi para kawula. Di sebuah rekaman suara kita akan mendengar seorang penyair membacakan sajak dengan penuh gelora seakan hendak merobohkan tirani kekuasaan dengan sebaris kalimat ajaib. Namun di rekaman lain kita juga akan mendengar pidato seorang gubernur mengkritik laku para seniman di hadapan para seniman itu sendiri.

Lima puluh tahun lebih proses pengumpulan arsip berjalan dengan sistem pengklasifikasian sederhana (terkadang menggunakan sistem nomor, kronik, atau subjek) dan sudah ribuan agenda kesenian yang berlangsung di PKJ-TIM terhimpun dalam arsip Dewan Kesenian Jakarta berbagai medium. Proses pengumpulan arsip dan kesadaran pendokumentasian ini seakan menjadi lompatan dari masa lalu ke masa depan. Kesadaran bahwa siasat berkesenian yang dijalani di masa lalu berperan penting untuk masa depan–semacam visi melampaui. Semisal bagaimana inventarisasi naskah drama Indonesia dan terjemahan dilakukan sebagai modal bank naskah, membantu keluhan akan minimnya naskah, dan pada akhirnya menjadi rujukan pertunjukan drama bagi kelompok dan kampus. Atau, bagaimana catatan, klipingan, dan buku program seni rupa disimpan untuk kemudian menjadi modal untuk merevisi dan melakukan pengembangan program kemudian hari.

Jikapun arsip Dewan Kesenian Jakarta ini belum dapat dikatakan lengkap menghadirkan dinamika berkesenian di Kota Jakarta secara keseluruhan, tepatnya di kompleks kesenian Jalan Cikini Raya 73, selama lima puluh tahun belakangan, tapi ia telah dimunculkan dengan cara unik: dengan keras hati dan segala keterbatasan untuk memberi penanda sekaligus titimangsa episentrum kesenian! Bundelan buku program usang, kaset tape lapuk, kaset video betamax, foto, surat korespondensi, klipingan, hingga makalah dengan warna kertas yang sudah berubah kecoklatan itu telah menjadi medium lain untuk menumpangkan ingatan-ingatan berkesenian selama lebih dari setengah abad. Medium ingatan dari masa lalu yang terus meminta untuk dibuka, diulik-ulik, dan dilakukan pembacaan ulang agar semangat berkesenian itu tetap lanjut. Sebab, “kesenian mesti hidup, kebudayaan mesti dipikirkan dan ramai diperdebatkan,” kata Ali Sadikin.

 

Esha Tegar Putra
Kurator

Esha Tegar Putra kelahiran Solok, Sumatera Barat, 29 April 1985. Menamatkan sarjana di Jurusan Sastra Indonesia Universitas Andalas dan magister di Departemen Susastra Universitas Indonesia. Ia menulis puisi, prosa, naskah drama, kritik seni serta ulasan seni-budaya yang disirarkan di berbagai media massa dan jurnal. Buku puisinya yang sudah terbit adalah Pinangan Orang Ladang (2009), Dalam Lipatan Kain (2014), Sarinah (2016), dan Setelah Gelanggang Itu (2020).

Penanggung Jawab: Dewan Kesenian Jakarta • Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta: Aidil Usman, Cecil Mariani, Danton Sihombing, Farah Wardani, Harry Purwanto • Kurator: Ady Nugeraha, Esha Tegar Putra • Pelaksana Program: Cempaka Pertiwi • Pelaksana Proyek: Anom Ebbieyoso • Direktur Artistik: M. Sigit Budi S • Desainer Pameran: Winanda Suciyadi • Penangan Karya: Serrum • Humas: Fransiskus Sena • Desainer Grafis: Riosadja • Videografer: Rizaldy Baggus • Pustakawati: Sri Tuti Handayani • Penyelaras: Heru Joni Putra • Manajer Keuangan: Tri Suci Meilawati • Dokumentasi: Eva Tobing, Joel Taher • Pembawa Acara: Indah Ariani, Fauzan • Penjaga Pameran: Thomas Tri Aditya, Desi Wulan Sari, Sandrina Miranda Simon, Zamzami Mutamim