Memory disorder, di dalam dunia kedokteran adalah sebuah istilah mengenai kerusakan pada struktur syaraf yang menangani penyimpanan dan pengumpulan ingatan. Rusaknya struktur syaraf ingatan ini, dipicu oleh banyak hal, di antaranya adalah usia tua dan pengalaman traumatis. Bagi penderitanya, bisa memunculkan perilaku yang luar biasa.
Perilaku luar biasa dari penderita memory disorder ini yang ditangkap dan dipanggungkan oleh Teater Stasiun dalam Memori Disorder. Narasi yang berada dalam lingkaran tiga tokoh, Bram, Bardi dan Merry, serta konflik di antara mereka.
Tokoh-tokoh diperkenalkan dengan fragmen-fragmen kejadian traumatik yang mereka alami. Bram, diperankan oleh Joind Bayuwinanda, berteriak-teriak mencari seragamnya meskipun ia sedang diinfus. Ia juga menceracaukan aba-aba yang ditujukan pada barisan pasukannya. Adegan ini dilengkapi dengan suara latar digital yang berusaha menampakkan suasana perang dengan suara tembakan, teriakan komandan, dan derap langkah sepatu. Fragmen ini menampakkan disorientasi pada Bram, ingatan tentang masa mudanya saat ia masih menjadi seorang tentara, muncul sewaktu-waktu tanpa terduga.
Panggung beralih pada sosok perempuan muda yang sedang hamil tua, tertatih-tatih memasuki panggung dengan tempo yang teramat pelan. Sampai di tengah panggung, ia melahirkan sesosok bayi dengan rupa topeng kepala hitam dan memiliki tubuh berupa sejuntai jaring hitam. Itulah Merry yang diperankan Anggun Anggendari. Merry ketika muda, yang melahirkan anak karena diperkosa Bram.
Adegan pemerkosaan dibentuk dengan interaksi Merry dengan boneka, yang digerakkan oleh si aktris. Pemerkosaan yang terjadi di belakang kain putih dan hanya tampak siluetnya, memunculkan suatu kejijikan ketika melihat si boneka bertanduk melakukan gerakan naik-turun di atas tubuh Merry.
Bardi, diperankan Indra Prasetio, juga punya trauma tersendiri. Masa lalu yang kelam digambarkan dengan boneka hitam yang menggelayuti punggungnya. Betapapun keras usahanya, Bardi tak berhasil melepaskan si boneka hitam itu. Hingga di hari tuanya, boneka hitam meninggalkan jejak di kaki pincangnya.
Di masa tua mereka, Bram dan Bardi tinggal bersama. Satu lagi anggota rumah mereka adalah sebuah boneka, yang karena kebingungan mental dan disorientasi yang dimiliki Bram, dianggapnya betul adalah Putri, istrinya yang sudah meninggal.
Bram tua, berdansa dengan boneka Putri dan bahkan memberinya hadiah setangkai mawar. Jika Bram bisa menjadikan boneka sebagai perwujudan akan memori istrinya dan punya sejarah sebagai pemerkosa, bisa jadi Bram adalah orang yang melihat perempuan sebagai objek. Motivasi Bardi yang mengikuti permainan Bram pun tidak tampak dengan jelas pada narasi cerita, atau memang Bram adalah karakter yang memaksa Bardi untuk mengikutinya. Bardi yang sangsi akan sosok boneka, membuat Bram marah dan menganggap Bardi tidak percaya lagi padanya. Ketika Bardi ingin pergi, Bram menahannya dan tercetus konflik di antara mereka.
Di tengah perseteruan mereka berdua, muncul seorang perempuan berkerudung-cadar jaring hitam. Ia Merry, yang setelah kejadian pemerkosaan lima puluh dua tahun lalu itu, menyimpan luka dan kemarahan terhadap Bram. Dari kemunculan Merry, terkuak memori bahwa ia dulunya adalah kekasih Bardi. Konflik memuncak hingga Bram terus-menerus menekan Bardi. Karakter manipulatif Bram juga mengejek Bardi dengan cemoohan, hingga Bardi mengancam akan membanting boneka Putri.
Selain berinteraksi dengan sosok boneka, para aktor tampil dengan mengenakan topeng, sementara si aktris mengenakan kerudung panjang yang menutupi sebagian wajahnya. Mengenai ini, sutradara mencatat bahwa topeng dan boneka adalah perwujudan memori yang tersimpan. Ketika para pemain melepas penutup wajah, ini menjadi penanda kembalinya memori masa lalu, para tokoh menjadi pribadi yang diliputi kemarahan dan mampu bergerak tanpa keterbatasan fisiknya yang tua karena adrenalin berderas.
Koreografi yang digunakan dalam pertunjukan, menggeser pementasan ini dari gaya realisme. Proses menemukan koreografi pun dilakukan sendiri dengan eksperimen dari para pemain. Gerakan-gerakan dari para tokoh muncul karena merespon memori yang bangkit ketika dipicu oleh kejadian-kejadian yang dialaminya maupun dari konfrontasi antar tokoh. Pada Memori Disorder, koreografi digunakan untuk menciptakan makna yang lebih dalam dari kata-kata, dan muncul untuk melepaskan memori yang tersimpan.
Pada biografi penciptaan, dijelaskan bahwa narasi pertunjukan ini berangkat dari kisah seorang kerabat sutradara Edian Munaedi, seorang mantan tentara yang setelah ditinggal mati istrinya mulai menunjukkan tanda-tanda paranoia, yaitu perasaan diikuti, dan mendengar suara-suara tak jelas. Si mantan tentara yang jadi latar penokohan Bram, yang memancing keingintahuan Edian terhadap pengalaman gangguan kejiwaan hingga akhirnya memunculkan gagasan pementasan ini.
Riset, penelusuran dan observasi yang dilakukan hingga ke sebuah panti werda, menghasilkan Memori Disorder yang membangun makna dalam ruang lingkup pribadi, dan menghasilkan pandangan reflektif yang juga personal, kata Edian mengenai makna personal ini. “Pada suatu titik, orang tua juga membutuhkan anak dan lingkungan yang mengerti akan keadaan mereka. Karena hampir sebagian besar para sepuh di panti mengalami gangguan-gangguan itu, karena lingkungan keluarga yang tidak peduli lagi dengan mereka.”
Menonton sebuah pertunjukan teater, berarti juga masuk dalam alur proses termasuk menelaah biografi penciptaan, catatan sutradara, esai kurator hingga menonton pertunjukannya secara langsung. Pada Memori Disorder, latar belakang serta hal-hal yang tak tampak pada pemanggungan, bisa ditemukan melalui biografi penciptaan. Diskusi yang berlangsung sehari sebelum pertunjukan juga memperkuat proses ini. Sebuah karya akan utuh ketika gagasannya ditawarkan kembali kepada masyarakat yang melingkupinya untuk direspon dan dievaluasi.
###