Pada hari Rabu, 07 Agustus 2024, di Studio Latihan Seni Rupa Gedung Trisno Soemardjo Lantai 2 Taman Ismail Marzuki telah dilaksanakan Diskusi Kelompok Terpumpun (Focus Group Discussion) dengan tajuk “Di Balik Layar: Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Pekerja Film.” Diskusi ini menjadi wadah bagi para pemangku kepentingan perfilman dalam memetakan permasalahan dan urgensi kesehatan dan keselamatan kerja (K3) baik dalam proses produksi film maupun pra dan pasca produksi. Selain itu, isu K3 juga harus mencakup kondisi fisik dan psikis, maupun kepastian masa depan di tempat kerja.
FGD ini diinisiasi oleh Komite Film dan Komisi Riset dan Kebijakan, Dewan Kesenian Jakarta yang penyelenggaraannya didukung oleh BPJS Ketenagakerjaan. FGD ini berkolaborasi dengan Badan Perfilman Indonesia (BPI), Indonesian Cinematographers Society (ICS), serta Asosiasi Produser Film Indonesia (APROFI), serta dihadiri oleh Asosiasi Perfilman Indonesia, Institusi Pendidikan dan lembaga/organisasi seni dan serikat pekerja dan perwakilan Kementerian Ketenagakerjaan, Dinas Kebudayaan Jakarta, Kemendikbud, Kemenparekraf).
Diskusi dimulai oleh moderator Naswan Iskandar, Ketua Bidang Pengembangan SDM & Standar Kompetensi BPI, “Pertama sekali kita harus menyambut gembira, dan tetap berdiri di samping Dewan Kesenian Jakarta untuk mengusung isu penting ini, isu tentang K3 di industri film, masyarakat banyak masih melihat behind the scene yang indah dan glamour, behind the scene dengan capaian-capaian estetik yang merupakan perjuangan kolaborasi luar biasa, tapi hari ini kita juga ingin menyampaikan ke orang banyak ada behind the scene yang lain”.
Muhammad Firdaus, Sekretaris Jendral ICS (Indonesian Cinematographers Society) selaku narasumber pertama kemudian memulai pemaparannya tentang masalah K3 di industri film Indonesia. Dalam pemaparannya, Muhammad Firdaus atau akrab dipanggil Daus menyampaikan temuan dan pengamatannya dalam proses shooting. Beberapa permasalahan yang disampaikan adalah jam kerja yang melebihi batas per-harinya, pengetahuan mengenai prosedur K3 dalam penggunaan alat produksi yang belum didiseminasikan dengan baik, hingga risiko K3 dalam teknik bekerja, ini terpaut Standar Kompetensi Kerja Nasional Indonesia (SKKNI) yang tidak berjalan.
Menurut Daus, hal-hal tersebut menjadi kejadian (baca: kecelakaan) berulang yang disebabkan oleh beberapa hal dan salah satunya adalah permasalahan Izin Usaha Berbasis Risiko. Film dikategorikan dalam kategori risiko rendah sehingga tidak diperlukan standarisasi prosedur K3 dalam proses produksi. Selain itu, K3 tidak ada dalam kurikulum pendidikan film. Dengan kata lain, tidak ada “filter” ketika masuk dalam industri perfilman Indonesia. Regulasi keselamatan serta keamanan dalam industri perfilman sangat rentan, demikian penilaian Daus.
“Industri ini kan sudah berjalan segitu lama, kemudian kecelakaan kerja yang terjadi itu juga sifatnya pengulangan, tidak ada kecelakaan yang baru. Beda dengan pesawat, pesawat hari ini jatuh karena mesin, berikutnya dia jatuh karena apa karena apa, nah kalau kita itu jatuh dari steger dari kapan sampai hari ini masih itu, kesetrum dari kapan sampai hari ini masih seperti itu, kurang lebih begitu” ucap Daus.
Tidak hanya mengenai kecelakaan yang terjadi pada saat proses pelaksanaan shooting, Mandy Marahimin menambahkan perspektifnya sebagai seorang produser dan Ketua Bidang Pengembangan APROFI (Asosiasi Produser Film Indonesia) yang hari itu menjadi narasumber kedua. Mandy mengangkat poin-poin lain yang sama pentingnya dalam lingkungan kerja dunia perfilman. Menurut Mandy, “topik-topik penting menurut saya yang perlu kita bicarakan terutama dari sisi produser itu yang relevan, pertama; jam kerja, kemudian keselamatan kerja, kesehatan kerja, serta perlindungan terhadap perundungan dan kekerasan seksual.”
Mandy mengangkat poin-poin krusial seperti jam kerja panjang, risiko kecelakaan, kesehatan mental, hingga perlindungan terhadap perundungan dan kekerasan seksual menjadi fokus utama di APROFI, “meskipun telah ada inisiatif positif seperti kesepakatan yang membatasi jam kerja hingga 14 jam, serta penyediaan booklet dan sosialisasi soal K3, panduan adegan intim, perundungan dan kekerasan seksual, serta asuransi bagi pekerja film, namun masih banyak tantangan. Rumah produksi belum mempunyai SOP yang sama, artinya belum ada kesepakatan bersama yang mengikat”, ujarnya. Mandy menambahkan, kesadaran dan pengetahuan perihal jaminan sosial dan jaminan hari tua bagi para pekerja perfilman belum banyak dipahami.
Menyambut pertanyaan tersebut, Bapak Rommi Irawan, Kepala BPJS Ketenagakerjaan Jakarta Grogol, menyampaikan sosialisasi mengenai program BPJS ketenagakerjaan untuk pekerja film. “BPJS TK adalah program jaminan sosial yang dirancang untuk melindungi pekerja, termasuk para pegiat film, dari berbagai risiko kerja.
Terdapat empat program besar dalam BPJS Ketenagakerjaan yaitu Jaminan Kecelakaan Kerja (JKK), dan Jaminan Kematian (JK), Jaminan Hari Tua (JHT), Jaminan Pensiun (JP). Iuran BPJS TK dibagi menjadi dua, yaitu iuran pekerja Penerima Upah (PU) yang dipotong dari gaji oleh perusahaan dan iuran pekerja Bukan Penerima Upah (BPU) yang dibayarkan secara mandiri oleh pekerja atau bisa juga pemberi proyek”, ujarnya.
Sudut pandang yang diberikan oleh para narasumber disambut dengan antusias oleh para peserta yang yang merupakan perwakilan dari beragam asosiasi perfilman seperti; Asosiasi Sutradara Film Indonesia/Indonesian Film Directors Club (IFDC), Asosiasi Produser Film Indonesia (APFI), Persatuan Karyawan Film dan Televisi (KFT) Asosiasi Casting Indonesia, Indonesian Production Designer (IPD), Koalisi Seni Indonesia (KSI), SINDIKASI (Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi), Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif Provinsi DKI Jakarta, Kementerian Ketenagakerjaan, serta lembaga dan asosiasi lain yang hadir sebagai peserta. Total peserta yang hadir baik secara luring maupun daring pada diskusi ini adalah 50 orang dari asosiasi, organisasi, dan lembaga terkait.
Focus Group Discussion dengan tajuk “Di Balik Layar: Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Pekerja Film ditutup dengan kesimpulan mengenai urgensi penerapan kurikulum Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) dalam institusi pendidikan film yang semakin mendesak. Pendidikan K3 yang komprehensif sejak dini akan menumbuhkan kesadaran di lapangan dan memahami pentingnya bekerja dalam lingkungan yang aman. Selain itu, kesadaran untuk mengalokasikan anggaran khusus bagi jaminan sosial pekerja film, baik dalam proses produksi maupun distribusi film, perlu menjadi standar aktivitas perfilman. Terakhir, perlu adanya kajian lebih mendalam mengenai K3 dalam industri film serta pembuatan peraturan bersama yang jelas dan didukung oleh landasan hukum yang kuat.
Diskusi berlangsung intens dengan keingintahuan yang besar terhadap perlindungan para pekerja seni dalam hal keselamatan, kesehatan, serta keamanan dalam bekerja. Sebagai wadah kolaborasi dan sinergi pemangku kepentingan perfilman yang tidak hanya terdiri dari praktisi perfilman tetapi juga dari para pengambil keputusan dalam hal ini perwakilan dari institusi pemerintahan terkait film, FGD ini diharapkan dapat memberikan rekomendasi praktis terutama dalam advokasi kebijakan mengenai K3.
Untuk lebih lanjut mengenai topik ini dapat mengakses rekaman Focus Group Discussion “Di Balik Layar: Keselamatan dan Kesehatan Kerja, Pekerja Film melalui Youtube Dewan Kesenian Jakarta di link ini : https://youtu.be/KqNucFf90uM