OLEH: Oming Putri
Akhirnya, setelah dua minggu mengikuti workshop kuratorial di Dewan Kesenian Jakarta dan Ruang Rupa, 10 kurator muda yang berasal dari berbagai daerah di Indonesia mempresentasikan proposal pameran mereka di Galeri Cipta III Taman Ismail Marzuki, Jakarta Pusat hari ini (23/11). Rasa lega muncul dalam senyum mereka karena telah berhasil menyelesaikan misi. “Aah, akhirnya,” desah salah seorang dari mereka.
Kesepuluh kurator muda itu adalah Asro Suardi (Padang Panjang), Ayos Purwoadji (Surabaya), Dhiyandra Natalegawa (Jakarta), Erni Aladjai (Palu), Hamada Adzani Mahaswara (Yogyakarta), I Made Susanta Dwitanaya (Bali), Ibrahim Arimurti (Bogor), Muhammad Sibawaihi (Lombok), Putra Hidayatullah (Aceh), dan Tommy Ari Wibowo (Semarang).
Kesepuluh kurator muda ini terpilih berdasarkan proposal yang dikirimkan dan syarat pendaftaran lainnya. Setelah terpilih, mereka mengikuti workshop yang diisi oleh pemateri yang ahli dalam bidangnya, seperti Hilmar Farid, Indra Ameng, Bambang Budjono, Ade Darmawan, Reza Afisina, Ika Vantiani, Dolorosa Sinaga, Ronny Agustinus, Nuraini Juliastuti, Martin Suryajaya, MG. Pringgotono, Julia Sarisetiati, Hafiz Rancajale, Mirwan Andan, Agung Hujatnika, Mahardhika Yudha, Reza Mustar, dan Mia Maria. Materi yang diberikan, mulai dari sejarah seni rupa, konsep, aspek budaya, metode penelitian, pengembangan proposal proyek, strategi produksi, pengelolaan organisasi, presentasi dan komunikasi, sampai dengan pameran. Proses yang panjang menuju hari itu.
Wajar jika Asro dan kesembilan kurator muda lainnya merasa sangat lega. Selain karena prosesnya panjang, persiapan mereka untuk pameran proposal ini terbilang agak grasah-grusuh karena keputusan bisa atau tidaknya pemakaian Galeri Cipta III untuk pameran mereka cukup mendadak . “Keputusan Galeri Cipta bisa dipakai atau ndak memang agak mendadak. Jadi kami dikejar-kejar waktu untuk mempersiapkan pamerannya,” cerita singkat Hamada.
Tapi, usaha mereka tidak sia-sia. Meskipun waktu yang diberikan oleh pihak panitia workshop untuk mempersiapkan pameran hanya satu setengah hari, mereka terlihat berhasil mempersentasikan rencana-rencana pameran mereka. Berhasil dalam arti, ide-ide yang ada di kepala mereka terkait konsep pameran, implementasinya dalam program, juga relevansi ide mereka dengan kondisi jaman sekarang di daerah masing-masing, dapat tergambar dengan baik dari apa yang mereka tempelkan dan mereka susun di tembok galeri. Pertanyaan yang tertinggal jadi cuma satu: sanggupkah mereka konsisten menjalankan rencana-rencana ini?
Namun, kalau dipikir-pikir, konsep mereka sebenarnya cukup realistis, hingga menarik untuk dijalankan. Jadi pertanyaan itu sepertinya akan terjawab “sanggup” di masa depan. Ini dapat dilihat dari detil konsep yang mereka tawarkan. Mereka terlihat menguasai benar apa yang sedang mereka bicarakan.
Ini wajar karena sebenarnya konsep yang mereka pamerkan, kebanyakan adalah konsep yang kini memang sedang mereka jalankan dengan komunitas masing-masing. Konsep yang ditawarkan Ayos Purwoadji, misalnya. Seorang kurator muda dari Surabaya ini menawarkan konsep pameran yang bertemakan arsitektur. Ia mengangkat karya-karya arsitektur milik arsitek senior di Surabaya bernama Harjono Sigit dengan alasan, “beliau adalah salah satu arsitek senior yang legendaris di Surabaya karena mampu memadukan antara falsafah modernis dengan arsitektur tropis,” katanya.
Konsep Ayos ini adalah konsep yang memang sedang ia garap dengan komunitasnya di Surabaya bernama Ayorek.org. Sebuah komunitas yang sedang getol mengangkat tokoh-tokoh penting yang masih hidup, yang berkontribusi besar bagi perkembangan kota pahlawan itu, termasuk Harjono Sigit. Jadi, konsep yang Ayos pamerkan di TIM adalah konsep yang memang sedang ia matangkan dengan komunitasnya. Sehingga, tak ada masalah bagi Ayos untuk membuatnya jadi nyata. Itu hanya soal waktu saja.
Sebenarnya, hal yang menarik dari pameran ini bukan hanya betapa realistisnya konsep mereka untuk dijalankan, tetapi juga betapa beragamnya konteks sosial yang mereka angkat. Terhitung 10 konsep yang berbeda, hadir dalam ruang galeri yang memiliki dua lantai itu.
Satu di antara mereka menyinggung tentang konflik sosial di Aceh, sedangkan yang lain mengangkat tentang isu lingkungan hidup di Gili dan Rembang. Sejarah budaya Indonesia di era postkolonial juga ada, termasuk isu perkotaan di masa sekarang. Ada pula yang membahas tentang visual poetry dan mencoba mengarahkannya menjadi diskusi tentang budaya anak muda di tahun 1990an. Bahkan, ada yang ingin membicarakan tentang cengkeh, tanaman mulia yang membawa dampak sosial, ekonomi, dan politik bagi rakyat Indonesia. Kesemuanya tema-tema yang punya potensi besar memantik diskusi – kalau tidak ingin dibilang memicu kritik – jika dikemas dengan apik saat pelaksanaannya nanti.
Jadi, mari kita tunggu perkembangan proyek pameran para kurator muda ini. Beberapa dari mereka rencananya akan menyelenggarakan pameran mereka di tahun 2015, saat Indonesia mulai menghadapi AFTA. Semoga para kurator muda ini bisa menjawab kegelisahan dunia seni rupa Indonesia yang menurut Hafiz Rancajale, “sedang kekurangan kurator muda yang punya perspektif baru.” Semoga mereka benar-benar jadi kurator-kurator yang muda dan berbahaya. Doakan saja.