Pada Jumat 5 Juli 2024, Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta menyelenggarakan sebuah diskusi publik berjudul “Jakarta Sound Rhapsody, Public Discourse: Dari Konser Hingga Konseling – Menyingkap Tabir Musik sebagai Sarana Terapi dan Kesehatan”. Diskusi ini merupakan bagian dari rangkaian program Jakarta Sound Rhapsody.
Jakarta Sound Rhapsody merupakan sebuah platform yang dirancang oleh Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta sebagai ruang universal yang dapat menaungi seniman musik dari berbagai genre. Platform ini memfasilitasi mereka untuk berekspresi dan berkarya tanpa batasan tertentu. Melalui platform ini, Komite musik menginisiasi sebuah penciptaan ekosistem yang memungkinkan pertukaran ide dan kolaborasi tidak terbatas pada suatu jenis atau genre tertentu.
Hal ini penting untuk memperkaya dan memperluas pandangan artistik para seniman musik, serta untuk memperkenalkan keindahan musik dalam konteks yang lebih luas kepada masyarakat. “Dengan demikian, seni musik tidak hanya menjadi manifestasi dari keindahan subjektif, tetapi juga sebuah jembatan untuk memahami dan merasakan berbagai dimensi manusia melalui ekspresi artistik yang universal,” sebut Komite Musik Dewan Kesenian Jakarta.
Diskusi yang dihelat pada pukul 19.00-21.00 WIB di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, ini disambut dengan antusias oleh masyarakat pecinta musik. Hal ini tercermin dengan banyaknya peserta yang hadir pada saat diskusi dimulai dan memenuhi ruang Teater Wahyu Sihombing. Sebagian besar peserta hadir karena ingin mengetahui lebih mendalam perihal korelasi musik dengan kesehatan. Diskusi ini diisi oleh narasumber yang ahli dalam bidangnya, seperti Kezia Karnila Putri, seorang dosen program studi musik pengajar terapi musik dan anggota Research and Ethics Committee 2020-2023 (World Federation of Music Therapy); Lestika Madina Hasibuan, seorang pianis, pendidik musik, dan psikomusikolog Indonesia yang berfokus pada pedagogi piano untuk anak-anak dan pendidikan khusus. Lestika meraih gelar dari Universitas Pelita Harapan dan University of Sheffield. Lestika bekerja dengan anak-anak berkebutuhan khusus dan mendirikan Psikologi Musik Indonesia pada 2021. Selain Kezia dan Lestika ada juga Ammir Gita, seorang sound healer, produser, musikus, komposer, dan orchestrator dengan keahlian dalam sound healing sejak 2013. Spesialisasi Ammir meliputi Brainwave Entrainment dan metode unik dari Love Alchemy Space yang ia dirikan bersama mitra. Ammir juga melayani klien dari dalam dan luar Indonesia.
Bersama dengan moderator Nathania Karina, diskusi ini mulai menyingkap bagaimana musik dapat membantu Masyarakat. Selain dari sisi ekspresi, musik juga berfungsi sebagai sarana penyembuhan serta terapi. Kezia membuka diskusi ini dengan pemaparannya tentang musik sebagai sarana terapeutik. Dirinya menunjukan bagaimana penggunaan musik untuk rehabilitasi pasien yang menderita stroke yang memiliki gangguan memori, seperti kesulitan mengingat nama bulan dan juga rehabilitasi pasien pasca-stroke yang memiliki gangguan dalam berbicara (afasia) serta pasien yang mengalami kecelakaan dan mengalami lumpuh dengan menggunakan terapi musik dalam proses rehabilitasi penyembuhan.
Berangkat dari pemaparan yang dibuat oleh Kezia, Lestika pun memaparkan bagaimana musik tidak hanya berfungsi sebagai medium penyembuh. Musik juga dapat diaplikasikan dalam berbagai aspek psikologi yang membantu rangsangan otak serta diaplikasikan melalui Psikologi Musik. Namun, Lestika juga menjelaskan bahwa psikologi dan terapi musik merupakan dua hal yang kompleks dan berbeda, tetapi juga berkesinambungan.
“Adanya terapi musik, adanya pendidikan musik itu membuat psikolog musik mempunyai data yang real. Jadi, bagaimana respons seorang pasien terhadap sebuah stimulus itu bisa kami gunakan dan olah menjadi data dan penemuan baru” ujar Lestika.
Ammir Gita menambahkan sebenarnya sound healing berada dalam keterkaitan terapi serta fungsi otak. Berangkat dari sudut pandang seorang sound healer, Ammir menjelaskan bahwa sound healing mulai marak sejak pandemi Covid-19 terjadi. Ketika itu, sound healing digunakan sebagai pengantar meditasi. Namun, Ammir juga mengutarakan bagaimana sebenarnya fenomena sound healing sudah terjadi sejak dahulu kala. Adapun salah satu medium yang digunakan adalah alat musik tradisi, seperti gamelan yang dimainkan dalam upacara adat atau ritual-ritual yang berangkat dari kepercayaan dari tiap daerah.
Kini penelitian serta riset mengenai sound healing sudah semakin banyak hingga sekarang sound healing tidak hanya menggunakan alat musik tradisi, tetapi juga sudah mulai berfokus pada penggunaan medium elektronik serta alat musik modern.
“Sekarang kita mencoba untuk menerapkan sound healing dengan teknologi yang lebih modern. Kita menggunakan alat-alat elektronik, seperti synthesizer, komputer, dan keyboard untuk mencoba menggunakan dan mengembangkan resonansi vibrasi dari musik instrumen itu sendiri,” sebut Ammir.
Beralih menuju salah satu miskonsepsi umum, timbul pertanyaan dari moderator Nathania Karina. “Apakah yang menjadi miskonsepsi terbesar dari bidang yang sedang Anda geluti saat ini?” sebuah pertanyaan yang beresonansi dengan ketiga narasumber ini. Kezia menjelaskan bahwa miskonsepsi yang umumnya terjadi khalayak umum “Terapi musik itu sering disamakan sound healing, padahal itu merupakan dua hal yang mempelajari hal yang berbeda” tukas Kezia.
Menurut Kezia, “Karena di terapi musik tidak belajar tentang gelombang otak seperti yang ada di dalam sound healing. Di dalam terapi musik mengikutsertakan pasien dalam kegiatan bermusik,” jelas Kezia. Kezia juga menambahkan “Terapi musik selalu menggunakan musik klasik, pada kenyataannya tidak seperti itu. Faktanya, selama ini terapi musik menggunakan berbagai macam genre musik.”
Miskonsepsi ini juga tidak hanya berhenti pada pemikiran mengenai kedua bidang tersebut. Akan tetapi, banyaknya pemikiran-pemikiran yang sempat melenceng pun diluruskan dalam diskusi ini. Salah satu miskonsepsi tersebut, misalnya apakah ada musik yang membuat anak menjadi pintar, khususnya adalah musik klasik atau lebih spesifik musik Mozart. Informasi tersebut kemudian diluruskan oleh Lestika yang mengatakan, “Sebetulnya musik yang baik untuk kita adalah yang dapat membuat kita memiliki perasaan lebih nyaman dan tenang. Artinya, ini tidak tergantung pada satu genre musik tertentu”.
Ammir juga merasakan hal yang sama terkait dirinya sebagai seorang praktisi sound healer “. Saya sering dituduh klenik oleh sebagian orang karena berpraktek sound healing,” ujar Ammir sambil tertawa.
Menuju penghujung acara, para narasumber mengungkapkan harapan mereka kedepannya terkait terapi musik dan juga sound healing yang mereka nilai penyebaran serta kemajuannya belum terfokus dengan baik, “Terkait psikologi musik di Indonesia baru ada 10 orang yang mendalami hal ini. Karena itu, kami ingin sekali mengajak praktisi musik untuk terjun lebih dalam (pada psikologi musik)” ujar Lestika. Hal ini juga dinyatakan oleh Ammir yang mempunyai keinginan untuk menggali lebih dalam terkait penelitian praktik sound healing.
“Sejak 5 tahun yang lalu, saya sudah memiliki keinginan untuk menggali lebih dalam terkait penelitian praktek sound healing di Indonesia. Saya memiliki harapan agar beberapa peristiwa terkait sound healing yang terjadi di Indonesia dapat diangkat ke permukaan dari sisi ilmu pengetahuan,” katanya.
Diskusi ini berlangsung serta membahas berbagai pertanyaan serta pelurusan miskonsepsi tentang musik sebagai terapi dan medium penyembuh, baik fisik maupun psikis. Pertanyaan juga tidak hanya dilemparkan oleh moderator. Peserta yang hadir dalam diskusi ini juga ikut menanyakan perihal metode yang tepat untuk kesehatan mereka.
Diskusi ini ditutup dengan pertunjukan singkat oleh Ammir Gita yang menunjukkan bagaimana sesi terapi sound healing dilakukan. Ammir mengarahkan peserta untuk menjalani proses meditasi. Ia meminta seluruh peserta diskusi untuk berfokus pada melodi serta mengatur nafas ditemani oleh alunan melodi yang menghantarkan peserta menjadi tenang melalui seperangkat instrumen ia bawa. Di saat Ammir meminta seluruh peserta membuka matanya, pada saat tersebut diskusi ini berakhir.
Penulis: Muhammad Ridho
Editor: Fadjriah Nurdiarsih