‘Penjara’ adalah satu di antara mekanisme disiplin sosial yang lahir dari tatanan masyarakat yang digunakan untuk mengurung orang hukuman (KBBI). Dalam perkembangannya, penjara menjadi semacam teknologi pendisiplinan sosial, khususnya pada akhir abad ke-18, dari seorang teoretikus sosial, Jeremy Bentham, yang menciptakan arsitektur bernama Panopticon, sebagai sebuah arsitektur menara pengawas terhadap para tahanan di penjara. Panopticon adalah desain bangunan berbentuk ‘menara inspeksi’ yang berada di tengah gedung penjara, yang memungkinkan orang yang berada di dalam menara mengawasi seluruh tahanan yang ada didalamnya.
Panopticon sebenarnya menjadi figur bangunan yang ideal dalam perkembangan pengawasan pada masyarakat modern. Hal ini dikarenakan, Panopticon adalah sistem pengawasan yang tidak memerlukan lagi para tahanan dirantai, penguncian para tahanan, atau membuat semacam palang penghalang bagi para tahanan agar tidak melarikan diri dan lain sebagainya. Sistem menara Panopticon menjadikan para tahanan merasa dirinya selalu merasa diawasi oleh seorang pengawas yang berada di menara tersebut, meski sebenarnya apakah ada pengawas berada di menara tersebut atau tidak. Dampak dari pengawasan secara panotic ini kemudian berdampak pada para tahanan melakukan mekanisme pengawasan diri (self surveillance), karena ia sebenarnya seakan-akan merasa selalu diawasi. Pengawasan secara Panoptic menyebabkan adanya kesadaran dan visibilitas pada tahanan, yang memastikan berfungsinya kekuasaan secara otomatis, karena para tahanan merasakan bahwa pengawasan itu seolah-olah dirasakan bersifat permanen, meski sebenarnya bisa jadi pengawasan tersebut terjadi tidak secara sinambung. Sistem Panopticon ini oleh Michael Foucault, dijadikan metafora dalam melihat praktek-praktek pendisiplinan sosial melalui pengawasan yang terdapat di dalam fenomena lembaga-lembaga sosial lainnya yang ada di masyarakat modern. Penjara sebagai sebuah mekanisme pendisiplinan sosial, menjadikan masyarakat diatur melalui sistem mekanisme sosial yang bersifat tunggal dan hierarkis, atau sistem ‘polisi’.
Terkait fenomena Panoptic di masyarakat, proyek seni dijadikan praktek untuk mengenali, merefleksikan, bahkan mengintervensi fenomena sosial politik yang berlangsung di masyarakat. Hal ini juga menjadi bagian dari perkembangan kontemporer seni yang seharusnya memiliki sebuah platform yang menggunakan isu-isu sosial yang melingkupinya sebagai bahan baku artistik dan estetika seni. Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta (DKJ) sendiri, selama dua tahun belakang ini, cukup aktif mendorong sebuah proyek seni yang berangkat dari isu-isu sosial, dan melalui model pendekatan kerja partisipatoris yang output kerjanya yang bersifat pararel activities. Dengan tema Panoptic ini, secara konkret pihak Komite Seni Rupa DKJ dan rumah tahanan Pondok Bambu—sebagai lembaga pemasyarakatan yang memiliki program pembinaan para tahanan bekerja sama. Proyek Seni Perupa Perempuan 2016: Panoptic ini melakukan kerja seni partisipatoris dalam praktek kolaboratif antara para seniman dan warga binaan di Rutan Pondok Bambu. Selama proyek seni Panoptic berlangsung, seniman bekerja bersama warga binaan secara intim, untuk mengenali bagaimana mekanisme kuasa negara dalam lembaga permasyarakatan di tengah kasus kriminalitas dan hukum yang diberlakukan terhadap masyarakatnya. Intensitas antara seniman dan warga binaan melahirkan narasi-narasi dari para warga binaan, yang menunjukkan bahwa mereka memiliki personalitas, dan bahwa mereka bagian dari masyarakat yang tetap memiliki hak-hak dasar. Kerja partisipatoris yang setara antara seniman dan warga binaan menghasilkan saling pertukaran pengetahuan dan menjadi bahan artistik kolaboratif dalam membentuk estetika dan aktivisme dalam karya seni.
Proyek Seni Perupa Perempuan ini sendiri adalah perhelatan seni yang diselenggarakan setahun sekali oleh Komite Seni Rupa DKJ, sebagai platform untuk mengembangkan praktek seni rupa kontemporer, yang secara spesifik adalah usaha untuk memetakan dan mendukung perkembangan seniman perempuan Indonesia, sebagai bagian dari mendorong perempuan menjadi salah satu faktor utama dalam perkembangan seni rupa kontemporer di Indonesia. Adapun para partisipan seniman perempuan yang terlibat dalam proyek seni ini adalah; Daniella F. Praptono, Dila Martina Ayulia, Ika Vantiani, Meicy Sitorus, Nenan Angenani Titis, Prilla Tania, dan Venti Wijayanti.
Hasil Proyek Seni Perupa Perempuan ini siap dipresentasikan ke publik pada Selasa, 22 November 2016 pukul 19.00 WIB di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki bertajuk BON SENI. “Bon” merupakan istilah menandai warga binaan untuk diperbolehkan keluar blok sel untuk mengikuti kegiatan di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur.
Periode pameran presentasi ini diadakan pada 23—29 November 2016 setiap pukul 10.00-17.00 WIB. Mengadaptasi istilah di Rutan, ‘Jam Kunjungan’ Seniman adalah sesi bincang-bincang yang disediakan untuk para pengunjung untuk bertanya maupun menciptakan diskusi dengan para seniman mengenai proses seniman selama beraktivitas di Rutan Pondok Bambu, Jakarta Timur. ‘Jam Kunjungan’ Seniman diadakan pada Sabtu & Minggu (26 & 27 November 2016) pukul 15.00 WIB. Pameran ini gratis dan terbuka untuk umum.