Pada tanggal 23 Mei 2024 Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta mengadakan Diskusi Publik yang bertajuk “Jakarta City of Literature: Sekedar Status atau Serius Dihidupi?” Diskusi ini diadakan di Teater Wahyu Sihombing, Taman Ismail Marzuki, bersama Laura Prinsloo dan Alex Sihar sebagai pembicara, serta dimoderatori oleh anggota Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta Fadjriah Nurdiarsih.
Diskusi Publik ini dibuka dengan sambutan yang diberikan oleh Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta Anton Kurnia yang dikirimkan oleh beliau dari Jerman, “Isu yang dibicarakan malam ini saya kira cukup penting, yakni Jakarta sebagai ‘City of Literature’ UNESCO, salah satu kota yang masuk dalam jejaring ‘UNESCO Creative City’ dan satu-satunya bukan hanya di Indonesia namun di Asia Tenggara hingga saat ini. Mari kita bahas, mari kita diskusikan secara terbuka untuk kepentingan kita semua, para pemangku kepentingan sastra Indonesia. Selamat berdiskusi, selamat malam, salam,” ujarnya.
Diskusi dibuka dengan mengundang kedua pembicara maju ke panggung yang kemudian dilanjutkan dengan pengenalan pembicara oleh moderator. Laura Prinsloo membuka memulai dengan pemaparan mengenai penerapan Jakarta yang disematkan oleh Unesco ‘City of Literature’ yang kemudian dilanjutkan oleh penjabaran proses kerja, rancangan awal Focal Point Jakarta City of Literature beserta rencana-rencana strategisnya.
Jakarta City of Literature, sebuah gelar yang diberikan kepada kota Jakarta yang mana masuk ke dalam jaringan Unesco Creative City Network. Unesco Creative City Network merupakan jaringan kota-kota dunia yang didominasi oleh kota-kota di Eropa. “Merupakan suatu kebanggan untuk kota di Asia Tenggara bisa masuk ke dalam jejaring yang kebanyakan diisi oleh kota-kota Eropa,” sebut Laura Prinsloo.
“C.O.L (City of Literature) ini adalah program berjejaring berlangsung selamanya, tujuannya untuk memiliki network dengan kota literatur dunia dan kota kreatif lainnya di dalam jejaring itu. Jadi program-program yang diadakan oleh kota-kota yang terpilih akan hanya diberikan di dalam jejaring itu, misalkan, seperti yang Mas Anton sedang ikuti seperti sekarang, yaitu residensi dari Kota Heidelberg di Jerman yang baru terpilih sebagai City of Literature. Waktu mereka mengadakan program residensi, mereka hanya memberikan kesempatan itu kepada kota-kota yang masuk dalam jejaring City of Literature,” tutur Laura Prinsloo.
Dalam pemaparannya, Laura mengangkat Kota Edinburgh sebagai kota yang menjadi kota literatur pertama. Edinburgh sebagai kota literasi berhasil menyediakan infrastruktur yang baik, mulai dari dana hingga tim, juga program yang menunjang penunjukan kota tersebut setelah dijadikan City of Literature oleh UNESCO. Laura kemudian membandingkannya dengan Jakarta yang dirasa masih belum bisa menghidupi gelar yang didapatkan sebagai City of Literature. “Memang sama sekali belum ada program yang datang dari Kota Jakarta, kecuali yang bisa kita dapatkan dari kota lain atau yang tim pro-bono kita ajukan proposalnya ke berbagai instansi, seperti Kemendikbud, British Council namun memang kebanyakan dana kita datang dari luar negeri,” katanya.
Selepas pemaparan Laura Prinsloo, moderator mulai berpindah kepada narasumber berikutnya, yakni Alex Sihar. Kebetulan pembicara ini merupakan staf ahli yang ranah kerjanya bersinggungan dengan pemerintah.
Alex Sihar memulai dialognya dengan menanyakan Laura Prinsloo mengenai rencana strategis yang dimiliki oleh Focal Point Jakarta City of Literature, apakah rencana tersebut sudah diberikan kepada Pemprov Jakarta? Apakah sudah masukkah rencana tersebut ke RPJMD (Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah)? “Jika sudah itu yang teman-teman harus kawal, saya inginnya dilebarkan lagi, stakeholdernya, bukan penerbit, bukan sastrawan, ketika kita membicarakan Jakarta as a literature city maka stakeholder-nya adalah warga Jakarta. Oke kita punya 290 sekian lebih RPTRA (Ruang Publik Terpadu Ramah Anak) di 280 sekian kelurahan di Jakarta, bagaimana ia bisa dimanfaatkan. Kita punya 8000 lebih sekolah, program apa yang bisa dijalankan di sekolah di Jakarta, program apa yang bisa kita jalankan di situ?”
Argumen itu diangkat oleh Alex Sihar karena dari sudut pandangnya, berkurangnya skala prioritas dalam perihal seni dan budaya, terlebih lagi literasi adalah bentuk kurangnya perhatian dari sisi pemerintah serta pemangku kepentingan. Alex memaparkan tentang kesulitan yang dihadapi dari sisi pemerintahan. Ia memberikan contoh yang biasanya dialami oleh kepala dinas berbagai daerah “Dari kepala dinas di Jakarta hingga kepala dinas di Fakfak semua bilang begitu, tapi begitu dilihat uangnya ada atau tidak, ada, (tapi) tidak pernah dikasih saja ke kebudayaan”
Sebagai Staf Khusus Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kemendikbudristek RI, Alex merasa bahwa kekisruhan yang dirasakan oleh lembaga hingga masyarakat terhadap kesulitannya mereka pada penyediaan fasilitas yang menunjang masih menjadi polemik, khususnya dari pemerintah. Namun, bukan berarti polemik ini menghalangi perwujudan Jakarta sebagai kota literatur yang pantas.
“Jika pertanyaan besarnya adalah “Jakarta City of Literature: Sekedar Status atau Serius Dihidupi?” menurut saya, kita sudah memilih itu, Jakarta telah memilih menjadi kota literatur 3 tahun lalu, tahun 2021. Ketika sudah memilih maka kita harus menjalankan konsekuensi dari yang sudah kita pilih, bahwa dia (Jakarta City of Literature) harus masuk ke rencana kerja baik 20 tahun maupun 5 tahun, sudah jelas KPI-nya mesti berbuat apa dan pencapaiannya apa di sastra. Saya jujur belum membaca rencana pembangunannya seperti apa, pergubnya. Insyallah pergubnya akan ditetapkan tahun depan, tapi kalau teman-teman bisa akses dan belum ada, tolong ada yang advokasi sehingga ada, kalau tidak kita akan membicarakan hal yang sama sampai 5 tahun hingga 20 tahun lagi,” ia menegaskan.
Diskusi berlangsung hangat dengan ditambahnya juga pertanyaan serta pernyataan yang menarik, tajam dan juga membuka mata semua yang hadir pada saat diskusi malam itu. Masih banyak tantangan serta harapan yang diharapkan untuk Jakarta yang telah menyandang gelar Jakarta City of Literature. Namun, bukan berarti masyarakat sastra Indonesia berhenti berjuang, semangat perwujudan Jakarta sebagai kota sastra dunia harus diseriusi.
Diskusi ini ditutup dengan foto bersama Narasumber dan Moderator, serta pemenang Giveaway Buku dari program Hari Buku Nasional Dewan Kesenian Jakarta
Penulis: Muhammad Ridho
Editor: Fadjriah Nurdiarsih