Oleh: Tommy Ari Wibowo
Untuk membicarakan sejarah seni rupa Indonesia tidak cukup untuk dijelaskan dalam satu hari. Sejarah seni rupa Indonesia modern dimulai pada tahun 1930-an itu. Tulisan ini hanya sekedar pengantar.
Pak Bambang Bujono menunjukkan tentang seni rupa kita yang sekarang. Pameran patung di Galeri Nasional menunjukan bahwa karya-karya sekarang sudah tidak ada batasan yang jelas antara patung, lukis, grafis, patung dan karya lainnya. Di sisi lain seni rupa yang lama juga masih hidup.
Seni rupa diawali dari seni rupa Barat pada abad ke-17 menjelang revolusi industri. Dari situ muncul arus besar merambah ke Amerika Serikat, lalu dunia, itu menurut mereka. Sejarah seni rupa mereka linear tapi itu tidak berlaku di indonesia. VOC yang di Indonesia tidak hanya mencari rempah-rempah tetapi ingin mengetahui adat istiadat. Pelukis di Indonesia tidak masuk dalam sejarah seni rupa Barat tetapi lukisannya ada di sana seperti gambar rempah, kondisi geografis di Indonesia. Pada abad 19 Belanda membuka sekolah lukis yang kecenderungan melukis etnis, dan itu menjadi cikal bakal seni rupa Indonesia.
Dulu seniman Indonesia melukis hanya sekedar hobi dan tidak berpikir jauh. Nama Indonesia tercipta dari orang yang berasal dari Eropa yang bekerja di Singapura, menulis sebuah artikel lalu dipopulerkan oleh ensiklopedia. Seniman Indonesia pada umumnya adalah kesadaran membentuk suatu bangsa yang merdeka yang disebut Indonesia, dari kesadaran inilah dibentuk organisasi sosial dan “bulkik” termasuk di dalam seni lukis. Seni lukis kita tidak berangkat dari wacana seni lukis tapi berangkat dari wacana kebangsaan. Lalu mendirikan kumpulan orang-orang yang suka menggambar, dari kumpulan mana muncul nama-nama yang terkenal seperti Agus Jaya, Putu Jaya, dan Sudjojono. Di antara tiga orang tersebut Sudjojono-lah yang paling menonjol dan paling terkenal, karena dia yang paling suka menulis. Sebenarnya sebelum Sudjojono juga ada seniman Indonesia yang diakui oleh VOC. Awal kemunculannya karena VOC melihat soarang anak kecil yang pintar menggambar bernama Raden Saleh, ketika itu waktu jamannya kemenangan Diponegoro. Mereka melihat ada ancaman bila anak kecil ini terpengaruh Diponegoro dan muncul nasionalisme, maka dari itu Belanda mengajarinya menggambar.
Di Sekolah Pendidikan Buku Gambar di Bandung terdapat mahasiswa yang bernama Mochtar Amir dan Sukondo Bustaman yang mendapat beasiswa belajar seni rupa di Jerman. Dalam disertasinya, Sukondo memuat tentang Raden Saleh dan itu tidak ada latar belakangnya, hanya karena nama belakang mereka sama. Raden Saleh tidak bisa disebut orang yang mempelopori seni rupa modern Indonesia karena dia tidak punya murid, tapi dia bisa disebut sebagai orang pertama pelukis modern di Indonesia. Nama Raden Saleh tidak ada dalam sejarah seni rupa Eropa.
Affandi adalah orang pertama Indonesia yang di undang pameran di Venice Biennalle atas nama pribadi. Tahun 1954 Affandi mendapatkan penghargaan pendukung, dan Affandi kecewa. Juri dapat menjelaskan, lukisan Affandi tergolong ekspresionis sedangkan jaman itu yang dianggap baru adalah surialisme walaupun sang kurator berbicara dengan Affandi dan mengatakan bahwa lukisannya sangat menakjubkan dan tidak ada duanya di dunia.
Sudjojono adalah pelopor seni rupa Indonesia baru. Pada awalnya dia belajar lewat lukisan-lukisan Barat yang dipamerkan di Jakarta. Pemikirannya berawal dari nasionalisme sedangkan secara visual dengan cara melihat langsung dari lukisan orang-orang terkenal dari Barat. Seniman harus mempunyai persepsi dari lingkungan dan harus diaplikasikan ke dalam lukisan, itu yang dinamakan jiwa tampak. Melukis secara realitas apa yang dilihat. Sejarah seni rupa itu tidak hanya membicarakan orangnya tetapi juga karyanya. Sudjojono tidak bisa melukis tanpa ada modelnya.
Di ITB agak sangat menyimpang karena di sana terdapat dosen dari Barat yang berlatar belakang seniman lukis kubisme. Ketika orang Bandung berpameran, mereka mendapat kritik bahwa Bandung berlaboratorium barat. Kelahiran abstrak di Yogyakarta sangatlah berbeda. Fajar Sidik adalah pelopor seni abstrak Yogya yang berawal dari ide bukan dari eksplorasi bentuk.
Menurut penelitian, minat baca perupa hanya 3% dan itu yang membuat tulisan seni rupa tidak pernah muncul lagi di media. Waktu itu ada seniman yang bekerja di redaksi berita dan tulisan tentang seni rupa masih dimuat. Namun ketika ia sudah tidak lagi menjabat, tulisan seni rupa tidak dimunculkan lagi. Banyak bermunculan majalah seni rupa tetapi tidak dapat bertahan lama karena peminatnya sedikit.
Dokumentasi: DKJ – Eva Tobing