PANCASILA RUMAH KITA
Oleh: Yudi Latif
Tetapi kecuali Pancasila adalah satu weltanschauung, satu dasar falsafah,
Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya Bangsa Indonesia
dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu.
Dan bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan Negara Republik Indonesia, tetapi juga pada hakekatnya satu alat mempersatu dalam perjoangan kita
melenyapkan segala penyakit yang telah kita lawan berpuluh-puluh tahun
yaitu penyakit terutama sekali, Imperialisme.
Perjoangan suatu bangsa, perjoangan melawan imperialisme, perjoangan mencapai kemerdekaan, perjoangan sesuatu bangsa yang membawa corak sendiri-sendiri.
Tidak ada dua bangsa yang cara berjoangnya sama.
Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjoang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri.
Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mampunyai keperibadian sendiri. Keperibadiaan yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya,
dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya.
(Soekarno, 1958)
Di muka Kongres Amerika Serikat, dalam kunjungan pertamanya ke negeri ini (16 Mei-3 Juni 1956), Bung Karno dengan kepercayaan diri yang tinggi berpidato menguraikan Pancasila. Setiap sila disebutkan, hadirin bertepuk riuh diakhiri dengan standing ovation yang panjang. Tampak di sana, betapapun rumusan Pancasila itu digali dari bumi Indonesia sendiri, kandungan nilainya bisa diterima secara universal.
Keberanian Bung Karno mengkampanyekan Pancasila pada dunia itu kembali disampaikan dalam pidatonya di depan PBB, 30 September 1960, yang berjudul “To Build the World Anew”. Ia menyangkal pendapat seorang filosof Inggris, Bertrand Russel, yang membagi dunia ke dalam dua poros ideologis. “Maafkan, Lord Russell. Saya kira tuan melupakan adanya lebih daripada seribu juta rakyat, rakyat Asia dan Afrika, dan mungkin pula rakyat-rakyat Amerika Latin, yang tidak menganut ajaran Manifesto Komunis ataupun Declaration of Independence.” Selanjutnya ia katakan bahwa Indonesia tidak dipimpin oleh kedua paham itu; tidak mengikuti konsep liberal maupun komunis. “Dari pengalaman kami sendiri dan dari sejarah kami sendiri tumbuhlah sesuatu yang lain, sesuatu yang jauh lebih sesuai, sesuatu yang jauh lebih cocok.” Lantas ia simpulkan, “Sesuatu itu kami namakan Pancasila. Gagasan-gagasan dan cita-cita itu, sudah terkandung dalam bangsa kami. Telah timbul dalam bangsa kami selama dua ribu tahun peradaban kami dan selama berabad-abad kejayaan bangsa, sebelum imperialisme menenggelamkan kami pada suatu saat kelemahan nasional.”
Russel mengomentari pidato Bung Karno itu dalam suatu harian di Inggris dengan menyatakan bahwa Pancasila merupakan sintesis kreatif dari ideologi dunia dan menyebut Soekarno sebagai Great Thinker in the East. (Achdiat K. Mihardja (2005: 79).
Pancasila sebagai Jatidiri Bangsa
Jalan tengah Pancasila itu bukanlah pilihan oportunis yang timbul dari lemahnya kepercayaan diri, melainkan pancaran dari karakter keindonesiaan. Bung Karno menyatakan, “Tidak ada dua bangsa yang cara berjoangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjoang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakekatnya bangsa sebagai individu mampunyai keperibadian sendiri. Keperibadiaan yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan lain-lain sebagainya.”
Karakter keindonesiaan itu pertama-tama tercetak karena pengaruh ekosistemnya. Sesuai dengan karakteristik lingkungan alamnya, sebagai negeri lautan yang ditaburi pulau-pulau, karakter keindonesiaan juga merefleksikan sifat lautan. Sifat lautan adalah menyerap dan membersihkan; menyerap tanpa mengotori lingkungannya. Sifat lautan juga dalam keluasannya mampu menampung segala keragaman jenis dan ukuran.
Sebagai “negara kepulauan” terbesar di dunia, yang membujur di titik strategis persilangan antarbenua dan antarsamudera, dengan daya tarik kekayaan sumberdaya yang berlimpah, Indonesia sejak lama menjadi titik-temu penjelajahan bahari yang membawa berbagai arus peradaban. Maka, jadilah Indonesia sebagai tamansari peradaban dunia dengan mental penduduknya yang berjiwa kosmopolitan.
Karakter keindonesiaan juga merefleksikan sifat tanahnya yang subur, terutama akibat debu muntahan deretan pegunungan vulkanik. Tanah yang subur, memudahkan segala hal yang ditanam, sejauh sesuai dengan sifat tanahnya, untuk tumbuh. Seturut dengan itu, karakter keindonesiaan adalah kesanggupannya untuk menerima dan menumbuhkan. Di sini, apapun budaya dan ideologi yang masuk, sejauh dapat dicerna oleh sistem sosial dan tata nilai setempat, dapat berkembang.
Ethos pertanian masyarakat Nusantara bersifat religius dan gotong-royong, dalam rangka penggarapan lahan bersama. Sifat religius dan sensitivitas kekeluargaan juga memijarkan daya-daya etis dan estetis yang kuat. Maka, jadilah Nusantara sebagai pusat persemaian dan penyerbukan silang budaya, yang mengembangkan berbagai corak kebudayaaan yang lebih banyak dari kawasan Asia manapun (Oppenheimer, 2010).
Penindasan ekonomi-politik oleh kolonialisme-kapitalisme memang banyak menggerus sifat-sifat kemakmuran, kosmopolitan, religius, toleran dan kekeluargaan dari tanah-air ini. Di sisi lain, kolonialisme-kapitalisme juga mengandung kontradiksi-kontradiksi internalnya tersendiri yang membawa unsur-unsur emansipasi baru, seperti humanisme, perikebangsaan, demokrasi dan keadilan, yang dapat memperkuat karakter keindonesiaan. Persenyawaan antara anasir karakter asal yang mengendap laten dalam jiwa penduduk dan visi emansipasi baru itu diidealisasikan oleh para pendiri bangsa sebagai sumber jatidiri, falsafah dasar dan pandangan hidup bersama.
Oleh karena itu, kategorisasi yang bersifat saling mengucilkan antara “golongan kebangsaan” dan “golongan Islam”, dengan identifikasi turunannya bahwa yang satu disebut pro-Pancasila dan yang lain kontra-Pancasila, sesungguhnya merupakan keserampangan. Dalam kenyataannya, baik anggota golongan kebangsaan maupun golongan Islam tidaklah monolitik. Lebih dari itu, secara substantif, kedua golongan memiliki kesepahaman yang luas. Terbukti, para pengusul untuk setiap sila dalam BPUPK sama-sama datang baik dari “golongan kebangsaan” maupun “golongan Islam”.
Apa yang mereka idealisasikan sebagai dasar kehidupan bersama itu disarikan oleh Bung Karno pada pidato 1 Juni 1945 ke dalam lima sila, yang disebutnya sebagai “dasar falsafah” (philosofische grondslag) atau “pandangan dunia” (weltanschauung) negara/bangsa Indonesia. Kelima sila, menurutnya, merupakan unsur “meja statis” yang menyatukan bangsa Indonesia, sekaligus Leitstar (bintang pimpinan) dinamis, yang memandu perkembangan bangsa ke depan.
Sungguh pun Soekarno telah mengajukan lima sila dari dasar negara, ia juga menawarkan kemungkinan lain, sekiranya ada yang tidak menyukai bilangan lima, sekaligus juga cara beliau menunjukkan dasar dari segala dasar kelima sila tersebut. Alternatifnya bisa diperas menjadi Tri Sila bahkan bisa dikerucutkan lagi menjadi Eka Sila:
Atau barangkali ada saudara-saudara yang tidak suka bilangan lima itu? Saya boleh peras, sehingga tinggal 3 saja. Saudara-saudara tanya kepada saya, apakah ‘perasan’ yang tiga itu? Berpuluh-puluh tahun sudah saya pikirkan dia, ialah dasar-dasarnya Indonesia Merdeka, Weltanschauung kita. Dua dasar yang pertama, kebangsaan dan internasionalisme, kebangsaan dan perikemanusiaan, saya peras menjadi satu: itulah yang dahulu saya namakan socio-nationalisme.
Dan demokrasi yang bukan demokrasi Barat, tapi politiek-economische democratie, yaitu politieke-democratie dengan sociale rechtvaardigheid: Inilah yang dulu saya namakan socio-democratie.
Tinggal lagi ke-Tuhanan yang menghormati satu sama lain.
Jadi yang asalnya lima itu telah menjadi tiga: socio-nationalisme, socio-democratie, dan ke-Tuhanan. Kalau tuan senang kepada simbolik tiga, ambillah yang tiga ini. Tetapi barangkali tidak semua tuan-tuan senang kepada Tri Sila ini, dan minta satu, satu dasar saja? Baiklah, saya jadikan satu, saya kumpulkan lagi menjadi satu. Apakah yang yang satu itu?
Sebagai tadi telah saya katakan: kita mendirikan Negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, tetapi Indonesia buat Indonesia—semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ‘gotong-royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong-royong.
Dengan kata lain, dasar dari semua sila Pancasila adalah gotong-royong. Maknanya adalah: Prinsip ketuhanannya harus berjiwa gotong-royong (ketuhanan yang berkebudayaan, yang lapang dan toleran); bukan ketuhanan yang saling menyerang dan mengucilkan. Prinsip intenasionalismenya harus berjiwa gotong-royong (yang berprikemanusian dan berprikeadilan); bukan internasionalisme yang menjajah dan eksploitatif. Prinsip kebangsaannya harus berjiwa gotong-royong (mampu mengembangkan persatuan dari aneka perbedaan, “bhineka tunggal ika”); bukan kebangsaan yang meniadakan perbedaan atau menolak persatuan. Prinsip demokrasinya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan musyawarah mufakat); bukan demokrasi yang didikte oleh suara mayoritas (mayorokrasi) atau minoritas elit penguasa-pemodal (minorokrasi). Prinsip kesejahteraannya harus berjiwa gotong-royong (mengembangkan partisipasi dan emansipasi di bidang ekonomi dengan semangat kekeluargaan); bukan visi kesejahteraan yang berbasis individualisme-kapitalisme; bukan pula yang mengekang kebebasan individu seperti dalam sistem etatisme.
Dengan semangat dasar kelima sila tersebut, negara/bangsa Indonesia memiliki pandangan dunia yang begitu visioner dan tahan banting. Prinsip-prinsip dalam Pancasila mampu mengantisipasi dan merekonsiliasikan antara paham kenegaraan radikalisme sekularis dan radikalisme keagamaan, antara paham kebangsaan homogenis dengan tribalisme atavisitis, antara kebangsaan yang chauvinis dengan globalisme triumphalis, antara pemerintahan autokratik dengan demokrasi pasar-individualis, antara ekonomi etatisme dengan kapitalisme predatoris.
Diperlukan puluhan tahun sejak perang dunia kedua bagi bangsa-bangsa lain untuk memasuki jalan tengah keemasan itu. Adapun bangsa Indonesia telah meletakkannya di titik awal berdirinya Republik. Sayang, masalah bangsa ini memang kerap pandai memulai namun gagal memelihara dan mengakhiri. Tatkala bangsa-bangsa lain mulai mengengok warisan pemikiran terbaik bangsa ini, bangsa Indonesia sendiri mulai mengabaikannya.
Krisis Mentalitas
Tiga belas tahun setelah Reformasi digulirkan, perkembangan demokrasi di Indonesia belum memberi manfaat besar bagi perbaikan kehidupan bangsa. Bahkan banyak orang mulai sangsi dengan janji demokrasi di negeri ini. Dari penjelajahan hampir setiap pekan mengarungi cakrawala Nusantara, dari jarak dekat dengan bau keringat dan kaki kebangsaan, dengan mudah kupergoki retakan-retakan dari arsitektur kenegaraan kita. Tiga belas tahun setelah reformasi demokratis digulirkan, Indonesia adalah tenunan yang robek, karena simpul yang rapuh.
Dari Danau Sentani di Papua hingga Danau Toba di Sumatera Utara, kebeningan air kearifan memang masih tersisa, tetapi polusi yang ditimbulkan oleh limbah politik kian mendekat mengancam ketahanan ekosistem kebudayaan. Tentu merisaukan, karena Indonesia adalah pertautan politik dari keragaman budaya. Jika politik sebagai simpul pertautan itu rapuh, kekayaan warisan budaya Nusantara itu tidak bisa diikat menjadi sapu lidi yang kuat, tetapi sekadar serpihan lidi yang berserak, mudah patah.
Indonesia lebih merupakan state-nation ketimbang nation-state. Dasar mengada dari bangsa ini tidak lain karena eksistensi negara. Bangsa Indonesia dipersatukan bukan karena kesamaan budaya, agama, dan etnisitas, melainkan karena adanya negara persatuan, yang menampung cita-cita politik bersama, mengatasi segala paham golongan dan perseorangan. Jika negara merupakan faktor pemersatu bangsa, negara pula yang menjadi faktor pemecah-belah bangsa. Dengan demikian, lebih dari negara mana pun di muka bumi ini, politik kenegaraan bagi Indonesia sangatlah vital untuk menjaga keutuhan dan keberlangsungan bangsa.
Arsitektur politik kenegaraan yang secara tepat-guna sanggup mempertautkan kemajemukan Indonesia sebagai nations-in-nation adalah desain negara kekeluargaan. Secara bertepatan, pendiri bangsa, dengan keragaman garis ideologisnya, memiliki pertautan dalam idealisasi terhadap nilai kekeluargaan. Konsepsi negara kekeluargaan ini tidaklah bercorak tunggal, tetapi adalah perpaduan dari banyak unsur: paham kesatuan kawula dan gusti dalam konsepsi tradisi (khususnya Jawa), konsepsi kekeluargaan Hakkoo Itjiu Jepang, perspektif Islam tentang ketidakterpisahan individu dan masyarakat (fardu ain dan fardu kifayah), perspektif sosialis kasih Kristiani, populisme radikal ala Soekarno maupun demokrasi sosial ala Hatta, dan terlebih lagi paham integralisme konservatif ala Soepomo.
Dengan demikian, semangat kekeluargaan merupakan cetakan dasar (archetype) dan karakter ideal keindonesiaan. Ia bukan saja dasar statis yang mempersatukan, melainkan juga dasar dinamis yang menuntun ke arah mana bangsa ini harus berjalan. Dalam istilah Soekarno, kekeluargaan adalah ”meja statis” dan ”leitstar dinamis”, yang mempersatukan dan memandukan.
Oleh karena kekeluargaan merupakan jantung keindonesiaan, kehilangan semangat kekeluargaan dalam kehidupan kenegaraan dan kebangsaan Indonesia merupakan kehilangan segala-galanya. Kehilangan yang membuat biduk perahu kebangsaan limbung, terombang-ambing gelombang perubahan tanpa jangkar dan arah-tujuan.
Jika demokrasi Indonesia kian diragukan kemaslahatannya, tak lain karena perkembangan demokrasi itu cenderung tercerabut dari jiwa kekeluargaan. Peraturan daerah berbasis eksklusivisme keagamaan bersitumbuh menikam jiwa ketuhanan yang berkebudayaan; lembaga-lembaga finansial dan korporasi internasional dibiarkan mengintervensi perundang-undangan dengan mengorbankan kemanusiaan yang adil dan beradab; tribalisme, nepotisme, dan pemujaan putra daerah menguat dalam pemilu kepala daerah melemahkan persatuan kebangsaan; anggota parlemen bergotong royong menjarah keuangan rakyat, memperjuangan ”dana aspirasi” seraya mengabaikan aspirasi rakyat, melupakan kegotongroyongan berdasarkan hikmah kebijaksanaan; ekspansi neoliberalisme, kesenjangan sosial dan tindak korupsi melebar menjegal keadilan sosial.
Demokrasi yang dijalankan justru memutar jarum jam ke belakang, membawa kembali rakyat pada periode prapolitik, saat terkungkung dalam hukum besi sejarah survival of the fittest dan idol of the tribe. Ada jarak yang lebar antara voices dan choices; antara apa yang diargumentasikan dengan pilihan institusi dan kebijakan yang diambil. Demokrasi yang diidealkan sebagai wahana untuk memperjuangkan kesetaraan dan persaudaraan lewat pengorganisasian kepentingan kolektif justru menjadi instrumen bagi kepentingan privat.
Distorsi ini terjadi karena orang-orang bekerja dari politik, bukan untuk politik. Di sinilah pintu masuk bagi persekongkolan antara pengusaha hitam dan politisi hitam dalam proses institutional crafting dan legal drafting. Suatu penyanderaan demokrasi yang mengarah pada legalisasi kejahatan. Tiba-tiba saja nubuat Pramoedya Ananta Toer dalam Rumah Kaca menjadi kenyataan, ”Akan ada permainan politik oleh orang-orang kriminal dan permainan kriminal oleh orang-orang politik.”
Demokrasi yang dikembangkan tanpa mempertimbangkan sistem pencernaan kebudayaan dan karakter keindonesiaan, seperti biduk yang limbung. Dalam satu dekade terakhir, kita seakan-akan telah mengalami begitu banyak perubahan. Namun, perubahan yang terjadi tidak membawa kita ke mana pun. ”Change alone is unchanging,” ujar Heraclitus.
Krisis yang melanda negara ini begitu luas cakupannya dan begitu dalam penetrasinya, tetapi yang dijumpai adalah mentalitas para pemimpin yang sempit dan cetek. Dalam kesempitan dan kedangkalan mentalitas pemimpin itulah jangkauan kekuatan luar yang memiliki keluasan dan kedalaman mendikte agenda perubahan, mulai dari amandemen konstitusi, draf perundang-undangan, rekayasa institusi, hingga formasi jabatan.
Perbudakan para pemimpin, karena kesempitan dan kedangkalan mentalitasnya, merupakan sumber dari segala sumber korupsi. Seperti digambarkan Machiavelli dalam Hikayat Florentin, ada beberapa sebab korupsi merajalela. Pertama, para pemuka negeri diperbudak negeri lain hingga negara tidak mampu membuat aturan secara leluasa untuk mengelola urusan sendiri.
Kedua, pemangku kekuasaan dengan kekayaan berlebih nan tak bersih, yang melalui pundi-pundi keuangannya, bisa menundukkan moral publik di bawah pragmatisme sempit. Ketiga, kaum gentiluomini (semacam elite negeri) yang hidup dari popularitas dan berpenghasilan tinggi dengan sedikit kerja. Mereka tidak hanya merusak negeri dengan polah dan gaya hidupnya, tetapi juga memiliki pengikut atau penggemar membeo yang membuat kebobrokan secara massal.
Keempat, pemahaman agama ”berdasarkan kemalasan dan bukan kesalehan”. Interpretasi agama lebih menekankan aspek ritual-formal daripada esensi ajaran. Memuja ”insan pembual daripada insan pekerja”. Memperindah tempat ibadah daripada membebaskan kaum duafa. Pemahaman seperti ini membuat orang ”tidak lagi beramal saleh, tetapi menjadi mangsa empuk orang kuat”.
Di republik korup dan jahil, persahabatan madani sejati hancur. Setiap warga berlomba mengkhianati negeri dan sesamanya; rasa saling percaya lenyap karena sumpah dan keimanan disalahgunakan; hukum dan institusi lumpuh sehingga tidak mampu meredam perluasan korupsi; ketamakan dan hasrat meraih kehormatan rendah merajalela; kebaikan dimusuhi; kejahatan diagungkan.
Tibalah kita pada fase sejarah yang murung. Di negeri ini problem etis tidak lagi muncul dalam memilih antara yang putih dan yang hitam, tetapi dalam memilih di antara yang sama-sama hitam. Dalam kisruh pemilihan ketua umum PSSI, pengajuan dan penolakan hak angket mafia pajak, serta partai mana yang masuk dan keluar dari kabinet, kewarasan nalar publik dihadapkan pada pilihan yang sulit untuk berpihak kepada siapa. Ini karena setiap pihak mengandung unsur dan motif jahatnya masing-masing.
Dalam situasi seperti itu, transformasi kehidupan kenegaraan tidak bisa disandarkan pada perubahan tambal sulam pada tingkat prosedur dan perundang-undangan. Transformasi substantif memerlukan suatu revolusi mental-kebudayaan.
Revolusi mental-kebudayaan itu bisa dilakukan dengan menghidupkan kembali karakter (kedalaman dan keluasan) para pendiri bangsa dan semangat dasar pendirian negara. Seperti diungkapkan Bung Karno dalam pidato 1 Juni, ”Kita mendirikan negara Indonesia, yang kita semua harus mendukungnya. Semua buat semua! Bukan Kristen buat Indonesia, bukan golongan Islam buat Indonesia, bukan Hadikoesoemo buat Indonesia, bukan Van Eck buat Indonesia, bukan Nitisemito yang kaya buat Indonesia, melainkan Indonesia buat Indonesia—semua buat semua! Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan ’gotong royong’. Negara Indonesia yang kita dirikan haruslah negara gotong royong!”
Kehilangan terbesar bangsa ini bukanlah kemerosotan pertumbuhan ekonomi atau tak ada tokoh menonjol, melainkan kehilangan harga diri karena diabaikannya semangat dasar kehidupan bernegara. Mengutip Juvenalis, ”Aib terbesar ketika kamu lebih mementingkan kehidupan ketimbang harga diri, sementara demi kehidupan itu sendiri engkau telah kehilangan prinsip-prinsip kehidupan.”
Kembali ke Rumah Pancasila
Secara singkat dapat dikatakan bahwa sebagian besar ketidakmampuan kita memecahkan masalah hari ini disebabkan ketidakmampuan kita merawat warisan terbaik dari masa lalu. Adapun warisan termahal para pendiri bangsa yang merosot saat ini adalah karakter. Ketika suatu golongan dibiarkan dicincang di altar kebencian golongan lain, dan ketika elit negeri berpesta pora memakan bangkai daging rakyatnya sendiri kita mengalami amnesia yang parah tentang makna kemerdekaan.
Bung Karno berkata, “Aku, ya Tuhan, telah Engkau beri kesempatan melihat penderitaan-penderitaan rakyat untuk mendatangkan negara Indonesia yang merdeka itu. Aku melihat pemimpin-pemimpin, ribuan, puluhan ribu, meringkuk di dalam penjara. Aku melihat rakyat menderita. Aku melihat orang-orang mengorbankan ia punya harta benda untuk tercapainya cita-cita ini. Aku melihat orang-orang didrel mati. Aku melihat orang naik tiang penggantungan. Bahkan aku pernah menerima surat daripada seorang Indonesia yang keesokan harinya akan naik tiang penggantungan. Dalam surat itu dia mengamanatkan kepada saya sebagai berikut: ‘Bung Karno, besok aku akan meninggalkan dunia ini. Lanjutkanlah perjuangan kita ini’.”
Empati terhadap sejarah pengorbanan itulah yang membuat para pendiri bangsa memiliki jiwa kepahlawanan. Kenanglah heroisme para anggota Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia saat berpidato dengan menyerukan kemerdekaan dengan dasar negara yang diidealisasikan di tengah opsir-opsir bala tentara Jepang bersenjatakan bayonet. Bung Karno mengakui, “Saya sadar, Saudara-saudara, bahwa ucapan yang hendak saya ucapkan mungkin adalah satu ucapan yang berbahaya bagi diriku, sebab ini adalah zaman perang, kita pada waktu itu di bawah kekuasaan imperialis Jepang, tetapi juga pada waktu itu, Saudara-saudara, aku sadar akan kewajiban seorang pemimpin. Kerjakanlah tugasmu, kerjakanlah kewajibanmu, tanpa menghitung-hitung akan akibatnya.”
Ketika para anggota DPR lebih sibuk mempermahal ruang kerja seraya mempermurah nilai keseriusan penyusunan rancangan undang-undang, kita mengalami kemerosotan begitu dalam dari jiwa pertanggungjawaban. Kenanglah rasa tanggung jawab para pendiri bangsa! Dalam membincangkan hukum dasar, Mohammad Yamin mengingatkan, “Saya hanya minta perhatian betul-betul karena yang kita bicarakan ini hak rakyat. Kalau ini tidak terang dalam hukum dasar, maka ada kekhilafan daripada grondwet; grondwettelijke fout, kesalahan perumusan Undang-Undang Dasar, besar sekali dosanya buat rakyat yang menanti-nantikan hak daripada republik.”
Akutnya krisis yang kita hadapi mengisyaratkan, untuk memulihkannya perlu lebih dari sekadar politics as usual. Kita perlu visi politik baru yang mempertimbangkan kenyataan bahwa krisis nasional itu berakar jauh pada krisis moralitas dan etos yang melanda jiwa bangsa. Usaha “penyembuhan” perlu dilakukan dengan memperkuat kembali fundamen etis dan karakter bangsa berdasarkan falsafah dan pandangan bangsa Indonesia.
Ibarat pohon, sejarah perkembangan bangsa yang sehat tidak bisa tercerabut dari tanah dan akar kesejarahannya, ekosistem sosial-budaya, sistem pemaknaan, dan pandangan dunianya tersendiri. Pancasila dirumuskan oleh pendiri bangsa sebagai dasar dan tuntutan bernegara dengan mempertimbangkan aspek-aspek itu, lewat usaha penggalian, penyerapan, kontekstualisasi, rasionalisasi, dan aktualisasinya dalam rangka menopang keberlangsungan dan kejayaan bangsa.
Sebagai warisan yang digali dan dirumuskan bersama, Bung Karno meyakini keampuhan Pancasila sebagai bintang pimpinan (leitstar). “Kecuali Pancasila adalah satu Weltanschauung, satu dasar falsafah, Pancasila adalah satu alat mempersatu, yang saya yakin seyakin-yakinnya bangsa Indonesia dari Sabang sampai ke Merauke hanyalah dapat bersatu padu di atas dasar Pancasila itu. Bukan saja alat mempersatu untuk di atasnya kita letakkan negara RI, melainkan juga pada hakikatnya satu alat mempersatu dalam perjuangan kita melenyapkan segala penyakit yang kita lawan berpuluh-puluh tahun, yaitu penyakit terutama sekali, imperialisme. Perjuangan suatu bangsa, perjuangan melawan imperialisme, perjuangan mencapai kemerdekaan, perjuangan bangsa yang membawa corak sendiri- sendiri. Tidak ada dua bangsa yang cara berjuangnya sama. Tiap-tiap bangsa mempunyai cara berjuang sendiri, mempunyai karakteristik sendiri. Oleh karena pada hakikatnya bangsa sebagai individu mempunyai kepribadian sendiri. Kepribadian yang terwujud dalam pelbagai hal, dalam kebudayaannya, dalam perekonomiannya, dalam wataknya dan sebagainya.”
Akibat keteledoran, ketidaktaatan, dan penyelewengan atas nilai-nilai Pancasila, terutama oleh penyelenggara negara, Pancasila sebagai bintang pimpinan itu pun redup tertutup kabut; menimbulkan kegelapan dalam rumah kebangsaan. Lantas anak-anak negeri berusaha mencari kunci jawaban atas persoalan negerinya di luar “rumah”. Seseorang bertanya, “Apa gerangan yang kalian cari?” Anak-anak negeri itu pun menjawab, “kunci rumah”. “Memangnya di mana hilangnya kunci itu?” “Di dalam rumah kami sendiri”. “Mengapa kalian cari di luar rumahmu?” “Karena rumah kami gelap”.
Kunci jawaban atas krisis kebangsaan itu sesungguhnya bisa ditemukan dari dasar falsafah dan pandangan hidup Indonesia sendiri. Yang diperlukan adalah mengikuti cara Bung Karno, menggali kembali mutiara terpendam itu. Marilah kembali ke rumah Pancasila!