Merindukan Selamat Tinggal merupakan karya Tennessee Williams yang diterjemahkan oleh Tatiek Malyati, kemudian diadaptasi oleh Rin Threesia untuk kepentingan pertunjukan Teater Gonjang-Ganjing. Berkisah tentang Norman, seorang pemuda – yang tidak kunjung berhasil menetapkan dirinya sebagai pengarang sehingga lebih mengesankan sebagai pengangguran – yang hidup berkubang di masa lalu. Ia menghargai sesuatu secara berlebihan, sehingga setiap saat mengalami perpisahan akan merupakan saat yang selalu ingin dihayatinya dengan seluruh perasaan. Demikian pula ketika ia harus meninggalkan rumah kontrakan tempat keluarganya pernah tinggal.
Tertinggal sendiri di rumah tersebut, ia terus dibayangi kenangan saat keluarganya masih utuh. Dengan seorang ibu penderita kanker rahim yang kemudian bunuh diri, ayah yang medadak hilang setelah pensiun, serta adik perempuan yang kemudian juga meninggalkannya. Beragam peristiwa dari masa lalu itu seperti sesuatu yang membuatnya begitu terikat dengan rumah tersebut, sehingga bahkan pada hari ketika ia harus meninggalkannya pun ia sedemikian ayal. Hal yang kemudian membuat Subali, satu-satunya teman dan pendengar setia bualan-bualan Norman memutuskan untuk meninggalkannya juga.
Ruang pertunjukan ditata dengan konsep selected realism, di mana benda-benda di atas panggung – termasuk pintu-pintu kamar hanya berfungsi untuk menyaran pada benda yang seharusnya. Dari sini barangkali penonton sudah akan berharap akan disuguhi sebuah permainan karakter yang hidup dan mengesankan. Ketika penonton menuju ke areal di depan panggung, Norman sudah asyik dengan mesin tiknya. Musik berfungsi cukup sugestif dengan permainan humming membawa penonton pada suasana yang dalam dan mistikal. Sebuah opening yang menjanjikan.
Sayang pada saat dialog mulai digulirkan, terasa suasana tegang yang menguasai pemain sehingga tidak tercipta interaksi antar tokoh. Kalimat-kalimat seperti muncul dari kepala, bukan lahir dari kebutuhan peran untuk mengekspresikan diri. Percakapan Norman (Rizky Sihab) dan Subali (Yogi Gamblez) yang kering dan bertele-tele ini tereliminasi dengan kemunculan dua orang kuli (dimainkan oleh Rano dan Coproet) yang keluar-masuk ruangan untuk membawa barang-barang yang dikeluarkan dari kamar dan diangkut entah ke mana.
Situasi yang sama juga terjadi ketika Mira (Nurmala Mega), adik Norman muncul dalam bentuk ingatan yang menyeruak begitu saja di ruang permainan. Untung penampilan Bakrie (Ciscus Handoyo), pemuda teman kencan Mira, dapat menyelamankan mood pertunjukan yang lamban. Ia mampu bermain dengan dewasa dan leluasa. Tokoh Ibu ( Novita Christalia) yang juga muncul sebagai kenangan Norman cukup menunjang pengadeganan.
Dari pertunjukan tersebut, terasa benar bahwa sebagian besar pemain utama masih bermasalah dengan karakter-karakter yang mereka mainkan, sehingga kesulitan dalam membangun atmosfir pertunjukan. Meskipun demikian, cukup terlihat upaya yang sungguh-sungguh dari sutradara untuk menyajikan pertunjukan yang baik.
Kendala teknik yang terasa mengganggu adalah kenyataan bahwa tata cahaya tidak dapat dieksplorasi secara optimal karena keterbatasan di tempat pertunjukan. Dalam sebuah venue yang lebih memadai, tata cahaya akan sangat menentukan perubahan situasi yang terjadi di atas panggung.
Perubahan adegan yang disaran oleh sutradara dengan pola gerak menyerupai tari, barangkali masih membutuhkan pencarian lebih jauh untuk tidak meninggalkan kesan kenes atau bahkan mengada-ada.