Menonton Ni Rangda, mengingatkan Pengamat pada pertunjukan-pertunjukan yang biasa dilakukan di Bali. Bedanya, pertunjukan di Bali hampir sebagian besar disajikan untuk turis, sedangkan pementasan yang Pengamat saksikan bersama kurang-lebih seratusan penonton lainnya ini, adalah tontonan serius yang seyogyanya tidak sekedar demi hiburan semata, tapi juga memberi asupan rohani-pemikiran yang sarat “gizi” pada audiens.
Pada saat Pengamat memasuki tempat pertunjukan, suasana horor dan magis sepertinya sudah terasa dan memang sengaja dibangun oleh Sutradaranya, Dadang Badoet. Penata musik, yakni Didiet dan kawan-kawannya, juga cukup berhasil mengentalkan aroma magis itu sejak awal. Menurut hemat Pengamat, akan lebih mencekam lagi, jika ditambahkan elemen lain, yakni bau-bauan yang berkaitan dengan itu, seperti kemenyan maupun dupa.
Adegan dibuka dengan penampilan Ni Rangda yang secara verbal menyatakan dendamnya pada warga, atau juga komunitas tertentu (?). Dengan mengatasnamakan membela harga diri keturunannya, Ni Rangda menebar bom teluhnya kepada warga di seluruh desa dan kampung-kampung. Namun sayangnya hal itu tidak terkomunikasikan secara jelas. Apa yang membuat Ni Rangda sampai melakukan perbuatan keji itu? Dan apa yang terjadi pada Ni Rangda sehingga sedemikian kesumatnya dendam itu mengalir dalam darahnya? Pengamat tidak melihat adanya turning point yang jelas, apa sebenarnya yang membuat Ni Rangda, yang notabene mewakili sosok wanita sekaligus ibu, bisa berubah menjadi monster.
Menurut Pengamat, penggarapan sebuah turning point dalam pertunjukan Teater sangat penting. Karena hal ini bisa menjembatani pemikiran seseorang yang subyektif, dalam hal ini Pramoedya Anantatoer, sehingga bisa dipahami oleh orang kebanyakan. Seorang Hitler, pastilah tidak serta-merta dilahirkan menjadi seorang yang kejam. Pasti ada sesuatu yang “memicu” kebenciannya pada bangsa Yahudi, sehingga ia mampu mengobarkan semangat Anti Yahudi (meski menurut pakar sejarah, dia sendiri keturunan Yahudi). Pasti semua itu ada sebab-musababnya. Nah, “alasan” inilah yang hilang dan tidak terkomunikasikan kepada penonton pada pertunjukkan malam itu. Dengan demikian, penonton juga tidak mendapat esensi dari buah pemikiran karya Pramoedya Anantatoer ini.
Okelah, barangkali saja sang sutradara tidak ingin Ni Randa dibawa ke pemikiran sosialis Pram, tapi lebih ditekankan pada kisah seorang ibu yang ingin membela kehormatan keturunannya. Namun menurut Pengamat, tetap saja hal itu tidak tercapai, karena tidak terlihat sedikit pun adanya hubungan kasih-sayang seorang ibu kepada anaknya. Yang muncul adalah, seorang wanita yang membela egonya sendiri, dengan mengatasnamakan kehormatan anaknya.
Namun secara keseluruhan, pertunjukannya boleh dibilang cukup baik. Terutama didukung oleh aktor-aktor yang berbakat. Meski di awal, aktor yang memerankan Ni Rangda nampak kedodoran, terutama penguasaan vokalnya. Untung saja, “ketegangan” sang aktor pemeran Ni Rangda ini, menyurut dan semakin membaik ke belakangnya. Ditambah dengan penampilan pemeran Ratna Manggali yang cukup mempesona, pertunjukan yang memakan waktu kurang-lebih satu jam ini, semakin terasa berkualitas. Namun sayangnya tetap saja tidak mampu menambal informasi yang hilang di awal, yaitu kejadian apa yang membuat Ni Rangda menebarkan teluhnya?
Hal lainnya yang cukup mengganggu adalah, pengaturan bloking yang tidak “ramah penonton”. Seperti yang dikeluhkan beberapa penonton yang berada di kiri dan kanan dari arah pintu masuk, sering merasa dirugikan dengan bloking yang dibuat sutradara. Pemain sering menghadap langsung (full front) ke arah pintu masuk. Seperti Pengamat juga melihat, pertunjukan Ni Rangda ini jelas mengikuti konsep pertunjukan Teater arena, seperti halnya juga pementasan teater tradisi pada umumnya. Namun bloking yang dipakai cenderung mengikuti kaidah pertunjukan yang diadakan di panggung prosenium.
Apa yang disajikan kelompok Teater Stage Corner Community ini seharusnya bisa lebih baik. Teror teluh yang disebarkan Ni Rangda, seharusnya juga bisa dirasakan oleh penonton. Apalagi konsep arena memberi peluang yang lebar untuk hal itu. Cukup dengan menampilkan penduduk atau warga yang terkena teluh sebagai misal, yang memberi bukti visual kepada penonton betapa kejamannya wanita yang dilumuri dendam itu. (Catatan pementasan Teater Tujuan ini ditulis oleh Budi Ochad)