Jakarta bercita-cita untuk masuk dalam jajaran “Top 20 Global Cities.” Industri film, sebagai bagian penting dari ekonomi kreatif, memiliki potensi besar sebagai pendorong utama Jakarta dalam mencapai status tersebut.

Global cities seperti Seoul, HongKong, dan Tokyo sudah menyediakan layanan produksi film yang efisien. Bagaimana dengan Jakarta? Jakarta perlu segera berbenah atau menghadapi kenyataan pahit: tertinggal dari kota-kota lain yang lebih siap menyambut arus investasi film dunia.

Sejak tahun 2022, Komite Film Dewan Kesenian Jakarta menginisiasi advokasi pembentukan Jakarta Film Commission yang menyediakan layanan perizinan satu pintu bagi produksi film lokal maupun internasional.

Identifikasi Permasalahan dan Kebutuhan

Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat FEB UI dalam laporan “Dampak Ekonomi Industri Layar di Indonesia – sebuah peluang”, yang ditulis bersama PwC Indonesia, menawarkan beberapa solusi. Salah satunya adalah pembaruan serta penyederhanaan peraturan terkait produksi film.

Hal ini senada dengan hasil diskusi kelompok terfokus (FGD) dan diskusi publik yang diselenggarakan oleh Komite Film DKJ (periode 2020-2023) pada tahun 2022. FGD bersama pemangku kepentingan dalam ekosistem film di Jakarta ini memetakan permasalahan dan kebutuhan dalam proses produksi film.

Salah satu masalah ada pada proses pelayanan produksi film di Jakarta yang melibatkan terlalu banyak instansi. Kurangnya koordinasi menyebabkan proses perizinan menjadi rumit dan memakan waktu. Diperlukan sebuah solusi yang menyatukan semua layanan terkait perizinan dalam kerangka regulasi yang lebih efisien.

Layanan Satu Pintu melalui Jakarta Film Commission

Advokasi yang dilakukan oleh Komite Film DKJ menyoroti pentingnya pembentukan Jakarta Film Commission (JFC) di bawah Dinas Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Disparekraf) atau lembaga pemerintah daerah Jakarta lain dengan kewenangan yang sesuai. Pembentukan JFC difokuskan pada penyederhanaan perizinan lokasi syuting dan insentif bagi produksi film internasional sebagai bagian dari promosi kota Jakarta.

Hasil lain dari FGD Komite Film DKJ mencakup inventarisasi aset dalam proses perizinan terkait syuting film yang tersedia di Jakarta saat ini. Beberapa platform perizinan lokasi syuting yang sudah ada adalah website Dinas PM & PTSP Provinsi DKI Jakarta untuk izin pemakaian lokasi taman dan jalur hijau untuk syuting film.

Platform lain adalah website IFFa yang dikembangkan PT. Produksi Film Negara (Persero) bersama Kemenparekraf untuk peminjaman lokasi milik BUMN. Pembuat film juga harus mendapatkan Tanda Pemberitahuan Pembuatan Film dari Direktorat Perfilman, Musik, dan Media Kementerian Kebudayaan Republik Indonesia.

Best Practices Komisi Film Daerah dan Negara Lain

Untuk mencapai hasil optimal, penting bagi Jakarta untuk melihat best practices komisi film di daerah lain di Indonesia maupun di negara-negara lain. Komisi film daerah seperti yang ada di Yogyakarta, Bali, dan Banyuwangi (sejalan dengan buku Pedoman Pembentukan Komisi Film Daerah oleh Bekraf dan BPI (2018)) dapat menjadi contoh.

Dalam diskusi publik yang diselenggarakan Jakarta Film Week bekerja sama dengan Kemenparekraf dan Komite Film DKJ di bulan Oktober 2024, representasi 3 komisi film dari Quezon City, Busan dan Tokyo berbagi mengenai kinerja komisi film di negara mereka.

Melalui diskusi ini, kebijakan dan blueprint Jakarta Film Commission dapat disusun dengan membandingkan dengan apa yang sudah dilakukan Quezon City Film Commission (QCFC) dengan konteks dan kebutuhan yang sama dengan Jakarta.

QCFC sukses menjadikan Quezon City sebagai pusat industri film Filipina dengan pendapatan $37 juta pada 2022–2023.

JFC sebagai Katalisator

Pembentukan JFC menjadi urgensi yang tidak bisa diabaikan karena pentingnya kebijakan pemerintah daerah yang berpihak pada ekosistem film sebagai bagian dari ekonomi kreatif. Industri film tidak hanya memiliki dampak ekonomi melalui penciptaan lapangan kerja dan pendapatan, tetapi juga dampak sosial dan budaya yang memperkuat identitas dan citra Jakarta sebagai kota kreatif.

Meskipun sudah ada kebijakan seperti Permendikbud No. 48/2018 yang mengatur perizinan untuk film produksi internasional, kebijakan ini perlu diterjemahkan ke dalam peraturan gubernur yang lebih rinci sebagai kekuatan legal pembentukan JFC. Selain itu, Jakarta Film Commission (JFC) harus diintegrasikan dengan lembaga-lembaga pemerintah daerah yang sudah ada, sehingga tidak berfungsi sebagai entitas baru yang hanya memboroskan sumber daya, melainkan memperkuat dan menyelaraskan kerja-kerja yang sudah berjalan.

Dalam jangka pendek, JFC bisa menjadi pusat informasi satu pintu untuk perizinan, jangka menengah mengakomodir syuting secara sistematis, dan jangka panjang merancang insentif bagi pembuat film internasional. Jika sinergi melalui JFC ini tidak segera diwujudkan, Jakarta berisiko menghadapi stagnasi dalam pertumbuhan industri film lokal serta melemahkan daya saingnya sebagai destinasi global bagi industri perfilman.

*Shuri Mariasih Gietty Tambunan, Dosen dan Peneliti (Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia) dan Anggota Komite Film (Dewan Kesenian Jakarta)