Catatan Forum Pertemuan Para Penyelenggara Festival Seni Pertunjukan
Badan Ekonomi Kreatif (Bekraf) menyelenggarakan forum pertemuan para penyelenggara festival seni pertunjukan (musik, teater, tari, performance art, wayang dan boneka) di Indonesia. Pertemuan berlangsung selama dua hari (28 – 29 Juni 2016), di Royal Hotel, Kuningan Jakarta.
Undangan meliputi: Ratna Riantiarno (Teater Koma, Jakarta), Maria Darmaningsih (Indonesia Dance Festival, Jakarta), Nirwan Dewanto (Festival Salihara, Jakarta), Yudi Ahmad Tajudin (Art Summit Indonesia, Jakarta), Amna Kusumo (Yayasan Kelola, Jakarta, tidak hadir), Maria Trisulistranti dan Iwan Effendi (Pesta Boneka, Yogyakarta), Irawati Kusumosari (Solo International Performing Art, SIPA, Solo), Syukri (Sawah Lunto International Music Festival, Sumatra Barat), Iwan Irawan Permadi (Pesta Tari Kontemporer, Pastakom, Riau), Sabri Gumail (Contemporary Solo Dance Festival, Medan), Melati Suryodarmo (Undisclosed Territory Performance Art Event, Mojosongo, Solo), Mimi Nooryanti dan Abdul (Lanjong Art Festival, Kalimantan), Michael Asmara (Yogyakarta Contemporary Music Festival), Moh. Hariyanto (Sawung Festival Surabaya), Nasar L. Batati (Festival Seni Kalimas, Surabaya), Heri Lentho Prasetyo (G-Wak Percussion Festival, Surabaya), Sutanto Mendut (Festival Lima Gunung, Magelang, tidak hadir), Angga Djamar (Kaba Festival, Padang), saya sendiri (Festival Teater Jakarta, Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta), M. Abduh Azis dan Linda Hoemar Abidin (Koalisi Seni Indonesia, Jakarta), Bre Redana (Kompas, tidak hadir), Seno Joko Suyono (Tempo), Sari Madjid (producer, Jakarta), Ali Marsudi (Festival Wayang Orang), Eko Supriyanto (Koreografer, dosen tari ISI Surakarta, Solo), Rachmi Dewi Wulansari (Badan Ekonomi Kreatif), Jonathan Aitan, Benno Ramadhan dan Ery Mefri (Nan Jombang, Padang). Hilmar Farid, Dirjen Kemendikbud juga hadir dalam pertemuan ini.
Tema-tema yang dibahas:
- Mapping festival seni pertunjukan
- Strategi konsolidasi penyenggaraan festival
- Mapping kebutuhan-kebutuhan festival
- Format bantuan
- Agenda program forum selanjutnya
Konfirmasi
Dari undangan ini tentu masih banyak penyelenggara festival atas nama seni pertunjukan yang tidak terundang. Sebut misalnya festival musik internasional “Noise” di Yogyakarta, Mimbar Teater Indonesia (Halim HD, Solo) atau Restu Imansari (Bumi Purnati yang membangun jaringan internasional, di antaranya dengan Robert Wilson dalam pentas Ilagaligo, atau dengan Tadashi Suzuki dari SCOT, Toga, Jepang).
Di antara yang hadir juga terdapat penyelenggara festival yang hanya sekali menyelenggarakan programnya, setelah itu mati seperti Festival Seni Kalimas, Surabaya. Atau dari Festival Teater Jakarta (Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta) yang sudah berusia 43 tahun (festival teater tertua di Asia Tenggara).
Ada berapa banyak festival seni pertunjukan di Indonesia? Ada berapa banyak kelompok seni pertunjukan di Indonesia? Tidak ada data mengenai ini. Michael Asmara dari Yogyakarta, misalnya, menyebut ada 300 festival dalam berbagai bentuk di Yogyakarta dalam setahun. Kota yang bisa dibayangkan (360 hari dalam setahun) setiap hari agendanya adalah menyelenggarakan festival. Dalam pertemuan ini, Yogyakarta memang memiliki kinerja paling terbaca dalam menyelenggarakan festival melalui Yogya Art Mapp yang mereka terbitkan setiap tahun.
Dana dan bunuh diri
Ini merupakan forum pertemuan antar penyelenggara festival yang baru pertama kali diselenggarakan. Forum yang alih-alih membawa semangat untuk membongkar timbunan masalah yang telah membungkus lembaga festival yang mereka usung sepanjang mereka kerja di masing-masing provinsi maupun kota. Masalah utama tentu adalah urusan bagaimana mengakses dana. Banyak kisah yang tidak terungkap di sekitar momok ini. Asumsi umum: setiap penyelenggara festival dianggap memiliki hubungan dekat dengan sumber dana baik dari pemerintah maupun dari swasta.
Tetapi cukup banyak penyelenggara festival yang menggunakan dana pribadi seperti yang dilakukan Maria Trisulistranti dari Pesta Boneka, Yogyakarta; Ery Mefri dari Nan Jombang, Padang; Melati Suryodarmo dari Undisclosed Territory Performance Art Event, Mojosongo, Solo; Michael Asmara dari Yogyakarta Contemporary Music Festival yang pertama kali membuat festival hanya dengan modal Rp 2 juta. Atau Hari Lentho dari Surabaya yang mencium dan memeluk dengkul Walikota Surabaya untuk bisa mengatasi hutang yang ditanggungnya setelah festival berakhir. Rata-rata penyelenggara festival dibuat lelah dan jenuh, karena setiap menyelenggarakan festival kembali harus memulainya lagi dari nol dalam mencari dana, walau festival sudah berusia matang seperti Indonesia Dance Festival.
Di antara yang tragis adalah bunuh dirinya penyelenggara festival musik Indie (festival berlangsung di Stadion Maguwoharjo, Sleman, 25-26 Mei 2013). Karena masalah dana, Bobby Yoga, penanggung-jawab festival LockStock #2 ini, bunuh diri dengan menabrakan tubuhnya ke kereta di lintasan KA Sorowajan Baru, Banguntapan, Bantul, 26 Mei 2013 (JPNN.com: Konser Musik Kacau, Promotor Bunuh Diri).
Ada juga lembaga festival yang memiliki visi independen untuk memproduksi festival dengan mencari dana sendiri tanpa bantuan pemerintah. Atau festival “plat merah” yang sepenuhnya didanai pemerintah, seperti Art Summit Indonesia.
Memproduksi Pertanyaan
Apa alasan kita membuat festival?
Siapa kita dan apa yang kita miliki untuk membuat festival?
Apakah kita memiliki kurator dan dramaturg seni pertunjukan?
Apakah lembaga-lembaga pemerintah yang berkaitan dengan medan produksi kesenian memiliki sistem dan mekanisme yang bisa mengatur bagaimana industri festival seni pertunjukan berlangsung dengan target yang terukur?
Jenis dan visi seperti apa yang diusung sebuah festival agar bisa memenuhi karakter maupun identitas kota yang diharapkan?
Medan produksi seperti apa yang kita riset dan menjadi skema kerja dari festival yang kita kerjakan?
Tema dan model kuratorial seperti apa yang diusung dalam sebuah festival?
Pendekatan seperti apa agar setiap produk pertunjukan yang diundang mengisi program festival mendapat dukungan maksimal dalam memproduksi pertunjukan?
Isu maupun wacana apa yang akan diproduksi sebuah festival agar menjadi pengetahuan yang bisa didistribusi untuk perkembangan kesenian maupun program-program kota dimana festival berlangsung?
Daftar pertanyaan di atas bisa menjadi lebih pendek atau lebih panjang sesuai kebutuhan sebuah festival seni pertunjukan. Secara keseluruhan memperlihatkan bahwa salah satu tugas utama sebuah festival adalah memang memproduksi pertanyaan dan mengkurasi pertanyaan tersebut berdasarkan konteks sosial-politik yang menjadi wilayah medan produksi sebuah festival. Ketika sebuah festival berhenti, atau tidak memiliki urusan untuk memproduksi pertanyaan, bahkan pertanyaan untuk keberadaan maupun jenis pertunjukan seni yang mereka usung, maka sebuah festival tidak bisa menggerakkan ruang sejarah dari seni yang mereka usung dalam festival. Festrival yang tidak lagi memproduksi pertanyaan, hanya akan membangun bentuk-bentuk kesenian yang sudah mapan dan pada gilirannya menjadi stagnan, karena tidak mampu lagi memproduksi pertanyaan maupun gagasan.
Laboratorium Kerja Festival
Sebuah festival dengan sendirinya menjalankan fungsi suprastruktur kota dalam melakukan investasi sejarah maupun investasi nilai untuk mendapatkan makna. Suprastruktur ini tidak akan berjalan maksimal, ketika tidak ditopang infrastruktur yang memadai. Masalah ini perlu dibaca tidak hanya semata-mata sebagai masalah sarana-sarana fisik untuk seni pertunjukan maupun organisasi dengan manajemen dan SDM yang memadai. Tetapi juga mewujudkan festival itu sendiri sebagai sebuah laboratorium kerja seni pertunjukan dengan agenda menumbuhkan medan produksi festival.
Tidak jarang sebuah kota, misalnya, memiliki begitu banyak festival, tetapi tidak memiliki efek untuk menumbuhkan perekonomian kota. Bahkan tidak berhasil menumbuhkan perkembangan seni di kota tempat festival itu sendiri berlangsung. Setiap tahun, kota hanya sibuk menyelenggarakan festival, bongkar-pasang festival lama dengan festival baru, tetapi tetap tidak membawa hasil.
Laboratorium kerja festival di sini menjadi penting. Antara lain memiliki agenda mengundang kelompok-kelompok seni pertunjukan yang dianggap representatif untuk berbagi pengetahuan bagaimana sebuah pertunjukan dirancang dari konsep dramaturgi hingga produksi dan distribusi ke publik.
Dalam pertemuan ini beberapa usul disampaikan, antara lain:
- berbagi informasi dan sumber daya
- penguatan kualitas kuratorial festival
- presentasi ke pihak-pihak yang dianggap titik sasaran
- transfer keterampilan, pengalaman dan pengetahuan
- penguatan manajemen maupun administrasi
- menguasai teknologi media untuk pencatatan, publikasi dan dokumentasi
- membuka skema aliran dana untuk produksi kesenian yang dimiliki lembaga-lembaga pemerintah agar mudah diakses publik
- bantuan produksi maupun wacana agar setiap peserta festival mencapai presentasi pertunjukan yang maksimal
- pengembangan kualitas publik festival
- membuat forum evaluasi
Pointer di atas merupakan hasil utama dari pertemuan para penyelenggara festival ini yang dipimpin Abduh Azis dari Koalisi Seni Indonesia. Produk utama dari pertemuan adalah usulan untuk membentuk semacam “asosiasi festival seni pertunjukan”, menjadikan pointer di atas sebagai agenda kerja untuk mewujudkannya.
Forum ini juga mengungkapkan alur keuangan yang rumit dari lembaga yang memproduksi sebuah festival ke lembaga pemerintah yang berhubungan dengan anggaran kesenian (misalnya, Bekraf maupun Kemendikbud), peraturan Departemen Keuangan dan penngesahan anggaran dari lembaga DPR. APBN untuk dana-dana kesenian di berbagai lembaga pemerintah juga tidak dianggarkan berdasarkan program yang akan diwujudkan. Melainkan berdasarkan pembagian dana untuk masing-masing lembaga pemerintah.
Catatan Tambahan
Forum ini menghasilkan fenomena yang lumayan menarik: terjadinya curhat antara seniman dan aparat pemerintah yang lumayan berimbang berdasarkan masalah yang mereka hadapi masing-masing. Motif untuk menjalin sebuah kerja sama baru yang lebih terbuka cukup terlihat dalam pertemuan ini; walau sebagian perserta masih menjaga jarak untuk bisa saling membaca terjalinnya hubungan yang memang terbuka, tidak lagi menghadapi topeng kekuasaan yang kontra-produksi.
Salah satu asumsi yang digunakan dalam pertemuan ini adalah dugaan bahwa sebuah festival kesenian memiliki efek ekonomi dalam peningkatan sektor pariwisata, kualitas kehidupan publik maupun kualitas ruang publik. Asumsi ini mungkin bisa dilihat melalui perkembangan Yogyakarta yang memiliki festival seni pertunjukan maupun program senirupa yang memang bertaraf internasional. Ini tidak termasuk efek makna dari berlangsungnya investasi nilai maupun investasi sejarah yang berlangsung berkelanjutan. Festival seni menjadi lembaga suprastruktur yang terus-menerus mengkurasi perkembangan kota yang tidak selalu bersifat fisik.
Tetapi asumsi di atas juga bisa menjadi berbahaya ketika dijalankan tanpa paradigma pembanding. Yaitu membiarkan kesenian diperlakukan sama dengan produk-produk komoditi lainnya dalam transaksi pasar. Lembaga negara seperti Bekraf, kehadirannya akan lebih signifikan apabila lembaga ini justru lebih menjalankan fungsinya untuk mengkurasi jenis investasi maupun industri apa saja yang non-kesenian yang bisa diangkut dan dijual di balik sebuah kerja kebudayaan seperti festival seni pertunjukan. Kerja kebudayaan di sini menjadi sebuah ruang diplomasi untuk pencapaian politik ekonomi yang menjadi target utama pemerintah.
***
(Afrizal Malna, Komite Teater Dewan Kesenian Jakarta)